Jika saya terpilih jadi bupati, maka pendidikan akan gratis, lapangan pekerjaan saya buka luas-luas. Sehingga tidak ada lagi yang namanya rakyat miskin. Kami juga akan memberikan subsidi pada rakyat yang tidak mampu. Yang lebih penting lagi, gaji saya setiap bulan akan kami alokasikan untuk warga tidak mampu sebanyak 10 prosen.
ITULAH janji yang didengar Kang Brodin saat mengikuti kampanye setiap calon dalam pemilihan kepala daerah yang akan dilaksanakan secara langsung (Pilkadal). Mereka meneriakan perubahan dalam kepemimpinannya. Namun lain halnya yang dilakukan Kang Brodin, ia malah tidak optimis dengan apa yang disampaikan para Jurkam.
“Gimana Kang, kampanyenya bagus ya,” kata Markuat pada Kang Brodin setelah usai mengikuti kampanye salah satu kandidat.
“Iya sich bagus isinya, nggak tau realisasinya setelah menjabat!,” jawab Kang Brodin.
“Lho kok kamu nggak optimis gitu sich terhadap perubahan yang dibawakan para juru kampanye (Jurkam),” protes Markuat.
”Lho gimana lagi, wong namanya jurkam ibarat dodolan jamu (jualan jamu). Bagaimana ia dapat menjual jamunya sampai habis? Ya tentunya mempromosikan dengan mengatakan, jamu ini cocok bagi pekerja berat. Sekali minum, pegal-pegal di tubuh langsung hilang,” terang Kang Brodin sambil melangkahkan kakinya diikuti Markuat.
”Maksudmu apa Kang? Aku kok ra paham?,” tanya Markuat.
”Maksudku, saat ini mereka mengatakan perubahan untuk menarik simpati rakyat, sehingga mendapat banyak dukungan. Tapi setelah terpilih, rakyat kecil yang selalu ditindas dan diperas,” jelasnya.
”Lho kok bisa gitu?,”
”Lha contoh saja, di desa kena pajak penerangan jalan umum atau PJU. Tapi lihat! Disana tidak ubahnya seperti kuburan. Di jalan dapat terang karena arus listrik dari warga. Lalu kemana larinya pajak PJU?,” ganti Kang Brodin bertanya ke Markuat.
”Ya... aku nggak tau Kang. Aku aja wong ndeso kok,”
”Yang jelas pajak PJU makin nggak jelas bagi rakyat kecil. Tapi di kota lihat aja, byar padhang njinglang,” ungkap Kang Brodin.
”Jadi rugi dong aku beberapa kali ikut pemilihan, kalau hasilnya ternyata menguntungkan orang-orang tertentu,” lambahnya.
”Oh... gitu ya...,” ujar Markuat singkat.
Tanpa terasa, langkah mereka sudah sampai di depan warung Mbok Darmi. Ternyata di sana sudah ada Cak Semprul dan Cak Hasan sedang menikmati nasi pecelnya Mbok Darmi. Setelah mengucap salam mereka pun masuk ke warung itu. ”Lho Mbok sekarang juga jualan nasi toh?,” tanya Kang Brodin.
”Ya... coba-cobalah Kang, sekalian untuk nama penghasilan. Soalnya beban hidup semakin menjepit,” ujar Mbok Darmi.
”Iya Kang, nasi pecelnya uenak tenan,” Cak Semprul mempromosikan nasinya Mbok Darmi.
”Cak pean promosi nasinya si mbok dibayar piro?,” ledek Kang Brodin disambut tertawa teman-teman yang lain.
”Ya dech Mbok, buatkan dua ya, sama Markuat,” pesannya
”Inilah salah satu oleh-oleh dari kampanye, ternyata benar apa yang dikatakan Kang Brodin. Perubahan yang didengung-dengungkan jurkam, terbukti. Mbok dari dulu sampai sekarang tidak ada perubahan, tetap jualan di warung ini he... he... he....,” kata Markuat sambil cengegesan.
”Ooh... memang tadi kamu ikut to kampanye di alun-alun?,” tanya Cak Hasan.
”Iya Cak, ternyata semua seperti bakul jamu. Bagaimana supaya dagangannya laku, sikut sana sikut sini, yang penting lawan politiknya jatuh tersungkur,” kata Markuat.
Setelah jadi, lanjut Markuat, mereka hanya melambaikan tangan. “Alias da... da... poh!,” ujar Markuat.
“Kamu itu keseringan nonton film Teletubies, Mar,” ledek Mbok Darmi.
“Ya... itulah mental sebagian besar para politisi negeri ini, Mar. Bahkan pada Pemilu sekitar tahun 1982, mereka janji mau ngaspal jalan kampung, ternyata baru diaspal tahun 2006. Itupun aspalnya banyak gronjalannya alias tidak rata. Trus baru beberapa bulan dipakai, e.... ternyata sudah rusak,” kata Cak Semprul.
“Hanya beberapa pemimpin hasil Pilkadal yang konsisten. Bahkan banyak diantaranya yang kini jadi tersangka korupsi, tidak peduli itu yang masih menjabat maupun yang sudah tidak menjabat. Jika ada bukti mereka akan masuk juga. Itu yang ketahuan, bagaimana dengan yang tidak ketahuan? Bisa jadi jumlahnya lebih besar,” tambah Kang Brodin.
“Bagaimana kalau kita Golput saja?,” ajak Markuat memprovokasi teman-temannya.
”Itu tidak baik. Nanti rugi sendiri lho!,” sela Mbok Darmi seraya memberikan bungkusan nasi pecel pada Kang Brodin dan Markuat.
“Rugi gimana, Mbok?,” tanya Markuat.
“Kalau nggak milih, jika ada kesalahan pada pejabat kamu juga jangan menyalahkan. Salahnya nggak milih, juga nggak punya hak untuk protes. Itu artinya acuh terhadap kondisi bangsa,” terangnya.
“Lha terus.....!,”
“Ya... pilih aja. Dari sekian calon, pasti ada yang lebih baik. Cari aja yang lebih sedikit kesalahannya, atau pilih calon yang baru, yang belum tau kepemimpinannya,” saran Mbok Darmi.
”Bagus juga sarannya, Mbok. Ya otomatis nambah pekerjaan kita. Karena tiap hari jika ada kampanye kita harus datang untuk mengetahui program kerja masing-masing calon,” kata Markuat.
”Ndak usah ikut kampanye.... emang dengan ikut kampanye yang di rumah bisa kenyang. Yang penting kerja dulu! Kalo nggak kerja siapa yang ngasih makan keluarga peno-peno semua. Iya kalau peno pada makan di sini, tapi bagaimana dengan anak dan istri pean?,” celetuk Mbok Darmi.
”#@#?????!!!$##$$$,” mereka pun dibuat pusing. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar