BROSUR PMC Cell - Klik Gambar di Bawah Ini

BROSUR PMC Cell - Klik Gambar di Bawah Ini
PMC Cell - Master Pulsa Electric

Menggapai Kemuliaan Muslimah dengan Bimbingan Salaful Ummah

Minggu, 24 Juni 2007

opini-Potret Buram Kampus Para Praja

Potret Buram Kampus Para Praja


Oleh: DEWI HARIYATI, SE
Penulis adalah Pengajar di MA Darul Hikmah Diwek Jombang dan tergabung dalam Komunitas Penulis Jombang (KPJ) dan Kominutas Penulis Lesehan (KOPEL) Jombang


Perubahan nama kampus tidak mengubah perilaku. Kekerasan tetap menjadi tradisi yang dijaga. Dan, yang membuat publik jengkel, kematian demi kematian siswa di sekolah itu awalnya selalu ditutup-tutupi pihak kampus. Oleh karena itu, kita tidak boleh menunggu waktu terlalu lama. Nyawa manusia terlalu sayang untuk dikorbankan para ‘tukang jagal’ yang berkedok intelektual. IPDN harus dibubarkan. Kampus itu bisa untuk sekolah yang lebih bermanfaat bagi kebutuhan bangsa di masa depan.



Ada seorang anak yang kelihatan sakit-sakitan. Setelah sembuh dari panas, ia batuk. Kemudian sakit pilek, lalu sakit diare dan seterusnya. Sepertinya anak itu tidak lepas dari sakit yang dideritanya. Kemudian oleh sang ibu namanya diganti. Kata orang Jawa, ia tidak kuat membawa nama yang diberikannya.

Setelah diganti, anak tersebut tidak sakit-sakitan. Ia sehat dan dapat bermain-main dengan teman-teman sebayanya. Bahkan, ia tumbuh dewasa dan jadi anak yang cerdas dan pandai. Terlepas dari kebenaran, ia tidak sakit-sakitan setelah diganti namanya. Tapi hal itu nyata, dan sering terjadi di lingkungan sekitar kita.

Demikian juga dengan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Terlepas dari seperti yang terlukis dalam contoh di atas, yang pasti STPDN telah diubah namanya menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Sayangnya, setelah diganti nama agar tidak ‘trauma’ terhadap nama STPDN, ternyata IPDN tidak jauh lebih baik dari STPDN.

Keduanya sama-sama telah menelan korban jiwa. Sistem pendidikan ala militer yang diterapkan di IPDN, tanpa dibekali dengan pengetahuan kemiliteran. Akibatnya, mereka (kakak kelas, senior) saling hantam, saling pukul kepada adik kelasnya (yuniornya) seperti sasak (alat latihan tinju) yang siap dihantam bagian mana saja. Bahkan, di Media Indonesia Online (Senin, 09/4/2007) diungkapkan bahwa (ma’af) alat kelamin Cliff Muntu pecah. Tentu hal itu akibat kerasnya pukulan dari seniornya. Ini membuktikan, bahwa ‘hukuman’ itu tanpa dilatar-belakangi pengetahuan yang cukup, mana bagian tubuh yang membahayakan jiwa dan mana yang tidak.

Institut ‘Premanisme’ Dalam Negeri
Sebagai masyarakat, kita tentu prihatin terhadap kekerasan yang terjadi di IPDN. Pasalnya, di IPDN yang menciptakan tenaga-tenaga yang bekerja di pemerintahan itu, ternyata secara tidak langsung menciptakan pegawai-pegawai yang bermental ‘premanisme’. Bagaimana tidak, mereka yang berangkat dari warga sipil, sebagai pelayan masyarakat dan bukan untuk bertempur di medan perang, dilatih dengan kekerasan.

Tidak hanya itu, sesama pelajar diciptakan untuk saling beradu badan. Bagaimana hal itu bisa menciptakan tenaga-tenaga yang profesional. Bisa jadi yang terjadi nantinya bermental korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) seperti yang terjadi saat ini.

Pendidikan sekelas IPDN, tidak seharusnya dilakukan dengan kekerasan. Tapi ditanamkan cinta tanah air, anti KKN dan sejenisnya. Sehingga mereka kelak dapat membawa warga yang dipimpinnya menuju kesejahteraan, bukan sebaliknya. Jika hal itu terus terjadi, maka yang terjadi IPDN akan memunculkan alumni-alumni yang tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan preman.

Hal itu jelas sangat kontradiksi dengan tujuan pendidikan nasional, serta tujuan IPDN yang diharapkan akan muncul pemimpin berwibawa dan disegani karena menghargai masyarakat, bukan karena arogansinya. Saat ini, masyarakat menganggap IPDN bukan lagi Institut Pemerintahan Dalam Negeri, tapi Institut ‘Premanisme’ Dalam Negeri.

Karena jika dilihat, tentu hal itu tidak dapat dipungkiri. Bagaimana sesama siswa IPDN saling pukul, yang tentunya secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkah lakunya dan akan terbawa saat mereka sudah diterjunkan ke masyarakat.

Tidak hanya itu, bahkan beredar berita yang menyebutkan di IPDN telah terjadi aktifitas free sex (seks bebas) di lingkungan praja. Terlepas berita miring itu benar atau tidak, seharusnya dari pihak institut seharusnya juga mengetahui hal itu. Jika hal itu benar, mau dibawa ke mana negara ini jika dipimpin oleh pemimpin yang tak bermoral.

Yang lebih mengherankan lagi, kasus Cliff Muntu, praja asal Manado. Aneh jika pihak institut tidak mengetahui kejadian itu. Kita semua tahu, jika ada kejadian di lingkungan sekolah, sedikit banyak pihak sekolah akan mengetahuinya. Apalagi tindakan kekerasan yang sudah diluar batas kemanusiaan. Manusia diperlakukan seperti hewan, ditinju dan ditendang. Namun sayangnya, mereka sepertinya tidak mau tahu. Hingga akhirnya seorang Cliff Muntu menjadi korban pertama yang ‘terekspos’, semenjak STPDN reinkarnasi menjadi IPDN.

Karena, semenjak ganti menjadi IPDN, media yang memberitakan berita miring tentang IPDN nyaris tidak ada sama sekali. Padahal, jika ditilik banyak yang tidak tahan kemudian tidak melanjutkan dan lebih memilih meninggalkan ‘predikat’ praja daripada menahan sakit yang teramat.

Satu hal yang sangat juga sangat mengherankan, negara yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, ternyata di IPDN hal itu ditepis. Ini terlihat dari adanya pembeda barak (asrama) yang dihuni masing-masing daerah. Di IPDN jelas terpampang nama-nama daerah asal praja di masing-masing asrama. Hal ini bisa jadi memicu kecemburuan sosial. Kenapa dalam IPDN penuh keganjilan?

Sejak tahun 1990, tercatat sebanyak 35 praja yang meninggal karena kekerasan oleh seniornya. Bahkan ada yang mengatakan data itu bisa membengkak, karena ada yang tidak terekspos.

Rekaman gambar yang ditayangkan di beberapa televisi, misalnya, memperlihatkan penganiayaan yang dilakukan senior pada para siswa juniornya secara bertubi-tubi, baik tendangan maupun pukulan. Yang membuat kita tak percaya, pukulan dan tendangan itu diarahkan berulang kali ke bagian-bagian tubuh yang mestinya dilindungi, misalnya bagian ulu hati.

Dalam rekaman itu terlihat jelas, mereka yang dihajar terhuyung-huyung dan mengaduh kesakitan, terus dihajar lagi. Sebagaimana layaknya rekaman, pastilah gambar itu bagian amat kecil dari apa yang sesungguhnya terjadi dalam keseharian kampus IPDN.

Yang mengherankan, kekerasan di sekolah yang dibiayai dengan uang rakyat itu tetap dibiarkan selama bertahun-tahun. Padahal, setelah kematian seorang siswa bernama Wahyu Hidayat pada 2003, pada 2004 STPDN berubah menjadi IPDN. Ini gabungan STPDN dengan Institut Ilmu Pemerintahan.

Meski kasus Cliff Muntu sudah di tangan pihak berwajib, dan sedikitnya enam praja dijadikan tersangka, namun hal itu belum menyelesaikan masalah. Bagaimana dengan pihak Rektor IPDN yang merupakan pemimpin di tempat tersebut? Seharusnya ia juga dimintai pertanggung-jawaban. Bagaimanapun juga, semenjak mereka (para praja) masuk ke IPDN, praktis rektor dan dosen menjadi ‘orang tua’ mereka. Sehingga pendidikan, kesehatan dan keperluan sehari-hari mereka juga menjadi perhatian institut. Tidak adil kiranya, kasus meninggalnya Cliff Muntu hanya dibebankan kepada tersangka saja.

Yang paling bertanggung jawab juga adalah pihak IPDN yang selama ini dipercaya untuk mendidik, sehingga mereka menjadi praja yang profesional dan cakap dikemudian hari. Jika tidak, bukan tidak mungkin akan terjadi lagi kasus Cliff-Cliff yang lainnya.***

opini-Cermin Berbagai Macam Tayangan TV

Cermin Berbagai Macam Tayangan TV

Smack Down dan Kekerasan Anak, Siapa Yang Salah?


Oleh: MOCH. CHABIB ES, SE
Penulis adalah Alumni FE Univ. Darul 'Ulum Jombang, Koordinator Komunitas Penulis Lesehan (KOPEL) Jombang dan tergabung dalam Komunitas Penulis Jombang (KPJ)


"Ma, belikan itu lho!," pinta anaknya yang baru duduk di bangku kelas V MI pada ibunya saat melihat tayangan sponsor seorang anak sedang menggunakan laptop.
"Beli apa sih?," tanya ibunya belum mengerti.
"Itu lho bu, yang seperti dipakai anak itu," jawab anak itu seraya menunjuk ke arah layar tv.
"Oh itu, laptop toh! Belum waktunya nak!," saut ibunya.
Seperti tidak mau tahu, sang anak pun terus merenggek untuk dibelikannya. Ternyata penjelasan itu pun tidak mempan untuk meredam keinginan anaknya.



Itulah yang terjadi pada salah satu keluarga, bagaimana tayangan televisi begitu besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak. Tidak hanya film untuk dewasa, film anak-anak pun juga perlu disikapi, seperti film Shinchan dan variannya yang sangat mudah mempengaruhi jiwa anak.

Melihat begitu besarnya pengaruh acara televisi terhadap perkembangan dan tingkah laku anak, maka perlu adanya jam khusus yang diberlakukannya. Sehingga kasus seperti terbunuhnya siswa kelas 6 SD di Bandung yang diakibatkan di-"smack down" temannya tidak lagi terjadi.

Sebagaimana diketahui, akibat meninggalnya siswa yang di-"smack down" itu, mematik reaksi dari berbagai kalangan. Mereka meminta acara itu dihentikan, karena dapat mempengaruhi jiwa anak untuk meniru adegan tersebut. Sebenarnya, siapa yang salah atas kematian siswa tersebut? Pihak pengelola televisi, orang tua atau lembaga penyiaran?

Terlepas dari penghakiman terhadap siapa yang salah, kejadian tersebut merupakan indikasi, bahwa acara-acara yang ditayangkan di televisi sangat besar pengaruhnya terhadap jiwa dan perkembangan anak. Anak akan berusaha meniru apa yang dilihatnya. Lalu tugas siapa mengawasi dan membimbing anak?

Bercermin dari kasus Smack Down, pihak stasiun televisi (dalam hal ini, LATIVI) juga tidak dapat disalahkan. Pasalnya, mereka menayangkan acara itu ada beberapa alasan. Mungkin karena jam 21.00 WIB sudah merupakan jam tayang untuk orang dewasa, lalu juga untuk menarik minat pemirsa sebanyak-banyaknya. Jika acara itu menduduki rating tertinggi, juga akan berpengaruh pada pemasukkan iklan. Jika ia disalahkan, (tanpa memihak pihak televisi), lalu bagaimana dengan acara-acara sejenis, bahkan bagaimana dengan adegan kekerasan dalam sinetron lainnya yang merupakan produksi dalam negeri. Tidak hanya itu, bagaimana dengan tayangan di siang hari yang mempertontonkan baju minim atau adegan ciuman dan seterusnya? Apakah ini juga tidak perlu disikapi?

Untuk itu, jika menyikapi acara televisi, perlu disikapi secara menyeluruh. Tidak sepenggal-sepenggal, atau hanya karena adanya kejadian yang sudah memakan korban.

Satu contoh lagi, tingginya kasus perkosaan terhadap anak yang dilakukan remaja dewasa atau anak-anak. Sebagian besar mereka melakukan karena setelah melihat adegan di televisi atau VCD. Hingga saat ini pun acara yang menampilkan baju minim dan bermesraan pun masih ditayang di siang hari. Itu pun harus disikapi.

Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, sebenarnya yang seharusnya berperan aktif untuk mengawasi dan mengarahkan anak itu orang tua. Sebagaimana kita ketahui, setiap tayangan di televisi, sudah diberikan peringatan oleh pihak pengelola televisi. Bahkan dalam sebuah seponsor pun yang menayangkan adegan berbahaya juga telah diberikan penjelasan bahwa pelaku yang melakukan adegan itu sudah professional dan ahlinya, serta ada peringatan tayangan 17 plus, atau BO (bimbingan orang tua), dan SU (segala umur).

Peringatan itu, selayaknya sudah membuktikan bahwa setiap tayangan itu seharusnya disesuaikan dengan usia serta harus didampingi orang tuanya untuk memberikan penjelasan pada anaknya. Dari pengamatan, memang banyak yang perlu diperhatikan. Karena saat ini, tayangan film maupun sinetron yang mengumbar kekerasan pun tidak memperhatikan jam tayang. Jam 19.00 WIB pun ada yang menampilkan adegan pembunuhan, perkosaan dan bentuk kriminal lainnya.

Satu contoh lagi, pada acara Panji Sang Penakluk, itu pun juga sangat berbahaya bagi anak. Tidak menutup kemungkinan anak akan meniru adegan yang dilakukan sang Panji, yang kadang sangat membahayakannya. Salah satunya dengan memegang ular yang sangat ganas dan siap menggigit Panji. Meskipun diacara itu telah diberi peringatan, "Jangan Meniru Adegan Ini Sangat Berbahaya".

Tapi, karena tayangan itu dilakukan oleh seorang Panji, yang identik dengan anak kecil. Yang diamati sepintas memang untuk tayangan anak-anak, maka bisa jadi anak akan meniru adegan tersebut.

Untuk itu, peran semua elemen, baik itu keluarga, pemerintah atau lembaga penyiaran harus menyikapi kondisi ini. Tidak jarang, tayangan televisi yang merupakan cikal bakal timbulnya persoalan itu. Bagaimana menurut Anda? ***

Opini Catatan Awal Tahun 2007

Catatan Awal Tahun 2007
2007, Indonesia (Belum) Lepas Dari Bencana



Oleh: MOCH. CHABIB ES, SE
Penulis adalah Alumni FE Univ. Darul 'Ulum Jombang, Koordinator Komunitas Penulis Lesehan (KOPEL) Jombang dan tergabung dalam Komunitas Penulis Jombang (KPJ)


Bencana yang terjadi di Indonesia beberapa waktu yang lalu, ternyata tidak dijadikan introspeksi. Hal ini terbukti dari berbagai bencana yang terus-menerus menyusul dan melanda negeri tercinta. Apakah ini tandanya Pencipta sudah tak sayang pada ummatnya, atau bencana itu peringatan dari-Nya.



Sepanjang tahun 2006, Indonesia sepertinya tidak pernah putus dari berbagai bencana. Baik itu bencana alam, kerusuhan, konflik partai, hingga konflik di pemerintahan. Sayangnya, kejadian yang terjadi sebelumnya tidak pernah dipakai untuk mawas diri, introspeksi, atau berkaca.

Seharusnya kita semua bercermin pada berbagai bencana yang terjadi, sehingga ibarat pepatah -kita tak terjatuh untuk ketiga kali di lubang yang sama. Namun sayang, bencana itu dianggap sebagai hal yang lumrah tanpa mau melihat apa sebenarnya yang terjadi di balik bencana. Jika kita tilik, bencana yang terjadi di
Indonesia merupakan "warning" dari sang Pencipta.

Mengapa "warning" dari Allah? Bagaimana tidak, seperti yang terjadi pada bencana lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Salah satu foto yang berhasil diabadikan oleh kamera Samuel Johnson Sutanto, salah satu anggota Timnas Penanggulangan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, saat ledakan pipa gas milik Pertamina di kawasan Lumpur Lapindo. Subhanallah, foto itu menunjukkan suatu kejadian yang luar biasa. Jika dilihat dengan seksama, jilatan api dari ledakan itu membentuk lafadz Allah.

Sebenarnya kejadian yang menunjukkan kebesaran Allah itu sudah beberapa kali terabadikan. Bahkan, dalam foto satelit bencana gelombang Tsunami di
Sri Lanka, juga jika diamati membentuk lafadz Allah. Suatu kejadian yang merupakan petunjuk akan kebesaran Ilahi. Demikian juga yang terjadi di Yogyakarta, 8 Juni 2006 lalu. Fotografer Bagus Kurniawan berhasil mengabadikan wedhus gembel di Gunung Merapi yang juga jika diamati dengan teliti menyerupai lafadz Allah. Suatu keajaiban pada kejadian alam yang menunjukkan, bahwa bencana itu merupakan peringatan bagi kita semua. Berbagai bencana saat ini menimpa Indonesia, baik bencana moral maupun fisik.

Kini di tahun 2007, kita seharusnya bercermin terhadap berbagai bencana tersebut. Bukan sebaliknya malah memperkeruh kondisi bangsa yang 'belum' stabil ini. Dipenghujung tahun 2006 pun konflik kian panas, mulai skandal video porno salah satu anggota
DPR RI dengan seorang penyanyi dangdut, kemudian isu 'menggoyang' kekuasaan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Dan terakhir pembentukan berbagai partai politik (Parpol) seperti Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)-nya Jendral (Purn) Wiranto dan partainya para Kades, yakni Partai Paguyuban Kepala Desa dan Perangkat Desa (Parade) se-Nusantara yang diketuai H Sudir Santoso, SH.

Hal itu menunjukkan betapa tidak puasnya mereka terhadap pemerintahan sekarang ini. Namun, bisa jadi ketidak-percayaan itu dikarenakan 'sentimen' pribadi karena kegagalan dalam politik. Sehingga membentuk barisan 'sakit hati', yang hanya mengoreksi kelemahan dan kekurangan pemerintahan saat ini.

Bahkan diawal tahun berbagai bencana bertubi-tubi mengawali tahun baru 2007. Kasus hilangnya pesawat penumpang Adam Air yang hingga kini belum ditemukan. Kemudian kasus kapal Senopati Nusantara yang menewaskan puluhan penumpang dan ratusan yang belum ditemukan.

Diakui atau tidak, memang penyebab rusaknya kehidupan disebabkan karena harta, tahta dan wanita. Dan itu terbukti dengan beberapa kasus yang selama ini terekspos di media. Namun demikian, sedikit diantara mereka yang berani menyuarakan kebenaran meskipun itu pahit sekalipun.

Bencana tidak hanya yang berkenaan dengan kerusakan yang berbentuk fisik, seperti gedung ambruk, atau longsor dan banjir. Tapi lebih luas lagi, bencana merupakan hal yang tidak menyenangkan hati seseorang itu dapat dikategorikan bencana. Apalagi menyangkut moral.

Selama ini, orang hanya menyebut bencana jika terjadi gunung meletus, banjir bandang, gelombang pasang dan sejenisnya. Tapi terbunuhnya salah seorang siswa SD akibat di-smackdown temannya tidak dikategorikan bencana, atau kasus skandal video porno yang sempat menghebohkan juga tidak termasuk bencana. Padahal, keduanya juga bencana bagi mereka, meskipun imbasnya tidak separah Lumpur panas Lapindo di Sidoarjo yang mengakibatkan ratusan bahkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal dan mata pencarian.

Tidak itu saja, sepertinya bencana itu setiap tahun itu akan terjadi di Indonesia. Termasuk ditahun 2007. Kenapa demikian? Pasalnya
Indonesia 'jarang' introspeksi terhadap kejadian tahun sebelumnya. Jika pada tahun sebelumnya Ibukota terkena banjir, dan tahun ini banjir, orang menjadi beranggapan bahwa banjir itu lumrah, wajar, dan menjadi hal yang biasa. Termasuk bencana tanah longsor dan lain sebagainya. Karena bencana itu terjadi setiap tahunnya, mereka hanya bisa bersiap mengantisipasinya. Jika tidak bisa, mereka bersiap-siap mengungsi.

Demikian juga dengan politik. Jika tahun sebelumnya mereka tampak 'bermesraan', belum tentu hal itu terjadi di tahun 2006. Lebih-lebih pada tahun 2007. Jika kita runtut, maka pada tahun 2007, selain bencana alam juga situasi politik akan semakin 'panas'. Hal itu terjadi karena hari itu terus berputar dan semakin mendekati Pemilu. Dan banyak yang sudah mempersiapkan untuk menyongsong Pemilu. Bisa jadi pembentukan dua partai yang penulis sebutkan di atas, juga merupakan 'cikal-bakal' untuk menghadapi pesta demokrasi di
Indonesia.

Seharusnya bangsa
Indonesia saat menjelang akhir tahun itu digunakan untuk merenungi berbagai kegiatan yang terlah lalu. Bukan untuk pesta pora dengan berbagai atraksi dan hiburan. Berbagai bencana, 'perang' antar elit politik, berbagai skandal dan masih banyak lagi yang perlu dicarikan jalan keluarnya di tahun 2007.

Sehingga kita tahu, bencana itu tidak hanya yang menimpah banyak orang. Kedatangan George Walker Bush ke
Indonesia pun sebenarnya juga bencana. Bagaimana sebagian besar rakyat menolak, anggota dewan dan tokoh masyarakat menolak tapi penguasa tidak mau mendengarkannya. Lebih tragis lagi, helipad yang telah disiapkan untuk secara 'khusus' menyambut kedatangan presiden dari Negeri Paman Sam itu ternyata tidak dipakai. Itupun juga bencana nasional, karena berapa miliar dana pembangunan itu, belum lagi merusak taman nasional Kebun Raya Bogor.

Ironis memang jika kita memikirkan bencana di
Indonesia. Jika hal itu tidak segera direnungi, maka kita hanya bisa 'menikmati' bencana itu di tahun 2007 ini. Selamat tahun baru 2007, dan selamat datang bencana baru. Itu bisa terjadi jika kita tidak mempersiapkan diri. ***

Opini-Catatan Akhir Tahun 2006

Penulis adalah Alumni FE Univ. Darul 'Ulum Jombang, Koordinator Komunitas Penulis Lesehan (KOPEL) Jombang dan tergabung dalam Komunitas Penulis Jombang (KPJ)



Sejarah telah membuktikan, bahwa keberadaan manusia lambat laun tidak semakin maju. Tapi sebaliknya mereka menuju pada jaman purba. Kenapa demikian? Saat ini, manusia sering tampil buka-bukaan di depan umum. Padahal saat jaman batu atau purba, mereka pun tampil 'bugil' karena belum ada pakaian. Tapi jaman sekarang?



Sejarah peradaban manusia -kata orang- semakin maju, modern atau sudah meningkat. Suatu tanda meningkatnya peradaban itu, seiring dengan pesatnya berbagai kebutuhan manusia. Seperti mudahnya berkomunikasi setelah adanya handphone, berita dari luar yang saat itu berlangsung, dapat juga kita nikmati pada saat itu juga di Indonesia, dan masih banyak lagi.

Dari segi teknologi, memang kita mengalami banyak perubahan, peningkatan dan kemajuan yang pesat. Meskipun kita hanya sebagai konsumen alias pemakai saja, karena sebagian besar produk yang beredar di Indonesia merupakan hasil produksi dari luar, baik itu handphone, motor, mobil, swalayan sdan masih banyak lagi. Tapi, apakah cukup dengan peningkatan teknologi? Terlepas dari majunya sebuah teknologi, tentu yang menjadi perhatian adalah moralitas.

Saat ini, kita sering mendengar, bangunan yang megah, diskotik dan bahkan legalnya lokalisasi. Hal ini dianggap sebagai 'simbol' peradaban makhluk sosial ini sudah memasuki stadium yang nyaris setaraf bangsa barat.

Kita juga sering mendengar, kalau seseorang belum mengenal narkoba, diskotik atau tempat-tempat prostitusi, dianggap kolot. Dengan kata lain, orang yang sudah merasakan diskotik, narkoba atau miras (minuman keras) dan blusukan ke lokalisasi hanya untuk kenikmatan sesaat dianggap makhluk yang sudah modern, tinggi peradabannya. Hingga beberapa wakil rakyat pun ikut-ikutan berbuat 'layaknya' manusia jaman dahulu.

Sementara, orang yang masih berpegang teguh pada budaya ketimurannya, norma dan adat dianggap kuno, ndeso dan sejenisnya. Suatu anggapan yang tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.

Tidak ada salahnya kita merenung dipenghujung tahun 2006. Soal bencana di Aceh, dan sebagian besar negara-negara di Asia. Tidak ada salahnya kalau bencana tersebut terkait dengan ulah manusia, perbuatan tangan jahil yang seharusnya menjadi kholifah fil ardy. Ternyata kita manusia masih belum mampu menjadi pemimpin di muka bumi, tapi malah merusaknya.

Dapat kita rasakan, bagaimana hutan dibabat habis, hewan sebagai penyeimbang alam diburu. Atau eksplorasi bahan tambang yang tidak memperdulikan alam. Itu semua juga perlu kita renungkan. Jangan lantas bilang, "Tanyakan pada rumput yang bergoyang".

Kini, 'Warning' Allah telah diberikan. Sadar atau tidak, yang pasti berbagai bencana dan kejanggalan alam setidaknya menjadi tanda tanya besar bagi manusia. Seperti masih tersimpan dalam memory otak kita, bencana gempa dan dasyatnya gelombang pasang tsunami dipenghujung tahun 2004, tepatnya Minggu, 26 Desember 2004 yang meluluhlantahkan hampir 80 persen seluruh infrastruktur di Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam/NAD) dan Sumatra Utara. Dari tayangan vidio amatir di televisi terlihat, tingginya gelombang tsunami memporakporandakan peradaban manusia. Seakan-akan manusia tidak berdaya menghadapi gelombang yang amat dasyat itu. Setidaknya ini jadi kajian bagi kita, ummat manusia. Bahkan setiap menjelang akhir tahun kita pun masih ingat dengan peristiwa itu, dan sadar atau tidak kita juga dibayang-bayangi bencana alam di sekitar kita akibat hujan deras dan hutan gundul.

Mengapa bencana itu terjadi di Aceh dan negara-negara rawan konflik. Banyak kemungkinannya yang telah diungkapkan beberapa peneliti, pengamat atau pejabat. Berbagai spekulasi itu, salah satunya yang terlontar karena Aceh selama ini di-"kuyo-kuyo", disia-siakan. Perang berkepanjangan baik itu sebelum kemerdekaan atau sesudahnya. Seperti awal masuknya Belanda, kemudian diberlakukannya daerah operasi militer (DOM) pada masa Orde Baru. Akibatnya, warga hanya dihantui rasa takut dari prajurit TNI dan keberadaan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Bahkan kekayaan alamnya, mereka hanya menikmati sebagian kecil saja. Salahkan bencana itu disebut peringatan dari Allah?

Setelah itu, secara berturut-turut gempa di Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi serta di pantai laut selatan. Manusia dibuat ketir-ketir. Setiap gempa dianggap akan diiringi dengan besarnya gelombang pasang tsunami.

Tidak hanya gempa. Luapan lumpur panas Lapindo di Porong, Sidoarjo juga bukti alam sudah mulai bosan dengan tingkah kita (ma'af mengutip lagunya Kang Ebit G Ade). Bahkan, jika ditilik, dalam salah satu foto yang berhasil diabadikan Samuel Johnson Sutanto, salah satu anggota Timnas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, menunjukkan suatu kejadian yang luar biasa. Foto yang diambil saat ledakan pipa gas Pertamina di lumpur Lapindo itu salah satunya, jika diamati dengan sesama membentuk lafadz Allah. Subhanallah.

Dan yang lebih menghebohkan lagi, banjir yang melanda Mekkah dan Mina, Sabtu, 22 Januari 2005 lalu. Suatu kejadian yang langka terjadi di Mekkah, saat musim haji tiba.

Keajaiban atau kejanggalankah ini?
Seharusnya kejadian itu jadi renungan, introspeksi dan kajian yang mendalam. Kejadian yang terakhir kali terjadi tahun 1945 itu, kini terulang ditahun ini.

Peringatan atau berkah? Itu yang seharusnya muncul dibenak kita.

Satu lagi, gempa di Palu, Sulawesi Tengah. Serentetan bencana yang seakan tak ada habisnya mendera Indonesia.

Kalau diamat-amati, tingkah manusia semakin edan-edanan, termasuk saya sendiri. Hukum rimba kembali digunakan. Sesama saudara seiman saling membantai, bahkan dibeberapa tayangan televisi atau berita media massa, seorang bapak tega 'makan' darah dagingnya sendiri. Lebih edan lagi, kakek yang sudah bau tanah tega berbuat asusila terhadap cucunya.

Satu lagi. Saat ini banyak orang Islam yang sudah bermobil, terutama kaum Hawa. Namun sayangnya, hanya untuk membeli secuil kain untuk menutup auratnya pun tidak 'mampu'. Tapi, jika untuk membeli peralatan rumah tangga, mobil mewah, motor dan sejenisnya mereka mampu. Dapat kita lihat, dalam tayangan di teve atau di sekitar kita. Rumah megah dengan segala perabotan yang serba wah. Namun sayang, akibat korban mode agar tidak ketinggalan tren mereka pun tidak melihat pantas atau tidak pakaiannya.

Inilah 'penjajahan' diera modern ini. Itulah yang dilakukan bangsa barat untuk menghancurkan umat Islam. Jika dilakukan 'perang' terbuka seperti di Palestina, Afganistan dan Irak tidak bisa, mereka pun menyerang dari moral. Dan itu merupakan 'penjajahan' yang amat sangat berbahaya, dibandingkan dengan 'perang terbuka'. Akibat yang ditimbulkannya pun sangat dasyat, tingginya angka pemerkosaan, pencabulan dan sejenisnya. Untuk itu, dalam kondisi tertentu, sebenarnya sang pemerkosa dan yang diperkosa sama-sama bersalah. Artinya, sang pemerkosa melakukannya karena bisa jadi tergiur oleh lekuk tubuhnya yang sengaja terlihat karena pakaian yang swerba minim dan juga karena ada kesempatan. Sementara korbanya, tidak jarang mereka memang menggoda dengan berpakaian yang sangat minim atau you can see.

Tidak hanya itu, merebaknya prostitusi, bahkan ada yang sudah dilegalkan -menurut hukum manusia (baca: pemerintah)- sebenarnya membuktikan bencana alam dan kejanggalan itu peringatan dari Allah.

Bahkan, orang menganggap kejujuran dan kepolosan seseorang hanya akan menenggelamkan dirinya sendiri dan bahkan nyaris tak ada kawan. Sementara yang berbuat maksiat, begitu mudah mendapatkan teman berkawan.

Apakah tidak edan!

Salahkah jika Allah memberikan 'warning'-nya pada manusia?

Kita sudah banyak berkubang dengan lumpur dosa. Saatnya kini kita untuk bercermin terhadap ulah kita sendiri diawal 2007. Bagaimana menurut Anda? Wallahu ?alam. ***

OPINI ISLAM-Bangkitnya Entrepreneur Islami

OPINI ISLAM

Bangkitnya Entrepreneur Islami

Oleh: DEWI HARIYATI, SE
Penulis adalah Pengajar di MA Darul Hikmah Diwek Jombang dan tergabung dalam Komunitas Penulis Jombang (KPJ) dan Komunitas Penulis Lesehan (KOPEL) Jombang


Entrepreneur religius (islami) kini makin berkembang, bahkan saat ini mereka semakin eksis dan pesat perkembangannya. Mungkinkah sudah saatnya entrepreneur islami bangkit, untuk meningkatkan perekonomian ummat?



Sebagaimana kita ketahui, ‘senjata’ untuk menjatuhkan ummat Islam salah satunya adalah faktor ekonomi. Pasalnya, jika dilihat secara umum, yang menguasai perekonomian di Indonesia bukan orang pribumi, dan bahkan mereka non muslim. Akibatnya, hal itu menjadi ‘bumerang’ bagi umat Islam sendiri, sebagai mayoritas penduduk di Indonesia.

Untuk itu, perlu adanya perbaikan ekonomi dan saling kepedulian sesama muslim untuk meningkatkan ukhuwah. Salah satu faktor yang menyebabkan ‘jeblok’-nya ekonomi ummat, ada berbagai faktor. Diantaranya, tidak ada kepercayaan diri, takut gagal, meniru kesuksesan orang lain, jika sudah berhasil cenderung melupakan kualitas, dan masih banyak lagi.

Dalam segala aktifitas, seorang entrepreneurship (yang memiliki jiwa kewirausahaan) harus menyadari bahwa dalam setiap usaha kita terdapat campur tangan sang Kholiq. Untuk itu perlu menjunjung nilai-nilai agama dan mengimplementasikan ke dalam kehidupan berbisnis.

Sebagaimana dikemukakan terminology yang dikemukakan seorang profesor dari St Thomas University, Amerika Serikat, istilah entrepreneur religius beberapa waktu lalu menjadi wacana dalam sebuah jurnal entrepreneur dan menjadi perbincangan hangat. Dari perbincangan itu, diyakini bahwa ada hubungan positif (positif korelation) antara relegius dengan keberhasian.

Beberapa entrepreneur yang telah berhasil mengabungkan keduanya (agama dan usaha) diantaranya Bill Gates, Donald Trump, Anita Roddick, Warren Buffet dan masih banyak lagi. Mereka meski tidak secara eksplisit dikatakan bahwa mereka adalah benar-benar murni mengimplementasikan ajaran agama dalam bisnisnya. Beberapa tipikal mereka diantaranya humanis, manajer yang cerdas (profesional), menggaji karyawannya dengan layak, dan mengedepankan etika berbisnis.

Padahal, kita tahu, bahwa dalam berusaha, banyak perusahaan yang hanya memikirkan bagaimana mendapatkan untuk sebesar-besarnya dengan mengeluarkan dana sekecil-kecilnya. Sehingga yang mereka lakukan memanfaatkan tenaga kerja untuk terus bekerja, dan jika perlu mencari tenaga kerja yang upahnya kecil.

Mereka, beberapa pebisnis yang disebutkan di atas, hanya sebagian pengusaha yang mengikutkan faktor religius dalam berbisnisnya. Selain itu, mereka merupakan pembisnis yang baik, lebih dari 10 persen hasil keuntungan usahanya dihibahkan untuk kegiatan sosial dan lainnya.

Bagaimana dengan Entrepreneur Islami?
Di Indonesia, kita mengenal Manajemen Qolbu-nya Abdullah Gymnastyar (AA Gym), kemudian Pandu Siwi Sentosa milik HM Bhakty Kasry dan masih banyak lagi. Mereka merupakan beberapa diantara sekian pengusaha yang menerapkan agama dalam bisnisnya.

Sebut saja Manajemen Qolbu atau yang lebih dikenal dengan MQ. Bisnisnya diawali dari dakwah yang dilakukan ditengah keterpurukan ekonomi, moral dan soaial bangsa. Dakwah AA Gym mampu menjadi penyejuk hati ummat dalam setiap dakwahnya. Ia pun menerima permintaan dakwah dari penjuru tanah air. Kemudian setelah melalui proses, ia-pun ingin memberikan sesuatu yang lebih kepada umat. Melalui dakwahnya, ia pun mengajarkan cara berbisnis yang Islami. AA Gym-pun dikenal dengan pelatihan bisnis MQ yang diikuti para pembisnis untuk belajar manajemen Islami.

Sukses dakwah, tidak menyurutkannya untuk berhenti hanya sebagai pendakwah. Sesuatu yang lebih, yakni bisnisnya di bawah naungan Yayasan Pesantren Darut Tauhid pun mengembangkan dengan pesantern modern dan multifungsi. Kemudian mengepakan sayapnya dengan mengembangkan usaha toko, swalayan, warung telekomunikasi, penerbitan buku, tabloid, stasiun radio, pembuatan kaset dan VCD, TV, guest house, air minum kemasan dan lainnya.

Dalam berwirausaha, ia mengutip ayat Hadits Rasulullah SAW, yakni tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. AA Gym juga menyatakan bahwa umat akan berhasil dalam membangun usaha, jika mereka mampu membangun jiwa entrepreneurship dalam diri sendirinya.

Sementara Pandu Siwi Sentosa, yang awalnya bermodalkan patungan diantara koleganya, tahun 1992 Bhakty memulai bisnis jasa kurir dengan label Pandu Siwi Sentosa. Meski sempat jatuh, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia pun harus menjual mas kawin dan mobil milik istrinya. Ia pun menata manajemennya, dan usahanya membuahkan hasil. Tidak hanya itu, setelah berhasil, ia tidak melupakan jasa karyawannya. Bagaimanapun juga mereka ikut andil besar dalam kesuksesan bisnisnya. Untuk itu, ia membuat program menghajikan karyawannya.

Itu dilakukannya karena Bhakty menyadari, bahwa Allah SWT yang memberi kemudahan pada umat-Nya yang berusaha di jalan Allah. Untuk itu ia kembalikan kepada Allah melalui nilai-nilai yang ia tanamkan di perusahaannya, seperti nilai welas asih, atau berderma dan menanamkan nilai-nilai Islami pada karyawannya. Di kantornya, ia menerapkan zona bebas asap rokok bagi karyawannya, dan area berjilbab bagi karyawatinya.

Contoh di atas, hanya sebagian dari sekian ribu pengusaha yang menerapkan hubungan antara bisnis dan religius. Namun sayangnya, besarnya prospek bisnis dengan menjalankan syariat agama masih minim. Padahal, sudah banyak contoh nyata keberhasilan sosok pembisnis yang mengakui keterlibatan nilai-nilai agama.

Kini saatnya untuk membangun bisnis Islami, dengan mengedepankan kejujuran dan keadilan. Sehingga ke depan dapat membangkitkan ekonomi umat yang semakin terpuruk dan mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran yang didominasi umat Islam. Hal itu dapat terjadi, jika para pengusaha muslim menerapkan jiwa sosial untuk membantu sesama dengan memberikan pekerjaan, bukan sekedar modal. ***

KAJIAN ISLAM-Mendiskusikan Jilbab di Pusat Studi Al-Qur’an

KAJIAN ISLAM

Mendiskusikan Jilbab di Pusat Studi Al-Qur’an

Hari Kamis, (21/9/2006), saya diundang untuk membedah buku Prof. Dr. Quraish Shihab yang berjudul “Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer”. Tempatnya di Pusat Studi Al-Quran, Ciputat, lembaga yang dipimpin oleh Quraish Shihab sendiri. Hadir sebagai pembicara adalah Quraish Shihab, Dr. Eli Maliki, Dr. Jalaluddin Rakhmat, dan saya sendiri.


Acara ini mendapat sambutan yang cukup hangat. Ruangan yang tersedia tidak mampu menampung ratusan hadirin. Banyak peserta harus berdiri, karena kehabisan tempat duduk. Bertindak sebagai moderator adalah Dr. Mukhlis Hanafi, doktor tafsir lulusan Universitas al-Azhar Kairo, yang baru beberapa bulan kembali ke Indonesia. Ketika masih di Kairo, Mukhlis Hanafi sendiri sudah menulis satu makalah yang mengkritik pendapat Quraish Shihab tentang jilbab. Dr. Eli Maliki, doktor bidang fiqih -- yang juga lulusan Al-Azhar – mendadak menggantikan Dr. Anwar Ibrahim, anggota Komisi Fatwa MUI yang berhalangan hadir.

Prof. Quraish Shihab – seperti biasanya – dengan tenang mengawali paparannya yang ‘kontroversial’ tentang jilbab. Sudah lama ia mempunyai pendapat bahwa jilbab adalah masalah khilafiah – satu pendapat yang ganjil menurut pandangan para ulama Islam terkemuka.

Dalam bukunya tersebut, Quraish menyimpulkan, bahwa: “ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi.” Juga, dia katakan: “bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan.”

Masih menurut Quraish, “Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas.

Di sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan. (hal. 165-167). Dalam bukunya yang lain, “Wawasan Al-Quran”, (cetakan ke-11, tahun 2000), hal. 179), Quraish juga sudah menulis: “Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.”

Pandangan Quraish Shihab tersebut mendapat kritik keras dari Dr. Eli Maliki. Membahas QS 24:31 dan 33:59, Eli Maliki menjelaskan, bahwa Al-Quran sendiri sudah secara tegas menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian lain menyatakan, wajah boleh dibuka.

Saya sendiri berkeberatan dengan kesimpulan Quraish Shihab bahwa jilbab adalah masalah khilafiah. Saya katakan, yang menjadi masalah khilafiah adalah masalah muka dan telapak tangan, telapak kaki dan sebagian tangan sampai pergelangan, jika ada hajat yang mendesak.

Kesimpulan Quraish Shihab – bahwa jilbab adalah masalah khilafiah -- seyogyanya diklarifikasi, bahwa yang menjadi masalah khilafiyah diantara para ulama tidak jauh-jauh dari masalah “sebagian tangan, wajah, dan sebagian kaki”; tidak ada perbedaan diantara para ulama tentang wajibnya menutup dada, perut, punggung, paha, dan pantat wanita, misalnya.

Kesimpulan ini perlu dipertegas, agar tidak ada salah persepsi diantara pembaca, bahwa ‘batas aurat wanita’ memang begitu fleksibel, tergantung situasi dan kondisi.

Menurut Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS 24:31), menurut Qaradhawi, para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”.

Imam Nawawi dalam al-Majmu’, menyatakan, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Diantara ulama mazhab Syafii ada yang berpendapat, telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja.

Diantara ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik wajib menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab. Qaradhawi menyatakan -- bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan – adalah pendapat Jamaah sahabat dan tabi’in sebagaimana yang tampak jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa tampak daripadanya.” (Dikutip dari buku Fatwa-Fatwa Kontemporer (Terj. Oleh Drs. As’ad Yasin), karya Dr. Yusuf Qaradhawi, (Jakarta: GIP, 1995), hal. 431-436).

Pendapat semacam ini bukan hanya ada di kalangan sunni. Di kalangan ulama Syiah juga ada kesimpulan, bahwa ‘’apa yang biasa tampak daripadanya’’ ialah ‘’wajah dan telapak tangan’’ dan perhiasan yang ada di bagian wajah dan telapak tangan. Murtadha Muthahhari menyimpulkan, “… dari sini cukup jelas bahwa menutup wajah dan dua telapak tangan tidaklah wajib bagi wanita, bahkan tidak ada larangan untuk menampakkan perhiasan yang terdapat pada wajah dan dua telapak tangan yang memang sudah biasa dikenal, seperti celak dan kutek yang tidak pernah lepas dari wanita.” (Lihat, Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab (Terj. Oleh Nashib Musthafa), (Jakarta: Lentera Basritama, 2002).

Bahkan, dalam buku Wawasan Al-Quran, Quraish Shihab sendiri sudah mengungkapkan, bahwa para ulama besar, seperti Said bin Jubair, Atha, dan al-Auza’iy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya. (hal. 175-176).

Membaca kesimpulan buku Quraish Shihab tersebut, dapat menimbulkan pengertian, bahwa konsep “aurat wanita” dalam Islam bersifat “kondisional”, “lokal” dan temporal”. Kesimpulan ini “cukup riskan” karena bisa membuka pintu bagi “penafsiran baru” terhadap hukum-hukum Islam lainnya, sesuai dengan asas lokalitas, seperti yang sekarang banyak dilakukan sejumlah orang dalam menghalalkan perkawinan antara muslimah dengan laki-laki non-Muslim, dengan alasan, QS 60:10 hanya berlaku untuk kondisi Arab waktu itu, karena rumah tangga Arab didominasi oleh laki-laki.

Sedangkan sekarang, karena wanita sudah setara dengan laki-laki dalam rumah tangga – sesuai dengan prinsip gender equality – maka hukum itu sudah tidak relevan lagi. Bahkan, berdasarkan penelitian, lebih baik jika istrinya yang muslimah, dibandingkan jika suaminya yang muslim tetapi istrinya non-Muslim. Sebab, sekitar 70 persen anak ternyata ikut agama ibunya.

Dari pendapat para ulama yang otoritatif, bisa disimpulkan, bahwa ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang aurat dan pakaian wanita adalah bersifat universal, berlaku untuk semua wanita, sebagaimana ketika ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi yang berbicara tentang salat, jual beli, pernikahan, haid, dan sebagainya. Ayat-ayat itu tidak bicara hanya untuk orang Arab. Makanya yang diseru dalam QS 24:31 adalah “mukminat”. Itu bisa dipahami, sebab tubuh manusia juga bersifat universal. Tidak ada bedanya antara tubuh wanita Arab, wanita Jawa, wanita Amerika, wanita Cina, wanita Papua, dan sebagainya. Bentuknya juga sama.

Karena itu, pakaian dan aurat wanita juga bersifat universal. Sebuah koran nasional pernah memberitakan, sebuah sekolah menengah di AS melarang wanitanya mengenakan pakaian yang memperlihatkan belahan dadanya, karena dapat mengganggu konsentrasi para pelajar laki-laki, yang lebih suka melihat belahan dada wanita ketimbang pelajaran di kelas.

Hingga kini, di Inggris misalnya, tidak boleh melakukan aksi demonstrasi di jalan raya dengan bertelanjang bulat.

Karena sifatnya yang universal, maka tidak bisa dibenarkan – di daerah mana pun – wanita betelanjang dada – dengan alasan sudah menjadi “kebiasaan” sukunya. Pakaian koteka tetap salah, dan mereka yang berkoteka diupayakan secara bertahap supaya menutup auratnya.

Jika disepakati bahwa konsep teks al-Quran adalah bersifat “universal” dan “final” maka hukum-hukum yang dikandungnya juga bersifat “final” dan “universal” – tentu dengan memperhatikan faktor ‘illah.

Sebagai taushiyah, saya sampaikan kepada Prof. Quraish Shihab, bahwa melontarkan pendapat seperti itu tentang jilbab, bukanlah tindakan yang bijak. Di tengah arus budaya pornografi dan pornoaksi dan melanda masyarakat, dan munculnya arus budaya jilbab di kalangan wanita muslimah, penerbitan buku Jilbab karya Quraish Shihab ini, menurut saya, bukanlah tindakan yang bijaksana. Apalagi, diterbitkan oleh sebuah lembaga yang terhormat seperti Pusat Studi Al-Quran.

Ditambah lagi, meskipun ini hanya sebuah pendapat, tetapi pendapat ini bukan keluar dari seorang Inul Daratista atau seorang Asmuni, melainkan keluar dari seorang mufassir Al-Quran yang paling terkenal saat ini di Indonesia.

Pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab tentang jilbab dan fakta seorang putrinya yang tidak mengenakan jilbab dijadikan legitimasi oleh satu Majalah untuk melegitimasi tentang tidak perlunya wanita mengenakan jilbab. Majalah ini pada 22 Maret 2005, menulis judul
cover: “TERHORMAT MESKI TANPA JILBAB.”

Dr. Eli Maliki juga mengkritik sikap Prof. Quraish Shihab yang tidak mentarjih satu pendapat di antara para ulama, dan menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat luas untuk memilih pendapat-pendapat yang bermacam-macam. Padahal, kata Dr. Eli, tugas ulama adalah memimbing masyarakat, dengan menunjukkan mana pendapat yang lebih kuat, dibandingkan dengan yang lain. Seorang mahasiswi yang hadir mengaku bingung membaca buku Quraish dan takut membawa buku itu ke tempat asalnya, karena buku itu ia nilai bisa membingungkan.

Menghadapi semua kritik itu, Quraish Shihab tidak berubah dengan pendapatnya. Ia tetap menyatakan, bahwa jilbab adalah masalah khilafiah. Padahal, dalam bukunya, Quraish hanya merujuk kepada pemikiran seorang pemikir liberal Mesir yaitu Muhammad Asymawi.

Quraish bersikap kritis terhadap Muhammad Syahrur, tetapi tidak kritis terhadap Asymawi. Quraish tetap bertahan dengan pendapatnya, bahwa mengenakan jilbab yang menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan adalah ‘sebuah anjuran’, bukan kewajiban.

Eli Maliki juga mengkritik pendapat Quraish ini, dan menyatakan, bahwa mengenakan jilbab adalah sebuah kewajiban, yang jelas-jelas dinyatakan dalam Al-Quran. Quraish Shihab, meskipun bertahan dengan pendapatnya, bahwa jilbab adalah sebuah anjuran, namun dia mengaku telah mengajurkan keluarganya untuk memakai jilbab.

Dan ia berharap, para muslimah yang berjilbab, tidak lantas melepas jilbabnya, karena membaca pendapatnya. Quraish juga menekankan, bahwa ‘daerah-daerah rawan wanita’ tetap wajib untuk ditutup.

Menurut saya, karena begitu jelasnya perintah Al-Quran, dan padunya pendapat para sahabat Nabi, para tabiin, tabi’ut tabi’in, dan para ulama sesudahnya, tentang kewajiban mengenakan jilbab, lebih aman jika kita mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban yang jelas. Jika ada yang belum mampu mengenakan jilbab – karena berbagai alasan – sebaiknya tidak mengubah hukum jilbab. Lebih baik mengakui bahwa ada kekurangan dalam menjalankan perintah Allah SWT.

Walhasil, diskusi itu memang belum tuntas. Quraish Shihab tetap dengan pendapatnya semula. Kita pun sudah menyampaikan nasehat dan pendapat-pendapat untuk Quraish Shihab secara langsung. Kewajiban kita sudah selesai. Sekarang kita serahkan kepada Allah SWT.

Semoga masyarakat tidak dibuat bingung dengan pendapat Quraish Shihab tentang jilbab. Lebih aman jika masyarakat mengikuti pendapat para ulama yang sejak zaman Sahabat Nabi hingga kini telah bersepakat tentang kewajiban wanita menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya. Bagaimana pun, harus diakui, pendapat Quraish Shihab tentang jilbab, adalah pendapat yang ganjil, di kalangan ulama kaum Muslimin. Meskipun dia dikenal sebagai pakar tafsir, namun dalam hal ini, menurut saya, pendapatnya jelas keliru. Mudah-mudahan di masa mendatang, Quraish Shihab bersedia meralat pendapatnya. Wallahu a’lam. (Jakarta, 23 September 2006)

Sumber : Kolom Adian Husaini, M.A

OPINI ISLAM-Sinetron Religi Yang Tak Religius

OPINI ISLAM

Sinetron Religi Yang Tak Religius

Oleh: Dewi Hariyati

Penulis adalah Pengajar di SMK Al-Asy’ari Keras Diwek Jombang dan tergabung dalam Komunitas Penulis Jombang (KPJ)


--------------------------------------------

Sudah saatnya kita menkaji kembali keberadaan tayangan-tayangan yang ‘berbau’ religi di televisi. Hal ini terkait dengan pemahaman satu kaidah yang saat ini masih banyak perbedaannya. Dan bahkan tayangan-tayangan itu sudah menjurus pada pemahaman aqidah yang bebas (liberal).

---------------------------------------------

Masih ingat dalam ingatan kita, dalam sebuah dialog disebuah stasiun televisi swasta beberapa bulan lalu, yang menghadirkan Prof. Dr. Jalaluddin Rahmat, M.Sc -yang lebih dikenal dengan Kang Jalal- ia melontarkan kritikan terhadap dakwah dengan media elektronika (sinetron religi). Saat itu, ia menyatakan bahwa dakwah melalui sinetron religi saat ini lebih didominasi aspek komersial.

Memang, pernyataan itu jika diresapi bukan hanya kritikan sematan, lebih jauh merupakan ‘rambu-rambu’ pada pelaku itu sendiri. Lebih jelasnya pernyataan itu sangat debatable, terutama bagi pelaku yang terlibat dalam pembuatan dan penayangannya.

Seperti yang beberapa waktu lalu di tayangkan di sebuah televisi swasta, yang menyindir persoalan poligami. Bahkan tidak tanggung-tanggung, untuk menarik pemirsanya, mereka ‘menyamakan’ dandanannya dengan KH Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym). Karena fenomena Aa’ Gym mereka anggap sebagai hal yang aneh dan nyleneh. Padahal, masih banyak persoalan sosial yang layak diangkat dalam layar televisi. Lagi-lagi poligami, lagi-lagi poligami yang dijadikan ‘bemper’ untuk disalahkan.

Padahal sudah jelas aturan poligami, tapi kenapa pelarangan prostitusi dibiarkan merajalela? Jarang yang mengangkat kasus korupsi, atau kedurhakaan anak pada orang tua dan akibatnya. Jarang juga ada sinetron yang mengangkat kesalihah anak yang berbakti pada orang tuanya.

Tampaknya fenomena sebagaimana seperti dilontarkan Kang Jalal itu sepertinya sulit untuk ditolak, karena memang seperti itu adanya saat ini. Hampir semua stasiun televisi berlomba-lomba untuk menayangkan sinetron religi, namun saat ini Sebagian besar tidak terlepas dari aspek komersial daripada keinginan membangun masyarakat yang religius. Bukan tidak mungkin, yang terbangun bukan masyarakat religius, tapi terbangun masyarakat yang liberal, dan bahkan menjauhkan dari akidah.

Salah satu contoh, jika dulu, awal sinetron religi ditayangkan, pemain memakai pakaian ‘brukut’ (baca: muslimah) bagi wanita. Saat ini, apakah itu menyesuaikan cerita atau untuk mengikuti perkembangan jaman, mereka tampil lebih terbuka. Dari sini terlihat, komersialisasi sinetron sangat jelas terlihat.

Seperti tayangan sinetron Hikayah di Trans TV, Selasa (27/02/2007) jam 19.00 WIB dengan judul Putri Kerak Telur Yang Lupa Diri. Dalam tayangan itu, bagaimana seorang siswa berciuman dengan pacarnya yang satu sekolahan di kantin sekolah. Dan juga bagaimana perlakuan pemeran cowok yang membelai dagu si cewek di ruang kelas. Itu bukan merupakan tuntunan dalam agama Islam. Ini bukan merupakan tayangan tuntunan, tidak lebih hanya sebagai tontonan yang tak jauh berbeda dengan sinetron remaja lainnya. Seharusnya sang sutradara bisa memilah, mana yang layak menjadi tuntuna dan mana yang hanya untuk tontonan semata. Dengan tayangan itu, tentu akan berakibat fatal bagi remaja. Apalagi dalam cerita itu juga diceritakan bagaimana sesama teman harus menjadi “sindikat” penjualan (trafficking) temannya sendiri.

Selain itu pakaian mereka yang cenderung untuk membuka auratnya. Hal ini bisa jadi sinetron itu memiliki maksud-maksud tertentu, salah satunya ‘penghancuran’ secara berlahan terhadap agama Islam. Dan masih banyak lagi tayangan sejenis yang tidak menghiraukan rambu-rambu agama.

Apabila hal itu dibiarkan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti peradaban Islam agan mengalami kemerosotan nilai-nilai moral yang selama ini menjunjung harkat dan martabat sosok wanita. Dari pengamatan kami, penulis menilai, bahwa tontonan itu tidak layak jadi tuntunan.

Berbeda dengan jika kita lihat metode dakwah Rasulullah SAW, diperlukan uswah (contoh), dan secara konsisten (istiqamah) dari orang yang menyerunya agar masyarakat bisa meniru dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan contoh itulah, membuat dakwah Nabi berhasil dan mampu merubah masyarakat jahiliah menjadi religius dan bermoral.

Permasalahannya kemudian, dapatkah jika contoh yang konsisten itu tidak ditemukan, apakah pesan-pesan moral yang disampaikan bisa efektif untuk perubahan masyarakat.

Suksesnya sinetron religi saat ini merupakan tantangan bagi para pendakwah, sekaligus menggiurkan bagi mereka yang ingin meraup materi dan popularitas. Tapi, karena dunia pertelevisian tidak lepas dari komersialisasi, maka pelaksanaan dakwah pun sulit dilepaskan dari komuditas itu. Alhasil, mereka pun berlomba-lomba membuat inovasi agar dapat membuat sinetron semenarik mungkin untuk saling berebut pemirsa.

Akibatnya, di masyarakat pun timbul penilian, apakah pendakwah itu seorang penyebar agama atau artis yang bertutur tentang agama. Fatalnya, dakwah akhirnya tidak terkait dengan apa yang didakwahkan, tetapi siapa yang mendakwahkan.

Dengan mengemas komoditi dakwah, ternyata sangat dasyat efek yang ditimbulkannya. Bahkan dalam sebuah penelitian, rating sangat bagus untuk penayangan sinetron ini. Hal ini juga akan berimbas pada pemasang iklan (comercialbreak).

Sebagaimana penayangan dunia makhluk halus, tayangan sinetron religi juga merupakan peluang yang menjanjikan di Indonesia. Hal itu terjadi, sebagai akibat meningkatnya tekanan hidup di sebagian besar masyarakat. Dan mereka (baca: masyarakat yang sedang ‘sakit’) memerlukan penyegaran pikiran dan rohani, salah satunya dengan mengikuti setiap episode tayangan religi itu.

Gejala itu ternyata ditangkap oleh produser yang memproduksi sinetron tersebut. Namun, Akibatnya yang timbul sebaliknya, terjadilan eksploitasi terhadap sejumlah ajaran agama yang lebih bermuara kepada mistikasi agama dibandingkan memberikan pencerahan.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah kehidupan sosok artis sinetron. Kenapa artis sinetron? Merekalah yang saat ini malah menjadi panutan, bukan sang kyai atau ustadz. Kekhawatiran itu timbul, pasalnya, jika di sinetron mereka tampil sopan dan bersahaja. Tapi mampukah mereka menjaga kala di luar main sinetron. Mungkin ada beberapa yang mampu, lalu jika yang tidak mampu, lalu tampil di depan publik dengan dandanan yang tidak sesuai dengan yang diperankan, bisa jadi yang awalnya dakwah mendapat cibiran.

Untuk itu, proses desakralisasi agama itu adalah hilangan asas dalam dakwah itu, yaitu di mana setiap orang yang menyerukan agama haruslah menjadi contoh bagi masyarakat yang diserunya agar nilai-nilai yang disampaikan bisa tertanam dalam hati mereka. Berkaitan dengan hal itu, maka relevanlah ungkapan bahwa segala sesuatu harus dimulai dari diri kita sendiri baru kemudian mengajak orang lain.

Artinya, dalam peran dan kenyataan hidup sehari-hari, sering terjadi perbedaan yang sangat jelas pada diri seorang artis. Yakni, dengan contoh di senetron itu, orang-orang yang melihat bisa meyakini apa yang diserukan sebagai sebuah kebenaran. Akan tetapi, tidak demikian dengan kehidupan yang hanya diburu untuk melaksanakan ‘kewajiban’, dengan kata lain hanya tuntutan peran.

Akibatnya, sang pemeran dengan tanpa ada beban moral terhadap apa yang diperankan kembali ke prilaku semula. Yang awalnya dalam peran tampil sebagai orang saleh dan salehah dengan berpakaian islami, namun dalam keseharian berprilaku sebaliknya. Itu bisa bisa terjadi karena yang dilakukan hanya sekedar memenuhi kewajiban peran tanpa diikuti kewajiban lain.

Bahkan juga tidak jarang dalam membuat cerita sinetron terlalu dibesar-besarkan, hanya untuk menarik pemirsa. Sehingga secara tidak sengaja, kadang ceritanya malah sebaliknya menjerumuskan. Namun demikian, terlepas dari itu semua, mungkin ini bisa dijadikan ‘tonggak’ berkibarnya kembali ‘bendera’ ketauhidan. ***

Kisah Kejamnya Amerika

Kejamnya Amerika

"Mereka Memperkosaku Seperti Ini"

Nadia adalah salah satu korban tentara Amerika di penjara Abu Ghraib. Dia ditangkap tanpa alasan. Ketika dia dibebaskan dari penjara, tidak langsung kembali ke pangkuan keluarganya sebagaimana kebanyakan tahanan lainnya yang telah mengalami hal buruk, meskipun ketika dia telah terbakar oleh api penindasan dan kerinduan pada keluarganya. Nadia kabur dengan segera setelah dia meninggalkan penjara, bukan karena perasaan malu yang akan diterimanya karena sejumlah kejahatan yang dilakukannya, akan tetapi karena apa yang telah dialami olehnya dan wanita Iraq lain yang tertangkap, yaitu pemerkosaan dan penyiksaan yang dilakukan oleh tentara Amerika di penjara Abu Ghraib. Dinding penjara mengungkapkan banyak cerita tragis, namun apa yang dikisahkan Nadia merupakan kebenaran hidup dan sekaligus neraka hidup.

Nadia memulai ceritanya:

"Aku sedang mengunjungi salah seorang kerabatku, kemudian tiba-tiba tentara Amerika memasuki rumahnya dan mulai menggeledah rumah itu. Mereka menemukan beberapa senjata ringan. Maka merekapun menangkap semua orang yang berada di rumah itu termasuk aku. Aku mencoba menjelaskan pada penerjemah yang menyertai patroli Amerika bahwa aku hanyalah seorang pengunjung. Akan tetapi pembelaanku gagal. Aku kemudian menangis, memohon pada mereka, sampai hilang kesadaran karena takut ketika mereka membawaku ke penjara Abu Ghraib.

Nadia melanjutkan: "mereka menempatkanku sendirian di sebuah sel penjara yang gelap dan kotor. Aku berharap aku akan segera dibebaskan, utamanya setelah penyelidikan terbukti aku tidak melakukan kejahatan".

Nadia menjelaskan sambil air matanya mengalir ke pipinya, sebuah pertanda betapa banyak dia telah mengalami penderitaan.

"Hari pertama sangat menyusahkan. Selnya berbau tidak sedap, lembab dan gelap, kondisi ini membuatku semakin lama semakin takut. Suara tertawa prajurit di luar sel semakin membuatku ketakutan. Aku khawatir akan apa yang menimpaku nanti. Untuk pertama kalinya aku merasa berada dalam cengkraman situasi yang sulit dan aku telah memasuki sebuah dunia yang tidak dikenal yang aku tidak akan pernah keluar darinya.

Ditengah beraneka ragamnya perasaanku saat itu, aku mendengar suara seorang tentara wanita Amerika berbicara dalam bahasa Arab. Dia berkata kepadaku: "Aku tidak mengira penjual senjata di Iraq adalah wanita." Ketika aku mulai mencoba menjelaskan kepadanya kondisi yang sebenarnya, dia memukulku dengan kejam. Aku menangis dan berteriak "Demi Allah ! aku dianiaya, demi Allah ! aku dianiya"

Tentara wanita itu menghujaniku dengan cacian dengan cara yang belum pernah aku bayangkan bisa terjadi atau aku akan diperlakukan seperti itu dalam keadaan apapun selamanya. Kemudian dia mulai menertawakanku sambil mengatakan bahwa dia telah memonitorku sepanjang hari dengan satelit, dan bahwa mereka mampu melacak musuh-musuh mereka meskipun sedang berada di dalam kamar tidur mereka sendiri dengan teknologi Amerika.

Kemudian dia tertawa dan berkata, "Aku mengawasimu ketika kamu bercinta dengan suamimu." Aku menjawab dengan suara kebingungan "Tapi aku belum menikah".

Dia memukuliku selama lebih dari 1 jam dan dia memaksaku minum segelas air, yang kemudian kuketahui mereka memberi obat di air itu. Aku mendapatkan kembali kesadaranku setelah 2 hari dalam keadaan telanjang. Segera aku tahu jika aku telah kehilangan sesuatu yang hukum apapun di dunia tidak akan mampu mengembalikannya kepadaku lagi. Aku telah diperkosa. Aku kemudian histeris tak terkontrol, dan aku mulai memukulkan kepalaku dengan keras ke tembok sampai lebih dari lima tentara Amerika yang dikepalai tentara wanita itu memasuki sel dan mulai memukuliku, kemudian mereka memperkosaku bergantian sambil tertawa-tawa dan menperdengarkan musik dengan keras.

Hari demi hari skenario pemerkosaan terhadapku diulangi. Dan setiap hari mereka menemukan cara baru yang lebih kejam dibanding dengan yang sebelum-sebelumnya."

Nadia mulai menjelaskan perbuatan mengerikan dari Amerika bajingan:

"Setelah sekitar satu bulan, seorang tentara negro memasuki selku dan melemparkan 2 potong pakaian militer Amerika kepadaku. Dalam bahasa Arab yang lemah dia mengatakan agar aku memakainya. Setelah dia menutup kepalaku dengan kantong hitam, dia menuntunku ke toilet umum yang ada pipa untuk air dingin dan panas, dan dia memintaku untuk mandi. Kemudian dia menutup pintu dan pergi.

Aku menjadi sangat lelah dan merasakan kesakitan, tanpa mempedulikan banyaknya memar di tubuhku aku menuangkang sejumlah air ke badanku. Sebelum aku selesai mandi, tentara negro tadi masuk ke dalam. Aku ketakutan dan memukul wajahnya dengan mangkok air. Namun dia sangat kuat, dia memperkosaku dengan kejam dan meludahi mukaku, kemudian dia pergi dan kembali lagi dengan 2 tentara yang membawaku kembali ke sel.

Perlakuan seperti itu terus berlanjut, yang paling parah kadang aku diperkosa sampai 10 kali dalam sehari, membuat kesehatanku sangat buruk."

Nadia berlanjut mengungkapkan perbuatan Amerika yang mengerikan terhadap wanita-wanita Iraq, dia berkata:

"Setelah lebih dari 4 bulan, seorang tentara wanita datang, dan aku menyimpulkan dari percakapannya dengan tentara lainnya jika namanya adalah Mary. Dia berkata kepadaku "sekarang kamu memiliki kesempatan emas, karena seorang petugas yang memiliki posisi tinggi akan mengunjungi kita hari ini. Jika kamu menghadapinya dengan sikap yang positif kamu akan dibebaskan, terutama karena kami sekarang yakin kamu tidak bersalah."

Aku menjawab, "Jika kalian yakin aku tidak bersalah, mengapa kalian tidak membebaskan aku?"

Dia menjerit dengan gelisah, "Satu-satunya yang menjamin terbebasnya kamu adalah sikap positifmu terhadap mereka."

Dia membawaku ke toilet umum, dan dia mengawasiku mandi sambil membawa tongkat tebal untuk memukulku jika aku tidak melakukan perintahnya. Kemudian, dia memberiku make up, dan memperigatkanku untuk tidak menangis dan merusak make up ku. Lalu dia membawaku ke sebuah ruangan kosong yang di situ tidak ada apapun kecuali sebuah penutup lantai. Setelah satu jam dia datang dengan ditemani 4 tentara dengan memegang kamera. Dia melepas bajunya dan mulai menggangguku seoalah-olah dia adalah seorang lelaki. Tentara lainnya tertawa dan memperdengarkan musik yang ribut, mengambil photoku dalam berbagai pose, dan mereka menunjuk-nunjuk wajahku. Yang wanita menyuruhku tersenyum, jika tidak dia akan membunuhku. Dia mengambil pistol dari salah satu temannya dan menembakkan empat peluru di dekat kepalaku seraya bersumpah bahwa peluru yang kelima akan ditembakkan tepat di kepalaku.

Setelah itu, keempat tentara lainnya memperkosaku secara bergantian sampai aku kehilangan kesadaranku. Ketika kesadaranku pulih aku menemukan diriku di sel dengan bekas-bekas gigitan, kuku dan rokok ada di sekujur tubuhku."

Nadia berhenti bercerita tentang tragedi yang menimpanya untuk menyeka air matanya, kemudian dia melanjutkan lagi: "Kemudian suatu hari Mary datang dan mengatakan kepadaku bahwa aku kooperatif dan akan dibebaskan setelah aku menonton film yang mereka rekam. Aku merasa sakit setelah menonton filmnya, dan Mary mengatakan, "Kamu telah diciptakan hanya untuk membuat kami bersenang-senang". Saat itu aku menjadi sangat marah dan aku menyerangnya meskipun aku takut akan reaksinya, aku akan membunuhnya kalau saja tentara lain tidak turut campur. Ketika para tentara melepaskanku, Mary menghujaniku dengan pukulan, kemudian mereka meninggalkanku.

Setelah kejadian itu, tidak ada seorangpun yang menggangguku selama lebih dari satu bulan. Aku menghabiskan masa itu dengan beribadah dan berdoa pada Allah Ta'ala yang memiliki seluruh kekuatan untuk menolongku.

Mary datang dengan beberapa tentara yang memberiku pakaian yang kukenakan ketika mereka menangkapku dan membawaku ke sebuah mobil Amerika. Kemudian mereka melemparkanku di sebuah jalan raya setelah memberiku 10.000 dinar Iraq.

Aku pergi ke sebuah rumah yang berdekatan dengan tempat aku dibuang, dan untuk mengetahui reaksi keluargaku, aku memilih mengunjungi salah seorang kerabatku supaya mereka mengetahui apa yang telah menimpaku ketika menghilang. Aku mengetahui bahwa saudaraku telah memasang papan tanda duka untukku selama lebih dari 4 bulan, mereka menganggapku sebagai orang yang sudah mati.

Aku memahami jika tikaman malu sudah menungguku. Maka, aku pergi ke Baghdad dan menemukan sebuah keluarga yang baik yang menampungku, dan aku bekerja pada keluarga ini sebagai pembantu dan guru privat bagi anak-anaknya.

Nadia terheran dalam kesakitan, penyesalan dan kemarahan:

"Siapa yang akan memuaskan dahagaku? Siapa yang akan mengembalikan keperawananku? Apa salah keluarga dan familiku? Aku mengandung seorang bayi, bahkan akupun tidak tahu siapa ayahnya."

Dan Nadia mengakhiri ceritanya sampai di sini.

Apakah Amerika hanya memperkosa Nadia ataukah mereka memperkosa seluruh pria dan wanita di Ummat Islam ? Nadia adalah saya dan anda, istrimu dan juga istriku, saudarimu dan juga saudariku, ibumu serta ibuku. Dimanakah para pembela kesucian Islam! Dimanakah para pembela Islam!

"Mungkin masih banyak kisah menyesakan dada, bagi kita ummat Islam. Mungkin masih ada Nadia-Nadia lain di dalam penjara penuh penjaga babi dan kera berbangsa Amerika. Dimanakah kalian, jikalau kalian tidak tersentuh dengan cerita saudari kita, marahkah kalian dengan perlakuan manusia-manusia yang lebih kotor dari binatang ternajis sekalipun, bahkan mungkin mereka menjadi yang paling hina di Dunia dan Akhirat. Bangunlah wahai ummat!! Tidur kalian sudah terlalu lelap!!". (arrohmah.com)

Opini Prostitusiku Sayang, Poligamiku Malang

Refleksi Hari Ibu ke-78, 22 Desember

Prostitusiku Sayang, Poligamiku Malang

Oleh: Dewi Hariyati, SE *)

*) Penulis adalah pengajar di SMK Al-Asy,ari Keras Diwek Jombang dan tergabung dalam Komunitas Penulis Jombang (KPJ)

………………………………………………..

Aku sempat heran, poligami-nya Aa’ Gym dipersoalkan, padahal itu merupakan tuntunan agama. Tapi hingga kini free sex dan perzinahan dibiarkan masih merajalela dan bahkan sebaliknya diperdakan. Mengapa kemaksiatan ‘diagung-agungkan’ sementara kebenaran ‘disia-siakan’? Pantaslah kiranya jika Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, kini berduka dengan berbagai bencana.

……………………………………………….

Judul itu aku ambil sebagai bentuk keprihatinanku terhadap kondisi yang terjadi saat ini. Terutama, melihat fenomena semakin maraknya prostitusi tanpa ada yang dapat mencegahnya, bahkan cenderung ‘menyayanginya’ dengan dikeluarkan perda. Sementara poligami yang nyata-nyata sudah ada aturannya, sebaliknya ramai-ramai ditolaknya. Hal itu hanya gara-garanya setelah ada keputusan berani dari da’i kondang KH Abdullah Gymnastiar atau yan g lebih dikenal dengan Aa’ Gym, untuk berpoligami. Kenapa kami mengambil contoh Aa’ Gym?

Pertama, saat ia berceramah selalu dipadati jama’ah yang ingin mendengarkan tausiyahnya. Karena ceramahnya mampu menggugah hati dan tidak hanya memberikan teori-teori, tapi ia telah melaksanakannya. Sehingga apa yang disampaikan, ia implementasikan terlebih dahulu kedalam kehidupannya.

Kedua, keluarganya yang sholeh-sholihah. Dalam suatu kesempatan, ia pun senantiasa menunjukkan kebahagiaan rumah tangganya di hadapan umum. Suatu tauladan yang layak untuk diteladani. Yang baik dan menyenangkan kita sampaikan kepada khalayak, sementara hal-hal yang negatif kita simpan untuk kita renungkan dan kita perbaiki.

Ketiga, keputusannya tidak berpolitik. Meskipun tidak terjun ke dunia politik, ia pun masih bisa memberikan kritikan-kritikan pedas terhadap pemerintah. Seperti terlihat saat menjelang kedatangan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush. Ia pun berani menolaknya, pasalnya hal itu dilakukan sebagai bentuk dukungan moral terhadap aspirasi rakyat Indonesia yang sebagian besar menolak Bush.

Keempat, keputusannya berpoligami. Keputusan yang kontroversial diambil Aa’ Gym untuk memiliki istri yang kedua. Akibatnya dari sosok Aa’ Gym sangat luas dampaknya. Bahkan presiden pun harus ikut-ikutan berbicara terkait poligaminya Aa’ Gym. Sebegitu dasyatnya sosok Aa’ Gym, tapi sayang mengapa mereka terlihat ‘latah’ dengan ikut-ikutan menolak yang dilakukannya.

Jika seseorang mengidolakan seorang, model apapun akan dilakukannnya. Setidaknya ia menunjukkan eksistensinya sebagai wujud ia mengidolakan.

Lalu, jika Aa’ Gym berpoligami, kemudian yang sebelumnya mengidolakan Aa’ Gym menolak, yang jadi pertanyaan adalah ini mengidolakan beneran apa pengidola-idolaan?

Tentu keputusan berani Aa’ Gym itu harus dipelajari, karena sebelum Aa’ Gym berpoligami, banyak Aa’ Gym-Aa’ Gym lain yang lebih dahulu melakukannya. Kenapa mereka tidak dipersoalkan? Alasannya, yang diambil Aa’ Gym pun sangat relistis, selain menjalankan perintah agama, ia juga berharap agar istrinya ‘tidak terlalu’ mencintainya, sehingga melupakan cintanya kepada Allah. Karena saat ini banyak istri yang melupakan cintanya terhadap Allah, dan lebih memilih takut kehilangan suaminya. Jika ditilik dari persoalannya, dengan adanya poligami itu justru akan memperingan pekerjaan sang istri. Mereka bisa saling berbagi pekerjaan. Misalnya, ada yang memasak, ada yang mencuci dan kita pun sudah tak bergantung pada pembantu. Dengan demikian, keharmonisan rumah tangga pun terjaga, anak tidak lagi dekat dengan sosok seorang pembantu. Karena saat ini tidak jarang, seorang anak lebih dekat dengan pembantu daripada dengan ibunya sendiri.

Pada dasarnya, jika yang dikeluhkan hanya soal perasaan. Kembali lagi pada manusianya. Dengan demikian, sudah jelas, bahwa hal itu hanya untuk cintanya pada dunia. Mereka takut kehilangan suami, kehilangan kasih sayang atau lain sebagainya. Saat ini sebagian orang sudah terbentuk opini agar kita lebih cinta pada dunia, sementara melupakan cintanya pada sang Pencipta.

Poligami seharusnya saat ini sudah ‘wajib’ hukumnya, bukan sebaliknya diatur yabg rumit-rumit. Dari data sensus tahun sebelumnya saja menunjukan, bahwa jumlah wanita dan pria berbanding dua dibanding satu. Prakiraan sementara di salah satu media online jumlah penduduk seluruh dunia tiga dibanding satu. Jika tidak poligami, lalu mereka dikemanakan. Pasalnya, bukan tidak mungkin satu diantaranya adalah keluarga kita sendiri yang belum mendapatkan jodoh.

Kita relistis saja, saat sekolah di SMA, kami pernah mendapatkan pelajaran bab nikah. Saat itu dikatakan oleh guru kami, bahwa kita sebagai manusia diharapkan untuk memperbanyak umat. “Jangan takut mereka miskin atau melarat, jodoh, rejeki dan mati Allah yang mengaturnya. Semua dilahirkan sudah ditentukan oleh Allah,” kata sang guru.

Aku pun merenung terhadap apa yang diucapkan guruku itu. Setelah lama merenung, ternyata memang benar semua sudah diatur. Kita hanya bisa berusaha, berdo’a dan tawakal kepada-Nya. Jika kita tidak berusaha merubah nasib kita, maka Allah pun tidak akan merubahnya. Dan poligami yang menjadi pro dan kontra, juga sudah diaturnya. Salah satunya untuk memperbanya umat, karena jika tidak, maka umat Islam lambat laun akan habis. Sekarang saja sudah menunjukan hal itu, sebelumnya Indonesia jumlah muslimnya terbesar hingga 90 prosen lebih, kini hanya sekitar 80 prosen. Dan bukan tidak mungkin lima atau sepuluh tahun kemudian tinggal 50 prosen bahkan dibawahnya. Sebenarnya itu semua tanggung jawab kita semua, jika umat Islam ‘musnah’, dimanakah rasa tanggung jawab kita sebagai kholifah fil ardy (pemimpin di muka bumi) kepada Allah?

Terkait poligami yang menimbulkan pro dan kontra, sebenarnya banyak sisi positifnya. Dengan mengijinkan berpoligami, tentunya jalan menuju maksiat akan tertutup. Setidaknya, mereka yang selama ini menjadi penghuni lokalisasi pun akan menemukan jodohnya, dan suami-suami kita juga akan terjaga dari hal-hal yang negatif. Poligami salah satu cara tepat mengurangi perselingkuhan, perzinahan dan sejenisnya. Relakah suami kita ‘jajan’ di luaran? Jika kita lebih suka suami ‘jajan’ diluar, itu berarti kita menambah dosa, menambah panjang daftar kemaksiatan.

Jika pemerintah diresahkan dengan poligaminya Aa’ Gym, tapi mengapa pemerintah tidak resah dengan adanya lokalisasi. Bahkan cenderung membiarkan kemaksiatan. Dengan adanya perda yang mengatur prostitusi, secara tidak sengaja kita telah mendukung keberadaan prostitusi, dan berapa ratus keluarga hancur gara-gara suami sering ‘jajan’ ke lokalisasi. Sebut saja Dolly -yang katanya lokalisasi terbesar- dan Jarak di Surabaya. Akibatnya sudah jelas, tingkat penjualan anak (trafficking) untuk memuaskan nafsu pria hidung belang sangat tinggi. Bahkan usianya pun masih belia. Dan itu memiliki niloai jual yang sangat tinggi. Kenapa semua itu mereka biarkan, padahal dampaknya sangat jelas dan merusak moral. Justru poligami yang diatur oleh agama dipersoalkan? Rasanya kok tidak adil, suatu tindakan kebenaran dipersoalkan bahkan disalahkan. Na’udzubilahmindzalik.

Mengapa kita tidak mempersoalkan keberadaan prostitusi yang menyebabkan tertutupnya pintu hidayah, berkah, rahmat dan rejeki di muka bumi ini? Yang pemerintah ‘garuk’ hanya yang berada di pinggir jalan-jalan. Mengapa kita membiarkan diskotik, café yang beroperasi untuk kemaksiatan. Dan mengapa kita membiarkan anak-anak kita yang berdua-duaan di tempat umum dengan berkasih-kasihan. Coba lihat di Alun-alun setiap kota, terlihat muda-mudi sedang asyik-masyuk berpelukan. Seperti saat penulis lihat di alun-alun dan Kebon Rojo (Pujasera) Jombang, serta di Alun-alun Sidoarjo. Dan itu tidak menutup kemungkinan di kota lainnya.

Tentu ini tidak adil, yang benar dipersoalkan dan dipersalahkan, sementara yang salah tidak ada tindakan untuk meghentikannya. Bahkan cenderung untuk disetujui. Seperti yang terjadi di Jombang, soal prostitusi akan diperdakan. Jika itu jadi ‘didok’, maka itu merupakan kemenangan bagi kemaksiatan. Akibatnya, penjualan anak untuk dipekerjakan di lokalisasi pun marak. Pernahkan kita berfikir kearah sana?

Untuk itu, penulis berharap, mari kita berfikir jernih dalam menyikapi setiap persoalan. Jangan cuma karena ikut-ikutan, tapi malah menerjang rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Allah. Poligami sudah jelas hukumnya di Al-Qur’an, demikian juga dengan prostitusi dan kemaksiatan. Jika kita melanggarnya, tentu juga melanggar hokum Allah. Tinggal kita, berani tidak untuk mengungkapkan kebenaran seperti Aa’ Gym?***

Opini Selingkuh di Indonesia

Selingkuh di Indonesia

Oleh: Hartono Ahmad Jaiz
Wartawan dan Penulis Buku-buku Islami

Lafal selingkuh berasal dari Bahasa Jawa yang artinya perbuatan tidak jujur, sembunyi-sembunyi, atau menyembunyikan sesuatu yang bukan haknya. Dalam makna itu ada pula kandungan makna perbuatan serong. Namun lafal selingkuh itu mencuat secara nasional dalam bahasa Indonesia dengan makna khusus hubungan gelap atau tingkah serong orang yang sudah bersuami atau beristeri dengan pasangan lain.

Makna khusus dari lafal selingkuh itu tiba-tiba mencuat karena dimunculkan dalam penerjemahan berita dunia, tentang hubungan gelap Lady Diana isteri Pangeran Charles di Inggeris dengan lelaki lain bernama Dodi Al-Fayed. Lebih-lebih hubungan gelap itu berakhir dengan tragis, 31 Agustus 1997. Kematian Diana ini dalam keadaan sedang pacaran berduaan dengan lelaki bukan suaminya dan bukan mahramnya, di mobil, tengah malam, ketika mobil itu melaju sangat cepat lalu menabrak pilar terowongan di Paris hingga mobilnya ringsek, Ahad 31 Agustus 1997. Dari empat orang yang berada di dalam mobil itu, tiga di antaranya tewas. Yakni, Henri Paul sopir yang mabuk (kadar alkohol dalam darahnya 1,8 gram per liter, tiga kali lipat dari batas toleransi di Prancis), Diana, dan Dodi Al-Fayed pacar Diana yang berkebangsaan Arab Mesair. Sedang yang satu, lelaki pengawal Diana, Trevor Rees-Jones, yang duduk di samping sopir dikabarkan luka-luka berat. (Hartono Ahmad Jaiz dkk, Kematian Lady Diana Mengguncang Akidah Umat, Darul Falah, Jakarta, cet. 1, 1418 H, halaman 3-4).

Lafal selingkuh menjadi sangat terkenal dengan makna hubungan gelap orang yang sudah bersuami atau beristeri dengan pasangan lain adalah sebelum kematian Lady Diana. Ketika itu, Diana masih bersuamikan Pangeran Charles, membeberkan hubungan gelapnya dengan lelaki lain. Hubungan gelap itulah yang oleh media massa Indonesia diterjemahkan dengan perselingkuhan.

Sehingga, begitu Bahasa Jawa selingkuh ini mencuat jadi bahasa Indonesia tahun 1995-an, langsung punya makna lain (tersendiri) yaitu hubungan gelap ataupun perzinaan orang yang sudah bersuami atau beristeri. Ini merupakan perpindahan makna bahasa serta budaya bahkan ajaran. Sebab, budaya Barat bahkan hukum Barat, yang namanya zina itu hanya kalau sudah bersuami atau beristeri. Kalau bujangan atau suka sama suka, dianggapnya tidak. Itu sama sekali berlainan dengan Islam. Karena menurut Islam ada zina muhshon (yang sudah pernah berhubungan badan karena nikah yang sah, hukumannya menurut Islam, dirajam/dilempari batu sampai mati); ada zina ghoiru muhshon (belum pernah nikah, hukumannya dicambuk 100 kali dan dibuang setahun bagi lelaki, dan didera 100 kali bagi perempuan).

HUKUMAN ZINA DAN LARANGAN MEMBELANYA
Allah swt berfirman:
سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا ءَايَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ(1)الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ(2)الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ(3)

1. (Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan, dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), dan kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatnya.

2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya, mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.

3. Laki-laki yang berzina tidak akan mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak akan mengawininya melainkan laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang yang mukmin. (QS An-Nur/ 24:1,2,3).

Penjelasan

1. Al-Qurthubi berkata: Keutamaan surah ini mengandung hukum-hukum menjaga kehormatan diri dan nama baik (keluarga). Umar ra pernah mengirim surat kepada penduduk Kufah:
علموا نساءكم سورة النور
`Ajarkanlah kepada perempuan-perempuanmu surah an-Nur.` Aisyah ra (juga) pernah berkata:
لاتنزلوا النساء الغرف ولاتعلموهن الكتابة وعلموهن سورة النور والغزل
Janganlah kamu tempatkan perempuan-perempuan di dalam kamar-kamar saja, ajarlah mereka surah an-Nur dan (ajari) menenun. (Tafsir Al-Qurthubi 12:158).

2. Pada ayat kedua, Allah SWT menerangkan bahwa orang-orang Islam yang berzina, baik perempuan maupun laki-laki yang sudah aqil baligh, merdeka dan ghoiru muhshon (belum pernah nikah), wajib didera seratus kali, dera (jilid/ cambukan/ pukulan) sebagai hukuman atas dosa dan maksiat yang telah diperbuatnya itu.

Yang dimaksud dengan muhshon ialah perempuan yang pernah mempunyai suami yang sah, atau laki-laki yang pernah mempunyai isteri yang sah. (Yang belum pernah menikah disebut ghoiru muhshon).

Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhirat, tidak dibenarkan bahkan dilarang menaruh belas kasihan kepada pelanggar-pelanggar hukum itu, yang mengakibatkan tidak menjalankan ketentuan yang telah jelas digariskan di dalam Agama Allah bagi pelanggar-pelanggar (pezina) tersebut.

Di dalam menegakkan hukum, cukuplah jadi contoh junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw yang pernah bersabda:
وَايْمُ اللَّهِ لَوْ سَرَقَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti saya potong tangannya. (HR An-Nasa’i).

Hukuman dera hendaklah dilaksanakan oleh yang berwajib dan dilakukan di tempat umum, sehingga dapat disaksikan oleh orang-orang banyak, dengan maksud supaya orang-orang yang menyaksikan pelaksanaan hukuman dera itu mendapat pelajaran, sehingga mereka benar-benar dapat menahan dirinya dari berbuat zina.

Adapun pezina-pezina muhshon, baik perempuan maupun laki-laki, hukumannya ialah dilempar dengan batu (dirajam) sampai mati. Juga hukuman rajam ini dilaksanakan oleh yang berwajib di tempat umum yang dapat disaksikan oleh orang banyak. Hukum rajam itu didasarkan atas sunnah Nabi SAW. (lihat Tafsir Depag RI, juz 18, hal 730).

Di dalam Hadits, Allah berfirman:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالًا مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ. (أحمد )

Orang laki-laki tua dan orang perempuan tua apabila berzina, rajamlah oleh kamu sekalian mereka itu sampai mati sebagai suatu siksaan dari Allah, sedang Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (HR Ahmad).

Hukuman zina
Lelaki zina yang belum pernah menikah (ghoiru muhshon) didera 100 kali dan dibuang selama setahun. Sedang perempuan zina ghoiru muhshon (belum pernah nikah) cukup didera 100 kali tanpa diusir dari negerinya.

Perkataan Ibnu Umar:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَرَبَ وَغَرَّبَ وَأَنَّ أَبَا بَكْرٍ ضَرَبَ وَغَرَّبَ وَأَنَّ عُمَرَ ضَرَبَ وَغَرَّبَ . (الترمذي)

Bahwasanya Nabi saw telah mendera dan membuangnya. Abu Bakar telah mendera dan membuangnya. Dan Umar pun mendera dan membuang nya. (HR At-Tirmidzi)

Jika pelaku zina itu budak (hamba sahaya), maka didera 50 kali, tetapi tidak dibuang. Jika pelaku zina itu lelaki atau perempuan muhshon (telah pernah menikah secara sah dan bersetubuh, lalu melakukan zina) maka dirajam yaitu dilempari batu sampai mati.

Nabi pernah merajam wanita Khamidiyyah dan Ma’iz serta pernah merajam dua orang Yahudi (dalam Hadits shahih). (Lihat Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, Darul Fikr, halaman 434).

Anggota badan yang dipukul
Ulama sepakat bahwa anggota badan yang harus dijauhkan dari pukulan adalah wajah, aurat (kemaluan) dan tempat-tempat yang membahayakan jiwa apabila terkena pukulan. Ibnu Athiyah meriwayatkan bahwa hal ini telah disepakati oleh ulama tetapi mereka masih berbeda pendapat tentang anggota selain itu.

Seyogyanya orang yang didera itu dilepaskan pakaiannya dan dipukul dalam keadaan berdiri, kecuali hukuman menuduh zina (didera 80 kali) maka waktu dipukul tanpa dilepaskan pakaiannya dan tanpa dibuang kapas atau bulu yang ada di pakaiannya. Sedang perempuan harus dibiarkan pakaiannya dan dipukul dalam keadaan duduk. Dalilnya yaitu riwayat tentang pelaksanaan rajam oleh Nabi saw terhadap orang-orang Yahudi, di mana dalam hadits itu rawinya berkata: Aku lihat yang laki-laki condong kepada yang perempuan untuk melindunginya dari lemparan batu. Ini menunjukkan bahwa yang laki-laki berdiri sedang yang perempuan duduk. Wallahu a’lam. (As-Shobuni, Tafsir Ayat Ahkam, II, 104/ terjemahan).

Cara merajam
Kalau yang dirajam itu lelaki, maka dikenai had (hukuman) rajam, dia berdiri tidak diikat dan tidak digali lubang untuknya, baik ketetapan zinanya itu dengan bukti ataupun dengan pengakuan. Ini tempat kesepakatan antara para fuqoha’ (ahli fiqih). Adapun perempuan maka digali lubang untuknya sampai dadanya ketika dirajam, apabila ketetapan zinanya itu dengan bukti; agar tidak terbuka auratnya. Imam Ahmad berkata dalam satu riwayat, tidak digali lubang untuknya, seperti laki-laki (juga). Orang yang berhak dirajam itu dikeluarkan ke bumi terbuka, dan saksi-saksi memulai merajamnya, bila ketetapan zinanya itu karena saksi, sebagai sunnah menurut Jumhur Ulama, dan wajib menurut Hanafiyah. Imam hadir di sisi perajaman sebagaimana sekumpulan lelaki muslimin hadir. Dia dirajam (dilempari) dengan batu yang sedang. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Kementerian Waqaf Kuwait, Juz 22).

Sementara itu Al-Jazairi menjelaskan: Yaitu dengan cara digali lubang ke dalam tanah sampai dengan dadanya. Lalu ia dimasukkan ke lubang itu, dan dilempari (batu) sampai mati, di hadapan imam atau wakilnya dan jama’ah kaum Muslimin, paling sedikit berjumlah 4 orang. Berlandaskan surat An-Nur ayat 2.

Wanita yang berzina muhshon (sudah pernah menikah sah dan bersetubuh, lalu ia berzina) maka diberi hukuman sama dengan laki-laki (dirajam sampai mati pula), hanya saja ia tetap berpakaian, agar jangan sampai terbuka. (Minahjul Muslim, hal 435).

Adapun yang berzina ghoiru muhson (belum pernah nikah) maka didera 100 kali dan pezina lelaki setelah didera 100 kali lalu dibuang setahun seperti tersebut di atas. Penuduh zina yang tidak bisa mendatangkan 4 saksi maka didera 80 kali. Peminum khamr didera 80 kali, tetapi Umar pernah mendera peminum khamr 100 kali karena di bulan Ramadhan, tambahan yang 20 kali itu karena Ramadhan tersebut. Hingga kalau peminum khamr itu merajalela, bisa ditambah pula jumlah deranya. (lihat As-Shobuni, Tafsir ayat Ahkam).

Orang yang melakukan liwath (homoseks atau lesbian, bersetubuh melalui lubang dubur yang bukan suami isteri) hukumannya dirajam sampai mati, tanpa membedakan muhshon atau ghoiru muhshon. Rasulullah SAW bersabda:
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : { مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ , وَمَنْ وَجَدْتُمُوهُ وَقَعَ عَلَى بَهِيمَةٍ فَاقْتُلُوهُ وَاقْتُلُوا الْبَهِيمَةَ } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ وَرِجَالُهُ مُوَثَّقُونَ , إلَّا أَنَّ فِيهِ اخْتِلَافًا .

Barangsiapa di antara kalian menemukan orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseks), maka bunuhlah (kedua-duanya) pelaku dan yang diperlakukan homoskes. Dan barangsiapa kalian temukan dia menyetubuhi binatang maka bunuhlah dia dan bunuh pula binatangnya. (HR Imam Ahmad dan empat Imam, rijalnya tsiqot/ terpercaya, hanya saja ada ikhtilaf, perbedaan pendapat/ Subulus Salam, juz 2).

Dilarang menolong terhukum

Nabi saw bersabda:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ يَرْفَعُهُ { مَنْ حَالَتْ شَفَاعَتُهُ دُونَ حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ فَقَدْ ضَادَّ اللَّهَ فِي أَمْرِهِ } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ بِإِسْنَادٍ جَيِّدٍ .

Barangsiapa pertolongannya dapat menghalangi pelaksanaan hukuman (had) dari hukuman-hukuman (yang ditentukan oleh) Allah maka benar-benar ia telah melawan Allah mengenai perintah-Nya. (HR Ahmad dan lainnya, dari Ibnu Umar ra, sanadnya jayyid, bagus).

Haramnya memberi pertolongan terhadap hukuman yaitu hadits:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الَّتِي سَرَقَتْ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ الْفَتْحِ فَقَالُوا مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُتِيَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ فِيهَا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ فَتَلَوَّنَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ أُسَامَةُ اسْتَغْفِرْ لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَمَّا كَانَ الْعَشِيُّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاخْتَطَبَ فَأَثْنَى عَلَى اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَإِنِّي وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا ثُمَّ أَمَرَ بِتِلْكَ الْمَرْأَةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقُطِعَتْ يَدُهَا

Bahwa sesungguhnya pernah terjadi orang-orang Quraisy menaruh perhatian terhadap seorang perempuan dari suku Makhzumiyah yang melakukan pencurian, lalu mereka bertanya: Siapakah yang akan menyampaikan ihwal perempuan itu kepada Rasulullah saw? Kemudian mereka menjawab: Tidak ada yang berani menghadapnya kecuali Usamah bin Zaid kesayangan Rasulullah saw. Lalu Usamah menyampaikan kepada Rasulullah saw maka wajah Rasulullah saw berubah warna (artinya marah), maka Rasulullah saw bertanya: “Apakah engkau akan memberi pertolongan terhadap hukuman (had) Allah?” Kemudian beliau berdiri menyampaikan sabdanya: Sesungguhnya yang merusak umat terdahulu adalah karena apabila di kalangan mereka itu ada orang yang terhormat mencuri maka mereka membiarkannya, dan apabila ada di kalangan mereka orang lemah yang mencuri maka mereka tegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri pasti kupotong tangannya. (HR Muslim dari Aisyah ra).

Demikianlah hukum mengenai zina dan larangan menolong atau meringankan hukuman atas pelakunya. Selanjutnya mari kita kembali ke lafal selingkuh yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini.

Sampai sekarang, lafal selingkuh lebih dekat kepada makna hubungan gelap antara orang yang sudah bersuami atau beristeri dengan pasangan lain. Kalau pacaran dianggap bukan selingkuh, tetapi kalau diam-diam ada pacar lain lagi, baru dianggap selingkuh. Ini semua makna-makna yang berkembang, tetapi sebenarnya tidak sesuai dengan syari’at Islam, karena Islam tidak membolehkan pacaran.

Definisi selingkuh
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, makna dari lafal selingkuh masih seperti aslinya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Kedua, cetakan ke-7, 1996, hal. 900, selingkuh adalah:

1. Tidak berterus terang; tidak jujur; suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; curang; serong;
2. Korup; menggelapkan uang.

Dilihat dari definisi itu, lafal selingkuh sekarang sudah mengalami perubahan makna, menjadi makna khusus, yaitu hubungan gelap bagi orang bersuami atau beristeri. Dan perbuatan itu dianggapnya lumrah, biasa. Ini yang menjadi persoalan besar, karena jumlahnya pun makin bertambah. Lebih memprihatinkan lagi, perzinaan yang membahayakan bagi keluarga, masyarakat, bahkan kesehatan dan keturunan ini tidak dipersoalkan, sedang poligami yang tidak ada soal menurut Islam, justru dipersoalkan oleh mulut-mulut yang tak bertanggung jawab. Aneh memang.

Bagaimana masyarakat tidak terseret oleh “budaya selingkuh”, wong yang namanya tokoh selingkuh tingkat dunia, Lady Diana, justru kematiannya dipuja-puja, diucapi ucapan duka-cita, bahkan ada khotib Jum’at yang mendoakannya di satu masjid di Jakarta (padahal Lady Diana itu orang kafir, yakni bukan Islam), gara-gara gencarnya televisi dan media massa lainnya menyiarkan secara besar-besaran dan berlama-lama. Masyarakat menjadi larut dalam kesedihan atas meninggalnya tokoh selingkuh itu akibat siaran langsung televisi-televisi swasta di Indonesia dan dunia selama prosesi penguburan Diana ala gerejani –Kerajaan Inggeris, Sabtu 6 September 1997 yang berlangsung 7 jam lebih. Siaran tokoh selingkuh ini kabarnya ditonton 2,5 miliar orang sedunia dari 187 negara, sampai tv-tv swasta Indonesia saat itu tidak ada yang menyiarkan adzan maghrib. Astaghfirullahal ‘adhiem, tokoh selingkuh telah jadi berhala yang diarak bagai patung anak sapi yang disembah-sembah masyarakat Bani Israel atas bujukan Samiri di zaman Nabi Musa as.

Media massa yang menggantikan fungsi Samiri melakukan penggiringan opini dan perasaan masyarakat untuk menjerumuskan ke arah yang sangat jauh dari aturan manusia secara umum yang wajar, apalagi aturan-aturan Islam. Menggiring untuk larut dan ikut bersedih atas kematian tokoh selingkuh alias berhubungan gelap dengan pasangan yang tidak sah, dan secara aqidah adalah kafir (bukan Islam).

Akibatnya, masyarakat dengan segera berubah menjadi tidak normal. Buktinya? Berita berikut ini salah satu bukti, yaitu pernikahan menurun drastis, perceraian akibat perselingkuhan semakin naik, dan perempuan menggugat cerai ke suaminya makin naik bahkan lebih banyak dibanding yang ditalak oleh suami. Berikut ini beritanya:

Setiap Dua Jam Ada Yang Cerai Karena Selingkuh

Mualim, petugas di PA (Pengadilan Agama) Tulungagung, mengungkapkan ada 200-250 kasus perceraian yang diproses PA Tulungagung setiap bulan. Kebanyakan dipantik selingkuh.

“Kasus perselingkuhan selalu ber-ending perceraian. Tak ada perselingkuhan dengan happy ending,” katanya.

Bahkan di Tulungagung, akronim selingkuh sebagai ‘selingan indah, keluarga utuh’ tak berlaku. Di sana, akronim selingkuh adalah ‘selingan indah, keluarga runtuh’.

Perceraian akibat perselingkuhan kini bukan lagi monopoli artis yang kisahnya sering dikuliti di acara infotaiment. Selingkuh kian meluas dan mengancam keluarga, unit terkecil bangsa ini.

Klinik Pasutri yang dikelola dr Boyke Dian Nugraha pernah melakukan penelitian dengan sample 200-an orang pasein. Hasilnya, empat dari lima eksekutif pria berselingkuh. Perbandingan selingkuh pria dan wanita pun mencapai 5:2. “Itu baru yang ketahuan lho-karena dia mau cerita ke dokter,” katanya.

Selingkuh, juga bisa menjadi akronim ’selingan indah karier runtuh’. Hal itulah yang terjadi dengan perselingkuhan anggota DPR, Yahya Zaini, dengan pedangdut Maria Eva. Ketika rekaman hubungan mesum keduanya beredar, karier politik Yahya pun rontok bak rumah abu. Padahal, Yahya sempat jadi calon menteri lewat reshuffle kabinet, Maret 2007 ini.

Lalu, seberapa besar sesungguhnya ancaman selingkuh terhadap keluarga-keluarga di Indonesia? Pergerakan data ststistik dari Direktorat Jenderal Pembinaan Peradilan Agama menguaknya. Selingkuh telah menjadi ‘virus’ keluarga nomor empat.

Tahun 2005 lalu, misalnya, ada 13.779 kasus perceraian yang bisa dikategorikan akibat selingkuh; 9.071 karena gangguan orang ketiga, dan 4.708 akibat cemburu. Persentasenya mencapai 9,16 persen dari 150.395 kasus perceraian tahun 2005 atau 13.779 kasus! Alhasil, dari 10 keluarga yang bercerai, satu diantaranya karena selingkuh. Rata-rata, setiap dua jam ada tiga pasang suami istri bercerai gara-gara selingkuh.

Perceraian karena selingkuh itu jauh melampaui perceraian akibat poligami tidak sehat yang hanya 879 kasus atau 0,58 persen dari total perceraian tahun 2005. Perceraian gara-gara selingkuh juga sepuluh kali lipat dibanding perceraian karena penganiayaan yang hanya 916 kasus atau 0,6 persen.

Dan perselingkuhan itu diprediksi akan terus naik. “Karena banyak tokoh yang melakukannya,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK), Ratna Batara Munti.

“Selingkuh adalah fenomena tak sehat bagi bangsa ini. Selingkuh itu zina,” tandas Nasaruddin Umar, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag. (Republika, Ahad, 7 Januari 2007/ 17 Dzulhijjah 1427H, halaman 1).

Perkara Perceraian di Indonesia
Tahun__Cerai____Talak____Cerai Gugat (dari isteri)
2000___63.745___81.864___(56, 2%)
2001___61.593___83.319___(57,4%)
2002___58.153___85.737___(59,5%)
2003___52.360___80.946___(60,7%)
2004___53.509___87.731___(62,1%)
2005___55.536___94.859___(63%)
Sumber: Ditjen PPA (Republika, Ahad, 7 Januari 2007/ 17 Dzulhijjah 1427H, halaman 02)

Pernikahan turun
Yang memprihatinkan, saat angka perceraian terus meningkat dari tahun ke tahun, pernikahan justru terus mengalalami penurunan. Mungkinkah lembaga pernikahan tak lagi menarik?

Jumlah pernikahan tahun 2005 lalu, bahkan hanya sedikit meningkat dibanding 1950-an, di saat jumlah penduduk baru 50 juta orang. “Jumlah pernikahan tahun 1950-an lalu sudah mencapai 1,4 juta, lho,” kata peneliti ahli Litbang Departemen Agama, Moh Zahid. (Republika, Ahad, 7 Januari 2007/ 17 Dzulhijjah 1427H, halaman 02).

Elit rusak
Rusaknya moral kaum elit adalah menyangkut selingkuh secara utuh, yaitu makna secara keseluruhan. Baik selingkuh yang maknanya korupsi, tidak jujur, serong, maupun zina. Betapa banyak orang elit, pejabat, eksekutif dan para pengambil kebijakan yang justru diseret ke pengadilan sebagai tersangka korupsi. Itu yang ketahuan. Hanya saja, sayangnya tidak ada kabar yang masuk pengadilan gara-gara zina. Diadili saja tidak, apalagi dirajam, yaitu dibunuh dengan cara dilempari batu. Kalau yang cerai gara-gara selingkuh saja tiap dua jam ada, lantas kalau mereka diadili, berarti tiap dua jam ada sepasang selingkuh yang divonis mati dengan dirajam.

Karena yang diseret ke pengadilan hanya yang korupsi, bukan yang berzina, maka suatu ketika lembaga ulama mengeluarkan semacam fatwa atau imbauan hanya menyangkut pemberantasan korupsi, bukan untuk mengadili yang berzina. Apakah dianggap para koruptor dari kalangan eksekutif itu tidak juga berzina?

Ternyata hasil penyeledikan dokter menunjukkan, 80% eksekutif pria berselingkuh alias berzina. Penyelidikan itu belum menunjukkan mesti demikian keadaan para eksekutif, namun yang jelas, mereka yang diselidiki dan mengaku, hasilnya seperti itu. Beritanya mari diulang lagi:

Klinik Pasutri yang dikelola dr Boyke Dian Nugraha pernah melakukan penelitian dengan sample 200-an orang pasein. Hasilnya, empat dari lima eksekutif pria berselingkuh. Perbandingan selingkuh pria dan wanita pun mencapai 5:2. “Itu baru yang ketahuan lho-karena dia mau cerita ke dokter,” katanya. (Republika, Ahad, 7 Januari 2007/ 17 Dzulhijjah 1427H, halaman 1).

Dari lima orang hanya satu yang tidak berselingkuh, itu kenapa? Tentu banyak faktornya, dan sebenarnya bangsa ini tidak langsung perbuatan bejatnya semayoritas itu. Ini mesti ada penyebab-penyebabnya. Di antaranya adalah tidak diperkenankannya berpoligami, karena ada aturan ketat, harus dengan syarat minta izin isteri dan sebagainya, dan hampir sulit sekali. Di samping itu, dipersilahkan pula untuk berzina. Kalau berzina tidak dipersoalkan, bahkan sarana-sarana sudah ada, dan sistemnya tidak mempersoalkannya. Lebih dari itu, justru perzinaan jadi salah satu lahan pemasukan bagi pemerintah daerah atau orang-orang yang berbisnis maksiat.

Kondisi yang sudah jelas rusak itu ketika kerusakannya menimbulkan bencana, misalnya menjalar penyakit AIDS, maka bukan perzinaan yang membahayakan itu yang diberantas, tetapi tetap saja dilindungi agar terus berjalan, hanya disuruh memakai kondom. Bahkan disebari kondom gratis. Itu artinya, silahkan berzina, hanya saja pakailah kondom. Itulah jahatnya sistem ini.

Kenapa kondisi Indonesia sampai separah ini? Jawabannya, bahwa sebenarnya ada kekuatan-kekuatan jahat secara bersekongkol atau berkomplot yang merusak umat Islam Indonesia ini secara sistematis. Kalau tidak, tentu saja Majalah Playboy yang sudah jelas-jelas simbol kepornoan tentu tidak berani nongol apalagi beredar di Indonesia. Tetapi kenyataannya tetap nekad beredar walau sudah dihadang umat Islam dari sana sini. Itulah beberapa bukti, maka pembahasan disertai data seperti ini perlu ditulis, agar umat Islam menyadarinya. Untuk mengetahui lebih komplit, silahkan baca buku berjudul Wanita Antara Poligami dan Perselingkuhan. Buku tersebut akan diluncurkan pada acara Pameran Buku Islam (Islamic Book Fair) di Istora Senayan, Jakarta, tanggal 3-11 Maret 2007, dan akan dibedah di sana, pada hari Ahad tanggal 11 Maret 2007 jam 10 pagi, insya Allah. ***