BROSUR PMC Cell - Klik Gambar di Bawah Ini

BROSUR PMC Cell - Klik Gambar di Bawah Ini
PMC Cell - Master Pulsa Electric

Menggapai Kemuliaan Muslimah dengan Bimbingan Salaful Ummah

Minggu, 26 April 2009

Caleg = Calone Gendeng

Pagi itu suasana di desa tempat tinggal Mbok Darmi berangsur-angsur pulih dari keramaian saat pemilu legislatif. Mereka kini kembali ke rumah masing-masing untuk bekerja sesuai dengan pekerjaannya. Demikian juga dengan Mbok Darmi, ia pun kembali membuka pintu warungnya yang ditutup saat melakukan pencontrengan 9 April 2009 yang lalu.

“Waduh… kalo gini mending nggak ikut caleg, daripada gendeng (baca: stres) seperti itu,” gerutu Mbok Darmi seorang diri yang sedang membersihkan warungnya sambil nonton teve.

Kebetulan saat itu di teve menayangkan pola tingkah aneh para calon wakil rakyat yang mendapat suara minim. Cara yang dilakukannya pun juga tergolong unik, mulai yang melakukan aksi bunuh diri hingga yang terserang virus depresi (stress).

Sebagai salah satu pemilih, ia prihatin melihat beberapa calon wakil rakyat yang jika terpilih nanti mewakili aspirasi rakyat. “Wong kalah gitu aja sudah gendeng, bagaimana nanti kalo mewakili pendukungnya? Seharusnya kalo sudah siap maju nyaleg, seharusnya sudah siap segala-galanya, termasuk siap tidak mendapat suara,” gerutunya makin kesel.

Sedang asyik-asyiknya membersihkan warungnya, Mbok Darmi dikejutkan oleh suara di depan pintu warungnya. “Assalamu’alaikum……!!!!,” suara salam terdengar dari luar membuyarkan lamunannya.

“Wa’alaikumsalam……eh… Kang Brodin. Kadengaren pagi-pagi sudah menampakkan batang hidungnya?,” sapa Mbok Darmi setelah mengetahui yang datang pelanggan tetap warungnya.

“Iya Mbok… daripada bengong di rumah. Emang yang lain belum ke sini toh?,” Kang Brodin balik bertanya.

“Ya belum lah Kang, biasanya khan agak siang atau sore,” saut Mbok Darmi.

“Tak amati sejak tadi kok si mbok melamun terus, mukanya itu lho cemberut. Emang ada apa mbok?,” tanyanya dengan nada menyelidiki.

“Nggak ada apa-apa Kang, itu lho cuman heran sama tingkah caleg-caleg yang nggak jadi yang ditayangkan di teve semakin tambah aneh-aneh saja?,” jelasnya.

“Iya lah Mbok, mereka khan sudah habis banyak. Trus niat mereka bukan berjuang untuk rakyat, tapi bagaimana mendapatkan kedudukan, jabatan, dan tentunya pundi-pundi rupiah yang berlimpah dengan jalan 4 D,” ungkap Kang Brodin yang mantan aktivis ini.

“Apa sich Kang 4 D itu?,” tanya si Mbok yang nggak paham singkatan itu.

“4 D itu datang, duduk, diam, duit,” jelas Kang Brodin.

“Lebih edan lagi, ada juga caleg yang gagal itu ngemplang pengusaha sablon dan stiker. Bahkan ada juga yang menarik lagi bantuannya yang diberikan untuk pembangunan tempat ibadah ataupun masyarakat. Ya emang dasarnya ngasih bantuan tidak ikhlas alias berharap dapat suara. Untung mereka nggak jadi. Coba kalo jadi, pasti yang diperhatikan lebih dulu bagaimana ‘modal’ awal kembali yang ujung-ujungnya korupsi,” kata Mbok Darmi.

“Wah makin cerdas aja si mbok,” puji Kang Brodin.

Sebelum melanjutkan ‘diskusi’ kecil-kecilan ala warung Mbok Darmi, tak disangka ada seseorang yang datang. Dua orang yang taka sing lagi bagi Mbok Darmi dan Kang Brodin. Mereka adalah Markuat dan Cak Sholeh. “Assalamu’alaikum….!!!,” ucap mereka berdua.

“Waalaikumsalam……!!!,” saut Mbok Darmi dan Kang Brodin hamper bersamaan.

“Tumben Kang kok pagi-pagi sudah ada di warung Mbok Darmi? Hayo…. Mau ngapeli si mbok ya!!!,” goda Markuat.

“Enak aja…. Siapa juga yang ngapeli si mbok. Ya kamu itu yang mau ngapeli si mbok! Kamu cemburu toh kalo aku datang ke sini?,” ganti Kang Brodin yang menuding Markuat.

“E… sudah…. sudah…. Masak gitu aja mau berantem. Apa bedanya kalian sama caleg atau pendukung yang tidak puas lalu berantem hanya untuk memperebutkan suara,” cegah Cak Sholeh.

“Baru datang dan belum apa-apa kok mau berantem hanya persoalan sepele,” lanjutnya.

“Mbok buatkan kopi, yang agak manis ya…,” pinta Cak Sholeh.

“Aku juga Mbok…,” saut Markuat.

“Wis yang sudah ya sudah nggak usah berantem. Lebih enak kalau kita itu hidup damai tanpa ada persoalan dan hidup berdampingan,” pinta Cak Sholeh.

“Iya Cak makasih nasihatnya. Mar…. aku minta maaf ya….,” pinta Kang Brodin.

“Nggak apa-apa Kang, seharusnya aku yang salah menggoda sampean,” kata Markuat.

“Nah gitu dong….!!! Enak khan tanpa ada yang merasa benar. Semua merasa salah jadi persoalan cepat selesai,” papar Cak Sholeh.

“Iya Cak, seandainya juga para caleg itu bisa menerima apapun hasilnya dari pileg (baca: pemilu legislatif), mungkin bisa mengurangi caleg stres,” katanya.

“Lho kok diseret-seret ke Pileg toh Kang?,” tanya Cak Sholeh.

“Iya Cak, soalnya tadi aku sama si mbok mbahas masalah itu,”

“O…. gitu toh. Tidak hanya itu, seharusnya mereka juga menyadari harus ada yang menang dan kalah dalam ‘pertarungan’. Terus yang terpenting siapa suruh mereka mengeluarkan uang puluhan hingga ratusan juta,” sambung Cak Sholeh.

“Ada yang lebih puuueeennting lagi!,” seru Markuat tiba-tiba.

“Apa’an tuch!,” tanya Kang Brodin dan Cak Sholeh hamper bersamaan.

“Mereka seharusnya saat pendaftaran dilakukan tes IQ dan Psikotest. Sehingga dapat diketahui kondisi kejiwaan masing-masing caleg. Nah jika tidak memenuhi maka tidak diterima pendaftarannya,” seru Mbok Darmi sambil mengaduk kopi pesanan pelanggan warungnya.

“Betul itu Mbok. Itu yang tadi mau tak sampaikan,” seru Markuat yang idenya itu ternyata diungkapkan Mbok Darmi.

“Wah…. Si mbok sekarang makin cerdas, makin pinter!!!,” puji Cak Sholeh sambil tepuk tangan diiringi dua sahabat karibnya.

“Kalo gitu kenapa si mbok tidak nyaleg aja? Khan banyak dari kalangan bawah yang daftar. Ada seorang loper koran, tukang becak, hingga service barang elektronika,” usul Kang Brodin.

“E… lha dalah kok aneh-anehi. Itu namanya ngowah-owahi adat. Jadi apa Negara nanti kalo kursi diduduki orang-orang seperti si mbok,”

“Waduh mbok, jangan merendah gitu dong. Semua orang bisa jadi anggota dewan kok,” dukung Markuat.

Setidaknya, tambah Kang Brodin, dapat lebih memperhatikan rakyat kecil. Pasalnya sudah merasakan pahit getirnya menjadi orang kecil. “Wis toh ojo nambah ngelu sira iki. Saya sudah cukup dari jualan ini aja,” tolak Mbok Darmi.

“Yo wis yen ngunu Mbok. Diajak maju kok ra gelem. Aku juga tidak memaksa,” kata Cak Sholeh.

“Ini kopinya. Tapi ngomong-ngomong, jadi anggota dewan itu enak toh?,” tanya Mbok Darmi seraya menyodorkan kopi pesanan.

“Ha…..ha…..ha…….!!!!,” ketiga pelanggan setia warung Mbok Darmi pun tertawa meledak. ***