BROSUR PMC Cell - Klik Gambar di Bawah Ini

BROSUR PMC Cell - Klik Gambar di Bawah Ini
PMC Cell - Master Pulsa Electric

Menggapai Kemuliaan Muslimah dengan Bimbingan Salaful Ummah

Rabu, 04 Maret 2009

ORGANISASI KITA SEHARUSNYA BELAJAR DARI PERGERAKAN MASA HINDIA-BELANDA

ORGANISASI KITA SEHARUSNYA BELAJAR DARI PERGERAKAN MASA HINDIA-BELANDA
WAJIB DI BACA BRUWWW…?

Oleh : KEMPLO
ESAI Januari 2009
E-mail : agus.stkipjombang@yahoo.com


Kenalin Namaku Rek :
Agus, anak-anak biasanya manggil Plo/Kemplo
Harapan seorang intelektual bukanlah dia(Semaoen, H. Misbah, Sukarno) akan punya pengaruh terhadap dunia. Tapi suatu waktu, suatu tempat. Seseorang akan membaca apa yang pernah ia tulis.
Tenang bung, kamu harus tahu siapa dia. Bukan apa-apa, ini nama yang tak kalah beken. Yo’i! Semua pasti tahu siapa Soekarno. Orang yang sering kamu lihat fotonya kalau pas peringatan kemerdekaan. Posternya banyak dijual di pinggir trotoar. Ia konon pintar pidato. Kalau pas lagi ceramah yang dengerin. Wooww jumlahnya minta ampun. Ratusan, ribuan bahkan jutaan. Jangan sampe kamu nggak tahu bukunya yang paling terkenal. Di Bawah Bendera Revolusi. Mantap khan, brur. Ini buku isinya pidato-pidatonya. Banyak cerita tentang Soekarno. Dari yang suka lukisan, foto, busana hingga cewek. Sory brur, Soekarno ini suka taklukin cewek. Cara speak-nya, sikap sampe gesture tubuhnya sangat memukau. Coba saja lihat foto-fotonya. Tapi lo harus tahu kalau Soekarno dulu dipengaruhi juga oleh Semaoen. Untuk yang satu ini, kuyakin kau belum begitu mengenalnya. Eh…konon inilah ketua PKI pertama. Serem khan. Kamu tahu ndak PKI? Pokoknya itu gerakan politik yang sampai sekarang dimusuhi. Entah apa saja kesalahanya. Mungkin mengajarkan aliran sesat! Atau mungkin karena pengurusnya lebih keren ketimbang Golkar (hahahaha, kalau ini sikh namanya pencemaran nama buruk).
Ngerasa kenal nggak kamu dengan Mohammad Natsir. Dari namanya aja sudah jelas ia orang baik. Soalnya melalui beliau kita kembali dipercaya oleh Jepang dan Timur Tengah. Tau khan waktu itu pak Harto (ini presiden waktu kamu masih kecil) belum dikenal. Suharto ini mengganti pak Karno. Butuh waktu negara luar mengenalnya. Apalagi percaya kepadanya. Terus pak Natsir yang lebih berwibawa ketimbang pak Harto, mulai kontak-kontakan sama kepala negara lain. Ia berusaha memanfaatkan ketokohanya untuk mencairkan bantuan uang dan dukungan. Harusnya pak Harto terimakasih. Tapi tau sendiri tak setiap orang bersikap seperti yang kita minta. Pak Natsir tambah dilarang. Dilarang menghidupkan partainya yang bernama Masjumi. Terus tak hanya itu. Waktu pak Natsir deket dengan Petisi 50 (ini nama organisasi yang suka mengkritik Orde Baru) maka saat itu pula hidupnya dikucilkan. Pokoknya ia nasibnya sama dekh dengan Soekarno dan Semaoen. Diasingkan dan nggak diberi kesempatan berorganisasi. Dalem ati mungkin kau bisa caci maki Orde Baru.
Kini kita mau blak-blakan cerita tentang mereka. Jawara pergerakan yang hidup semasanya juga kita mau beberkan. Komplit dekh pokoknya. Jadi emang kita mau kamu sekalian kenal. Malah siapa tahu kamu mau kayak mereka. Bukan apa-apa. Negeri ini udah banyak para musisi, sutradara, pemain film, pelawak dan penonton muda. Kita mau juga ada politisi muda yang lebih berani, sederhana dan kreatif. Coba saja kamu lihat bagaimana politisi kita sekarang. Mereka yang duduk, ngantor dan tidur di senayan. Atau mereka yang kerjanya hanya upacara di istana. Pol menyedihkan sekali. Udah gitu ada hakim agung yang perpanjang usia pensiunya sendiri. Komplit dekh jeleknya. Makanya jika kita risih melihat mereka mari kita membuka dikit wawasan mengetahui siapa orang-orang muda hebat jaman dulu. Soalnya biar kamu tak sekedar bisa mengkritik atau tak peduli: melainkan juga bisa mengubah. Juga bisa tau kalo dulu PKI, Islam dan Nasionalis itu orang-orangnya akrab bergaul. Overall, ayo kita jalan-jalan mengenal siapa mereka:
Pertama: Kenalin namaku Semaoen
Mereka jang mengira dapat menghantjoerkan kapitalisme sekedar. Dengan argumen dan pikiran tadjam berarti tidak sepenoehnya. Mengerti esensi komunisme…..
Tau maksud kata-katanya? Ini kalimat yang pantes untuk kita baca. Maksimal kamu tahu kalau anak muda yang menulisnya bernama Tjipto Mangunkusumo. Dari selusin nama pahlawan pasti kamu ndak kenal sama pemuda ini. Ia sekolah di Kedokteran. Mahasiswa nekad dan baik hati. Waktu ada wabah penyakit di sebuah desa ia dengan nekad menerjang masuk. Inget itu tahun dimana petugas kesehatan belum nongol. Malah dengan semangat ia membawa seorang anak yang kena wabah. Kelak anak itu jadi anak asuhnya. Belakangan peristiwa ini dikenang sebagai cara Tjipto nunjukin sikap. Walau ia anak orang kaya dan keturunan ningrat tapi urusanya ngeri-ngeri. Bukan jatuh cinta atau cari cara naklukin cewek. Ia ikut pergerakan. Ingat pergerakan bukan kelompok musik. Ia blak-blakan menolak gaya hidup hura-hura. Asal lo ngerti penampilanya ketika sekolah beda! Waktu sekolah di STOVIA (ini bukan merk Celana tapi kampus Kedokteran) semua teman-temanya berpakaian daerah. Nggak usah tanya kenapa, tapi ini aturan dari pihak sekolah! Tjipto yang menolak. Ia nekad pakaian kromo dan merokok kretek!
Ia gabung dengan Boedi Oetomo (BO) -ini organisasi agak mirip semangatnya dengan Osis- tapi keluar karena tak cocok dengan ketuanya, Dr Radjiman. Mustinya, kata Tjipto, BO juga aktif dalam politik. Tapi usulanya tidak diterima. Jadi karena BO tidak mengambil sikap politik yang jelas Tjipto kemudian bergabung dengan Douwes Dekker. Ini pria Belanda yang punya cita-cita mulia untuk bangsa kita. Ia bersama Tjipto dirikan organisasi-namanya Indische Party/IP- yang, kamu nggak akan nyangka-pertama kali melakukan kegiatan rally jalanan untuk menyatakan tuntutanya. Apa sikh tujuan partai ini? Apa bagi-bagi kaos kayak partai kita. Atau bikin acara jalan-jalan sehat, sepeda gembira, pentas dangdut? Kagak ada abisnya kalau kita mau sebut kegiatan membosankan dari partai kita. Sory aja Tjipto ndak mau buat Partai kayak gitu. Ia yang suka menulis, menyatakan IP sebagai:
IP dimaksudkan menjadi sebuah partai bagi semua yang prihatin terhadap pembangunan negeri yang sehat. IP paham benar bahwa pembangunan seperti itu tidak bisa diharapkan sepanjang hubungan kolonial saat ini tetap dipelihara. Antitesisnya, tidak bisa lain adalah, yang mendominasi di satu pihak dan yang didominasi pihak lain. IP yang sudah berseru pada semua yang merasa dirinya didominasi di tanah Hindia yang kaya, dan meminta mereka untuk merapatkan barisan dan mengorganisir diri……
Jadi partai ini percaya masalahnya adalah hubungan kolonial. Apa maksudnya? Itu tadi hubungan antara yang didominasi dan mendominasi. Paham? Ngomongin kamu kayaknya harus agak detail. Yang Tjipto risaukan selama ini bukan sekedar penjajahan. Tapi kebuasan kolonial yang seenaknya memperlakukan rakyat. Eits! Ini seperti pemerintah kita. Coba simak perlakuan pada rakyat. Mau banjir lumpur, gunung meletus, kecelakaan pesawat….pemerintah tak bakalan minta maaf. Yang seneng sama penguasa silahkan protes! Tapi emang keterlaluan kata- Tjipto penguasa kolonial yang sering nyalah gunakan kekuasaan. Pesta pora ulang tahun Hindia Belanda meriah abis. Padahal rakyat lapar dan kena wabah. Nggak cuma itu, rakyat tak bisa melawan. Hanya diem aja. Mungkin doa kali ya! Karena mungkin berfikir nggak bakalan menang kalau melawan. Tjipto merasa rakyat kudu melawan. Dengan apa? Teruuuus lewat cara apa?
Ini lho hebatnya Tjipto: ia buat resep yang masih cocok untuk zaman MTV ini. Ia dapati rakyat yang diem dengan usaha-kata Tjipto nikh-membangkitkan semangat perlawanan. Pake apa dong? Kata Tjipto lagi, melalui ‘pengorganisasian rasa tidak puas’. Ibarat kamu ndak suka sama temen dan mau ngajak yang lain agar ndak suka, maka yang lo lakukan: tebarkan kebencian sama semua orang tentang temanmu. Cara apa aja dekh: buat tulisan, poster, spanduk, mural…apapun asal kamu punya duit buat biayai dan kamu berani. Mau liat bagaimana reaksi pemerintah mendengar anjuran nekad Tjipto ini. Marah, sebel, kacau dan menganggap Tjipto sudah tersesat jauh. Dengan lagak sok, Belanda memutuskan untuk menghukum Tjipto. Tapi bukan Tjipto kalau tak cerdik menghindar. Kata banyak penulis, ia ksatria yang selalu bisa mengontrol semua tindakanya. Ia malahan direkrut menjadi anggota Volkraad (ini bukan kelompok musik Metal tapi parlemen) yang diharapkan jadi jalan menuju merdeka. Di sanalah kemudian Tjipto melakukan serangan pada tiga lapis kekuasaan: yakni kaum feodal, sunan dan perkebunan.
Tahu ndak feodal? Ini golongan yang suka bikin dirinya paling berharga ketimbang yang lain. Katanya darah mereka biru. Yup! Ini jenis kelompok manusia yang gila hormat. Bicara sama mereka harus pakai bahasa halus. Buru-buru mau diskusi, kesukaan mereka hanya didengarkan. Ya gitu deh tinggal mereka di istana yang dapat dukungan aparat kolonial. Sohib mereka golongan sunan. Kelompok kraton juga dan golongan agama yang tak bisa protes pada kesewenang-wenangan. Impian mereka hidup nikmat, masuk surga. Jadi bukan baru saat ini kita lihat ulama yang kerjaanya hanya doa dan tak pernah protes. Tak mau nabrak aturan agama dan aturan kolonial. Yang pertama bener, tapi yang terakhir ini buat kacau. Tjipto melawan kedua golongan ini, selain orang kaya yang punya perkebunan. Ia melihat kejamnya ketiga golongan ini dalam menindes rakyat. Tanpa harus pikir sejarah yang rumit kamu bisa bayangin susahnya orang jaman dulu. Zaman dulu ambil sikap menentang lagi. Ndak ada TV, HP, internet, komputer, pesawat dan yang paling mengerikan pekerjaan yang baik. Lalu ada segolongan orang yang hidup enak. Adukh! Pastilah marah Tjipto menyaksikan itu. Sinyal semangat melawan itu tercermin dari tulisan Tjipto:
….saya sebut bangsawan dan pemerintah dalam satu nafas sebab mereka harus dianggap secara bersama sebagai akar sebab kesewenang-wenangan disini…..
…jika diamati secara lebih cermat, pertunjukan megah yang dipertontonkan oleh Sunan itu akan menimbulkan rasa jijik. Rasa mual ini tak bisa lain disebabkan oleh karena biaya pameran itu harus dibayar dari kantong orang kromo….
..saya merasa bahwa segala kemewahan di Surakarta itu tak bisa diterima lagi, sebab biayanya pasti harus dibayar dari kantong orang kromo di desa—pada akhirnya orang kromo itulah yang harus ‘menghidupi’ raja dengan seluruh rombongan pangeran, dan setengah pangerannya, bupati dan setengah bupatinya…
Hei! Jangan kaget kalau tulisan Tjipto sekeras itu. Ia kalau nggak suka langsung mengambil sikap. Tak mau basa-basi. Kehebatan tulisan itulah yang membuat Tjipto berbahaya bung! Apalagi Tjipto mahir buat naskah ketoprak. Pentas drama Jawa yang diolah ceritanya untuk menyerang kaum bangsawan. Ia jenis aktivis yang memanfaatkan saluran apapun untuk melawan. Bahkan karena hebatnya tulisan, mahirnya mengolah drama; Tjipto dan Misbach mampu membangkitkan militansi buruh dan petani. Lagi-lagi kamu pasti ndak kenal siapa Misbach! Ada majalah Islam yang bilang ia mubaligh yang salah jalan. Tak usah kusebut majalah yang opahnya tak seberapa ini. Ada juga yang menyebutnya misbach itu bencong asal Ngoro..ha..ha.. Info yang keliru tapi dipercaya orang saleh lebih jahat dampaknya. Asal kamu tahu aja banyak majalah yang tarafnya baru bisa buat musuh ketimbang memberi info pada publik. Ini wartawanya masih tulalit gitu!
Misbach ini haji. Jelas agamanya Islam dong! Buru-buru beribadah saja, Misbach memilih untuk protes. Sampai-sampai ceramah agamanya saja buat kita bikin terkejut-kejut. Ini bukan kayak ustadz gaul yang ha..ha..hi..hi di layar kaca. Atau ustdaz yang sok kasih nasehat di bawah air mancur atau dekat kolam ikan. Nggak! Misbach ndak kayak gitu brur. Dia pasti bakal marah andai masih hidup di masa sekarang. Ia buat pengajian yang kalau diikuti bisa panas hati kita. Aduh! Kamu pasti tak percaya, H Misbach bilang begini sama jamaahnya:
…kita bisa mengikuti jalan Nabi Muhammad hanya dengan melewati kesusahan dan bahaya….Barangkali zaman sekarang Nabi kita itoe bisa dikatakan sebagai penghasut, sebagai halnya pemimpin-pemimpin pergerakan rakyat di Hindia dan selalu diancam akan dihukum dan dibuang….malahan dibanding dengan Nabi, kita masih kalah jauh penderitaanya. Nabi ditimpukin batu, tak mendapat makan malah dikucilkan…kita masih dapat makan dan bisa hidup….
Ya tentu ini ceramah yang jarang kamu denger. Ia bukan ustadz yang bawel karena kamu nggak berjilbab, ndak puasa sunnah, ndak segera nikah atau kurang syukur. Kalo dibandingin dengan ustadz begituan Haji Misbach jelas beda, brur. Biar gampang, Haji Misbach ini omongan sama perbuatanya cocok. Kalau dibilang lawan kolonial, Misbach yang berada di barisan depan akan melawan paling duluan. Gilanya nikh, Misbach manfaatkan semua alat perjuangan modern. Misbach mendirikan koran Medan Moeslimin pada tahun 1915 dan Islam Bergerak pada tahun 1917. Juga Haji Misbach buat Hotel Islam, toko buku, sekolah agama modern dan mengadakan pertemuan tablig. Jelas artikel dalam majalah Islam yang kusebut diatas keliru khan? Bayangin aja Haji yang kayak gini kok dibilang ‘salah jalan’. Jangan-jangan majalah Islam itu sendiri yang ‘salah baca’. Pas aku baca majalah itu, nyaris aku istighfar ratusan kali. Ini kok dikasih petunjuk sesat ditulis dalam majalah.
Wait wait, sebelum ngomongin soal keberanianya, kamu harus tahu hidup dimana Haji Misbach ini. Jangan kaget ya, kalau Haji Misbach ini seangkatan dengan Haji Akhmad Dahlan. Waduh, jangan-jangan kamu ndak tahu siapa Haji Akhmad Dahlan. Eiit..ini bukan Akhmad Dhani yang ribut aja ama istrinya. Ngomongin yang terakhir ini ndak perlu. Haji Akhmad Dahlan itu yang diriin Muhammadyah. O iya, kamu tahu khan Muhammadyah. Yang sukanya bikin sekolah. Banyak yang mahal tapi juga ada yang murah! Juga bikin Rumah Sakit namanya PKU. It’s show time! Haji Akhmad Dahlan dengan Haji Misbach itu temenan baik, lho. Mereka sama-sama pembaharu dan berdua saling berduet buat perubahan. Walau kelak, kalo nyampe critanya, Haji Akhmad Dahlan pisah sekoci dengan Haji Misbach. Inget ini fakta sejarah. So…kalau ada anak Muhammadyah kok menghina Haji Misbach, itu sama bloonya dengan majalah tadi. Suerrrr! Kamu bisa gila jika kurang baca buku apalagi ndak gaul dengan banyak orang. Maka jangan coba unjuk fitnah kalau tak ada data.ok…
Yuk, kita ngliat seperti apa peran Haji Misbach ini. Di banyak tempat penulisan sejarah, sering dinilai tulisan Haji Misbach seperti dirinya kalau bicara. Asyik sekali semangat tulisanya. Nikh ya, aku kasih contoh: siapa tahu kamu pingin jadi ustadz kayak dirinya. Istimewanya tulisan ini berusaha melihat kembali ‘kemunduran dan kekalahan’ ummat Islam. Tulisan yang dirilis dengan judul “Sroean Kita’ dalam Medan Moeslimin. Sebelumnya sory sekali, ejaanya udah aku ubah jadi bahasa Indonesia yang bisa kamu baca, paling-paling kalau bahasa arab u bingung brur..ha.ha.. Dan maaf aku cuplik beberapa teksnya. Soalnya, yang aku sebel, bahasa jaman dulu pasti sulit kamu mengerti….padahal itu bahasa yang paling bersemangat diksinya….tahu nggak arti diksi. Sory dekh kalau aku sering nonjok kebodohan kalian!
Penasaran? Baca nikh tulisan Haji Misbach:
…nyata sudah, bahwa agama kita Islam di Hindia ini, tidak dapat bantuan dari siapa pun. Orang muslim yang kaya-kaya mereka banyak yang tak suka mengikuti perintah agamanya, mereka itu tidak suka mengeluarkan harta bendanya untuk menguatkan Keislaman kita, begitu juga orang yang pandai-pandai tentang pengetahuan Islam, mereka tak suka memberikan kepandaianya untuk bangsanya yang masih dalam kegelapan…kepandaianya seolah-olah buat dirinya-sendiri. Malahan ada juga yang kepandaianya digunakan buat menipu…itulah sebabnya bangsa kita yang muslim itu terjerumus dengan tipu daya orang yang sengaja mengisep darah kita…itulah sebabnya kita kaum muslim harus melawan dengan sekeras-kerasnya (kekuasaan kolonial)…contohlah bergeraknya junjungan kita Kanjeng Nabi Muhammad (s.a.w) yang menjalankan perintah Tuhan dengan tidak mempedulikan payah susah yang terdapat olehnya, tiada takut sakit mati untuk melawan perbuatan sewenang-wenang…..Siapa yang merampas agama Islam, itu yang wajib kita BINASAKEN!
Eh brur.., buat kamu yang tidak suka baca politik saatnya mengubah jalan pikiran. Bukan apa-apa! Kamu bukan hanya tampak tulalit, tapi jadi ikut-ikutan seperti penguasa kita. Pengen tau? Itu penguasa yang memaknai politik sebagai duduk enak di kursi EMPUK, makan uang korupsi, remehkan rakyat miskin, poko’e ruwt lah... Udah denger cerita kalau ada Perda (nama lain dari Dasar Peraturan Jahat) yang mengatakan kalau pengemis tak boleh dikasih uang. Nggak tanggung-tanggung, pemulung, pengamen, pengemis disebut sebagai penyakit masyarakat. Ini kemudian turun jadi perintah pada Trantib untuk makin pukul, gusur, tangkep golongan-golongan mereka. Tahu khan Trantib? Ini bukan yang main film Transformers (dua-duanya pakai Tran, tapi beda arti: yang satu robot jahat satunya aparat jahat) Ini pertama kali dalam sejarah dunia, penguasa menyebut rakyatnya sendiri sebagai ‘sumber penyakit’. Yang paling parah, politik diartikan sebagai hiburan untuk rakyat. Jadi pejabat itulah anti politik. Mereka artikan politik jauh dari makna sesungguhnya.
Balik lagi ke Haji Misbach ya !. Tulisan diatas tadi melambangkan semangat beragama baru. Agama yang tahunya hanya sholat, doa, dzikir : mustinya diubah REK! Kita tahu banget, kalau sekarang untuk tiga kegiatan itupun ada bayaranya sendiri. Ada traning sholat khusyu’, ada dzikir massal dan ada doa untuk akhiri acara. Bagaimana agama bisa berselera bagi yang muda dan pemberani?(heei ketahuan niru iklan rokok!) Kalau isinya hanya kegiatan ritual kayak begitu. Haji Misbach mulai merambah ruang baru agama dengan menghayati api semangat perlawanan. Dirinya mengakui kalau: ….mengatakan setia, namun belum bertingkah laku sesuai dengan ajaran Islam dinamakan sebagai pengkhianat, namun juga salah jika berperang melawan aktivitas misionaris kristen tanpa melawan kapitalis dan pemerintah…he. he……he….Lihat deh, pasti kamu capek dengan kata lawan, lawan, lawan lagi! Kayaknya orang yang kupilih untuk ditulis ini adalah mereka yang memang punya semangat melawan kolonial. Yap, jadi semua karyanya padat dengan kata: lawan-lawan-lawan-lawan (bisa kamu terusin disini…ok…….)
Rek…..Haji Misbach kemudian diam-diam diikuti oleh fans-nya. Ekh sory brur, bukan fans tapi teman-teman solehnya yang lain. Siapa aja mereka? Pak Koesen, redaktur Islam Bergerak; Harsoloemekso pengusaha batik kaya dan administratur Medan Moeslimin dan Darsosasmito pegawai Kasunanan. Mereka dirikan kelompok bung! Udah tahu nama kelompoknya? Ia bentuk Sidik, Amanat, Tableg, Vatonah (SATV)…eh who knows lho, ini nama sifat-sifat Nabi Muhammad. Trus…kelompok ini berbeda dengan organisasi agama lainnya. Atau partai agama sekarang, macam PKS, PBB, PKB yang katanya Islam itu. Ini organisasi berdiri, untuk pertama melawan aksi ‘manipulasi’ dan ‘penipuan’ yang dilakukan oleh pemerintah, kapitalis dan misionaris Kristen dan kedua, ingin agar Islam tidak berhenti di kata-kata. Istilah mereka ‘Islam Lamisan’ islamnya hanya kata-kata saja, tidak bergerak apalagi melawan. Dasar SATV adalah selalu ‘menggerakkan Islam’ dengan melawan segala bentuk ‘penindasan dan pengisapan’ Woow…, Haji Misbach kemudian mulai menanjak popularitasnya dan dipercaya untuk memimpin pergerakan. Sudah tahu khan, rakyat yang sengsara mulai mendapat saluran suara melalui khutbah Haji Misbach. Jadi kamu dipastikan tidak bete apalagi ngantuk kalau denger ceramah pak Haji Misbach.
Buat kamu yang rajin sholat dan gosok gigi, Haji Misbach ini bukan mubaligh biasa. Seumuran dengan Ustadz Jefri, Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz Aa Gym….tapi Haji Misbach pingin ummat terlepas dari belenggu ekonomi dan penjajahan. Lho, hebat khan…?! Ia hendak mengubah semangat pasrah, sabar menjadi protes dan perlawanan. Dalam edisi Islam bergerak Haji Misbach menulis:…Nah! Sekarang nyatalah bahwa perintah Tuhan kita orang diwajibkan menolong kepada barang siapa yang dapat penindasan, hingga mana kita wajib berperang selama penindasan itu belum juga berhenti!….Wajib kita mustinya mendapat ustadz yang gaul dan berani macam begini. Wuih, mana mungkin? Ustadz yang di partai bisanya cuman upacara, kasih nasehat sama pelihara jenggot..ha..ha! Yang di pesantren sekarang kena tuduhan teroris. Gilenya teroris sekarang tambah ada yang taubat dan jadi sahabat Polisi. Ustadz yang lain cuman ngasih training. Capeeek deh! Ustadz yang tampil di TV ternyata nikah lagi. Satunya tambah jadi bintang iklan. Kalau kamu mau, ya…mulai dari belajar bersikap seperti Haji Misbach. Nyobain aja bersikap seperti beliau ya….dari yang paling kecil! Melawan kemewahan dan menolak dateng ke Mall. Dari ngliat mukamu, udah jelas, kamu nggak sanggup melakukan! yo ngal titik brur…
Haji Misbach kemudian bergerak dan terus-menerus melakukan propaganda. Mimpin pemogokan, memprotes kebijakan pemerintah hingga melakukan Demo besar. Bakal kita tahu kemudian nasib orang semacam Haji Misbach ini. Berakhir dalam penjara dan diakhiri dengan pembuangan. Eit, ceritanya tidak lalu kemudian kalah dan tamat. Ini bukan film Pulau Hantu, Cinta apalagi Suster Ngesot….hi.. jangan takut! Film yang bikin kesel matamu dan akal sehatmu. Apa yang dikerjakan oleh Haji Misbach dibantu oleh kawan-kawan terbaiknya. Terutama setelah Haji Misbach bergabung dengan Sarekat Islam. Ups, inilah perkumpulan yang paling berani. Udah kebayang ndak, Sarekat Islam itu asal muasal semua anak muda pemberani. Awalnya Tirto Adisoerjo, Samanhoedi, Tjokroaminoto, Semaoen, Mas Marco, Tan Malaka. Makin buta ya kamu sama mereka? Yang kusebut diatas ini adalah sebagian kecil orang yang mengilhami tokoh seperti Soekarno, Hatta maupun Sjahrir. Eh, kalau yang terakhir ini belum juga kamu kenal, baikan kamu hentikan aja baca buku ini. Sia-sia. Bukan hanya penting mengenal Sarekat Islam, tapi juga gagasan yang ada dalam gerakan ini.
Banyak orang bilang Sarekat Islam ini gerakan politik rakyat pertama. Sia-siap dekh kamu bakalan mengubah pendapatmu soal orang muda. Karena munculnya gerakan ini diawali dari gelisahnya seorang bernama Tirtoadhisoerjo. Mood anak muda ini adalah bagaimana cara membuat gerakan yang beda dengan gerakan sebelumnya. Sebelumnya didirikan olehnya Sarekat Prijaji. Ini perkumpulan kaum priyayi. Tahu maksudnya? Kaum yang kerjanya santai, mapan dan tak mau bereaksi terlampau keras. Tirto kecewa sekali dengan jenis spesies kayak begini. Hmm…..kamu pasti bakalan ingat pegawai negeri kita ya. Golongan yang gajinya naik terus tapi kerjaanya baca koran. Wadukh bagi yang ortu-nya pe-en-es, sory ya aku bukan menyinggung tapi beberin fakta. Sia-siap aja Tirto kecewa dengan gerakan yang kurang oke ini. Ia juga kecewa sama Budi Utomo. Waow! Kalau sama organisasi yang terakhir ini banyak kalangan sebel. Tirto menulis soal Budi Utomo:
Orang-orang kuatir yang gerakan Budi Utomo bakal mengangkat lapisan yang diatas-atas saja, dan tidak seberapa pertolonganya bagi anak bumi kebanyakan, kita rasa hal itu tidak usah memusingkan pikiran kita lagi. Apa harapan orang-orang bangsa Eropa? Diharapkan Budi Utomo nanti kuat menjalankan maksudnya akan melepaskan rakyat bermilyun dari perbedaanya? Aduh! Dalam programnya perkumpulan muda ini memang memuat maksud yang begitu, akan tetapi antara maksud dan kesampainya maksud itu masih ada ruang lebar, tetapi yang demikian itu tidak dapat diharapkan, sebab anggota Budi Utomo juga ingin berumah yang patut dan penghidupan senang, hingga masing-masing hendak mencari pekerjaan yang baik, biar di kandang gubermen, biar di halaman partikulir
Kalo ngliat tulisanya kayak gitu pastilah Tirto golongan yang menolak kemapanan. Wajar kalau ia benci jadi pegawai negeri. Kamu kalau berpandangan seperti dirinya, cocoklah mimpin gerakan. Bakalan seru kalau anak muda ndak doyan jadi pegawai, bosan hidup senang, trus ingin berontak pada sistem. Kualitas sikap kayak begini yang membuatnya terdorong untuk mendirikan Sarekat Dagang Islam. Cikal bakal gerakan Sarekat Islam. Ia menyebut organisasi ini diikuti oleh ‘Kaum Mardika’ berasal dari terjemahan Belanda ‘Vrije Burgers’, yaitu mereka yang mendapatkan penghidupanya bukan dari pengabdian pada Gubermen. Siapa saja golongan ini? Mereka adalah golongan pedagang, petani, pekerja, tukang, peladang. So, tak ada yang pegawai, serdadu apalagi polisi! Seru khan kalau gerakan isinya tak ada orang pemerintahan sama sekali. Jadilah Sarekat Islam gerakan politik yang mencemaskan penguasa kolonial. Yap! Lo pasti mau nyamain Sarekat Islam dengan Geng Motor yang kini jadi buruan Polisi Jombang. Beda Man. Yang pertama ini memang bekerja untuk rakyat kecil, sedang yang kedua bisanya cuman buat rusuh dan benjutin kepala orang yang lewat. Seru banget dekh ketika Sarekat Islam melakukan Kongres Kedua di Surakarta. Tahu tempatnya? Di taman istana Susuhunan dengan peserta yang ditaksir tujuh ribu sampai dua puluh ribu. Inget itu Kongres dilakukan pada tahun 1913. Tanpa hiburan Rocker apalagi apalagi Underground.
Besarnya jumlah massa pendukung inilah yang membuat penguasa kolonial jadi bego dan bingung. Lo bayangin dekh kalau petani, buruh, pekerja rela bergabung dengan gerakan ini. Bahkan mau jadi bagian propaganda Sarekat Islam. Mereka panik, brur! Maksudnya kaum penjajah ini. Seorang penulis sejarah menilai tumbuhnya gerakan Sarekat Islam dengan kebakaran padang rumput yang dengan cepat menyambar padang ilalang di sekitarnya. Taruhan lo pasti terkejut, kalau ada gerakan yang tiba-tiba menyerang pandanganmu selama ini. Gitu juga dengan penguasa kolonial yang perkebunan miliknya kemudian mulai dilucuti dan diprotes oleh anggota Sarekat Islam. Sampai-sampai ada sebuah iklan surat kabar kala itu yang memuat iklan berbunyi:
Dicari-berhubung dengan meningkatnya kerusuhan yang ditimbulkan oleh penduduk pribumi di Jawa-seorang Perwira Hindia Belanda yang sanggup memberi saran kepada Direksi beberapa perkebunan besar tentang cara-cara mempertahankan daerah-daerah miliknya
Ini bung namanya gerakan. Pembuktianya tampak dari bagaimana rasa takut para pejabat kolonial atas ulahnya. Objektif aja belum ada hingga saat ini gerakan, dari gerakan Pramuka hingga Mahasiswa, yang bikin penguasa memasang iklan untuk mencari bantuan menaklukkanya. Gue rasa baru dan hanya Sarekat Islam ini! Sarekat Islam ini untuk melancarkan propagandanya memiliki majalah Al-Islam dan koran harian Oetoesan Hindia atau Kaoem Moeda. Pahami ya kalau semua gerakan dulu punya majalah, koran, brosur. Tak seperti gerakan politik sekarang ini, punyanya hanya kantor, anggota yang sering melompat dan uang hasil rampokan. Nakh koran inilah yang digunakan untuk menyerang kebiadaban yang terjadi dalam perkebunan gula. Setau lo gula itu khan manis, tapi proses pembuatanya melalui penindasan pada buruh perkebunan. Itu terjadi dari dulu hingga sekarang. Buktiin aja dengan datang ke semua pabrik pasti jarang lo lihat buruhnya senyum, senang dan bahagia(tengonk aj di Mrican). Percayalah dari dulu pabrik gula, sepatu, kaos, jam selalu menindes buruhnya. Boleh juga lo lihat bagaimana judul-judul berita koran Sarekat Islam yang menakjubkan. Nyawa Manusia lebih murah daripada Tebu, Pabrik-Pabrik Gula adalah Racun bagi Orang Jawa. Dalam bulan Desember 1915, Tjokroaminoto-ini orang hebat brur-menulis tentang keadaan industri gula:
Tanah kelahiran kita dan keringat kita menghasilkan keuntungan-keuntungan besar bagi pabrik gula; sebaliknya, pabrik itu seharusnya memberikan sebagian dari keuntunganya kepada kita untuk dimanfaatkan
Gue kasih tahu ya hebat dan kejamnya industri gula kita. Dulu Jawa, tempat tinggal kalian ini, adalah pengekspor gula terbesar kedua dunia setelah Kuba. Gula yang rasanya manis itu jadi ekspor terpenting sampai pertengahan tahun 1920-an. Pabrik gula tidak diizinkan memiliki tanah untuk ditanami tebu melainkan harus menyewa tanah rakyat. Terjadilah perusakan berat industri gula terhadap kesuburan tanah milik petani, karena sepanjang tahun ditanami tebu dan irigasi menyerap air, hingga petani sawah tak kebagian. Ah, janganlah duga keuntunganya kecil. Keuntungan selain dari hasil penjualan juga pemaksaan terhadap rakyat agar mau nyewakan tanah dan tenaga sekalian. Udah paham khan bagaimana kekejamanya. Pokoknya itu zaman kolonial kekejamanya melebihi ibu tiri. Udah tanah dipaksa disewa dengan harga murah tapi juga tenaganya diperas. Lo pasti kalau cerdas mau bilang: bukan dulu aja rakyat menderita. Dari zaman dulu sampe zaman sekarang. Jika dulu rakyat dipaksa tanam tebu sekarang rakyat rumahnya diinjek-injek ama Lumpur, barusan kemarin PKL di depan Undar diobrak-abrik. Capeeek deeekh! Rakyat kecil menderita melulu. Hingga kemudian Sarekat Islam, yang banyak bantu protes atas kekejaman ini, mendapat julukan ‘bapaknya kaum kuli’. Hi Bung! Waktunya gue kenalin ama orang muda-anggota Sarekat Islam- yang giat memprotes kekejam ini. Namanya Mas Marco. Muridnya Tirtoadhisoerjo.
Asal lo tahu aja Mas Marco ini anak priyayi rendahan. Dari muka lo tampaknya perlu dijelasin apa itu priyayi rendahan. Jelaslah dia bukan anak orang kaya, apalagi kaya sekaliiii. Biar begitu gacoan muda dari Sarekat Islam Surakarta ini buat majalah sendiri. Namanya, Doenia Bergerak. Subhanallah, ini nama pasti baru kamu kenal. Iye..iye gue maklum kamu kenalnya sama majalah HAI, Anita, Bintang, Playboy, Pkn, Prima Gama (ekh yang terakhir ini ndak keluarin majalah tapi soal ujian) Tanpa setau lo majalah Doenia Bergerak ini dalam terbitan pertama bukan ngasih info siapa gebetan terbaru gurbenur Jendral Hindia Belanda. Tak ada rubrik cara ngegebet seorang cewek! Ini majalah langsung edisi pertama menyerang D.A Rinkes. Ini bukan bintang sinetron tahu! D. A Rinkes adalah penasehat urusan bumiputra. Nggak usah kamu tahu apa pekerjaanya, yang jelas orang ini, dikatakan oleh Mas Marco sebagai ‘doekoen’, kayak Ponari. Hehehehe.. kamu yang suka nonton film hantu pasti tahu siapa doekoen itu. Apalagi kamu yang udah pernah jadi bintangnya! Langsung saja merah padam muka D. A Rinkes. Soalnya ia bukan doekoen, tapi Dr. Tulisan Mas Marco tidak hanya jail tapi juga mulai memperlihatkan kehidupan orang-orang miskin di zaman kolonial. Baru pertama tulisan pada zaman itu yang bunyinya begini:
Waktu itu jam tujuh, Sabtu malam: anak-anak muda Semarang tak pernah diam di rumah pada sabtu malam. Tetapi malam ini tak seorang pun terlihat. Sebab hujan lebat seharian telah membuat jalanan menjadi becek dan sangat licin, semua orang diam di rumah.
Untuk para pekerja di toko-toko dan kantor-kantor Sabtu pagi adalah saat yang dinanti-nanti—menantikan waktu senggang mereka dan kegembiraan berjalan keliling kota di sore hari-tetapi pada malam ini mereka dikecewakan, karena kelesuan diakibatkan cuaca buruk dan jalan-jalan berlumpur di kampung-kampung. Jalan raya yang biasanya dipenuhi segala macam kendaraan, gang kecil yang biasanya penuh orang, semua sepi. Sesekali lecutan cambuk kusir kereta dapat terdengar mendera seekor kuda dalam perjalanan—atau bunyi tapal kuda menarik kuda.
Semarang lengang. Cahaya dari deretan lampu gas langsung menyinari jalan aspal berkilauan. Sesekali cahaya terang dari lampu-lampu gas itu meredup ketika angin bertiup dari timur…..
Seorang lak-laki muda duduk diatas kursi rotan panjang membaca koran. Ia tenggelam dalam keasyikan. Kemarahanya sekali-sekali dan pada saat-saat lain senyumannya menjadi tanda pasti ia sangat menaruh minat pada cerita yang dibacanya. Ia balikkan halaman-halaman koran, berpikir mungkin ia dapat menemukan sesuatu yang akan menghentikan perasaanya yang sangat menderita. Sekonyong-konyong ia mendapati sebuah artikel dengan judul:
KEMAKMURAN
Seorang gelandangan jatuh sakit
Dan tewas di tepi jalan karena kedinginan
Orang muda itu sangat tersentuh oleh laporan singkat ini. Ia serasa dapat membayangkan penderitaan orang malang itu ketika terbaring menyongsong ajal di pinggir jalan….suatu saat ia merasakan kemarahan bergejolak di dada. Saat lain ia merasa iba. Saat lain lagi kemarahannya terarah kepada sistem sosial yang melahirkan kemelaratan semacam itu, sambil membuat suatu kelompok kecil menjadi kaya raya
Gue tahu pasti kamu bingung mana yang hebat dari tulisan ini. Apalagi dalam pelajaran sekolah loe tak pernah mendapat info tentang Mas Marco. Judul karanganya unik: Semarang Hitam. Jelasin tentang seorang laki-laki muda, entah siapa, yang marah melihat ketimpangan sosial. Latar ceritanya indah, nyata dan meyentuh. Semarang yang abis hujan, becek dan bikin orang enggan untuk keluar rumah. Lewat tangan mas Marco tulisan itu jadi bangunan identitas kebangsaan. Sebuah bangsa yang dihidupkan oleh penindasan sekaligus kesenjangan. Inilah wajah negeri kita sampai sekarang. Heee, itu tulisan dibuat tahun 1914 tapi ternyata keadaan tak berubah hingga sekarang. Malah lebih parah. Hujan bukan aja bikin becek tapi jadi banjir. Orang tewas di tepi jalan karena kedinginan udakh kalah serem. Pasti lo percaya kalau orang tewas di pinggir jalan sekarang jumlahnya bejibun. Ada yang mati karena ndak kuat ke rumah sakit. Ditinggalin gitu aja di pinggir jalan. Ada yang mati karena kelaparan. Mayatnya di pinggir jalan juga. Pokoknya lebih tragis cara mati mereka. Tulisan mas Marco terus mengalir dan kian memperkeras sikapnya untuk berpihak kepada mereka yang lemah dan kecil. Yang paling populer artikel Mas Marco adalah seri ‘Sama Rata Sama Rasa’. Woow ini bukan iklan Indomie, Mie Sedap atau Sarimi. Ini soal prinsip sosialisme. Eits jangan-jangan kamu dah mengerti apa ideologi ini.
Tulisan Mas Marco tidak ngonyol, apalagi sok ngasih tahu. Nggak! Tulisan dalam artikel ini ngajak semua orang untuk tahu siapa yang sesungguhnya bikin susah rakyat. Bukan cuman yang bikin susah tapi juga yang membuat pejabat kolonial suka nyiksa rakyat. Makanya pengetahuan soal mas Marco tak boleh dikasih tahu sama kalian. Takut jadi nekad kalian. Takut jadi pinter sejarah dan mau niru sikap mas Marco. Paling tidak potongan rambutnya. Yang mirip kayak Justin Timberlake! Nah, mas Marco ketika ngajak melawan, berseru:
‘…..kapitalis Eropa, dia orang sudah sama bersepakat dengan bangsa kapitalis untuk membuat pabrik yang besar-besar, dengan tujuan menggaruk uang, yaitu menghisap darah kromo, sudah amat pintar sekali’
Eh?! Mas Marco tidak hanya serang pemerintah tapi juga pabrik. Bayangin aja pabrik diserang juga. Pabrik itu kerjaanya hanya menggaruk uang. Ini kata Mas Marco bukan kata iklan. Kenapa kita pada nggak sadar ya? Soalnya produk pabrik yang kita beli seolah-olah udah langsung jadi. Kita tak pernah dikasih tahu, berapa upah buruhnya? Gimana jaminan kerjanya? Bagaimana kalau ada buruh kepotong tanganya kena mesin? Itu tak pernah diberitakan di produk. Justru di produk, bedak misalnya, hanya kasih tahu kandungan dan kehebatan dalam mempermak wajahmu. Jelas pakai istilah yang bikin kamu blo’on! Kamu yang pinter IPA sekalipun tak tahu kalau ada kandungan yang namanya mirip judul film hantu. Apalagi kamu yang tidak pinter apa-apa. Well, kalau kamu lihat iklan pastilah yang baik-baik aja disiarkan. Keuntungan pabrik, nggak semua orang boleh tahu. Pegawainya aja ndak tahu berapa untung pabrik. Mas Marco katakan kalau pabrik itu sukanya ngisap darah..hi…. Ending-nya pabrik itu adalah bagian kapitalisme. Langsung dekh, kamu pasti bingung apa itu kapitalisme. Tak usah dijelasin dulu, tapi ikutin aja perjalanan mas Marco. Dengan ngliat tulisan mas Marco seperti itu, maka ia coba bangunkan tidur panjang kaum pribumi.
Hehehe penasaran ya kenapa pribumi tak mau semua melawan. Mereka terkesima oleh kemajuan kolonialisme. Yang paling banyak diantara mereka, takut melawan. Yang paling kesel mereka bilang kalau penjajahan udakh takdir! Wadukh kalau sikap kayak gini sampai sekarang masih banyak pengikutnya. Coba aja buat pertanyaan, kenapa orang miskin tambah terus jumlahnya? Ndak kurang sedikitpun? Pasti ada diantaramu yang bilang itu udah takdir. Dari sononya emang gitu! Abis mau gimana lagi? Kita khan bukan Dinas Sosial apalagi Dinas Kebakaran! Wakh sikap kayak kayak gini yang dibenci mas Marco. Bosenin sikap yang masa bodoh dan bodoh sekaliiii! Mau tahu kenapa? Ya karena jawaban itu udah nggak zamanya lagi brur... Jawaban elo semua mirip seperti pak ustadz yang tak pernah baca buku, apalagi komik! Makanya mas Marco menggebrak dan menohok kesadaran pembaca muda. Umur mas Marco saat itu baru 16 tahun. Itu sikh usia kamu yang sudah kelewat. Kalau kamu sukanya dateng kestodio music serak-serok koyok wong edan, terutama Gembel 87. Emang waktu itu anak muda kayak mas Marco lebih suka merhatiiin soal-soal yang deket ama kesusahan rakyat, ketimbang rame-rame jadi supporter. Tak ada yang out of date tulisanya kalau dibaca sekarang. Loe coba baca yang ini:
Bukankah Tuan datang di Hindia itu dulu jadi kolonial (soldadu), pekerjaan mana yang tidak kurang lebih seperti kuli contract. Lantaran Tuan bekerja rajin, dam barangkali Tuan telah membunuh berpuluh orang, sekarang Tuan hendak pergi belagak pula, seperti Tuan lebih pintar bisa membunuh orang, pun akhirnya Tuan dapat beberapa tanda kehormatan dan pujian lantaran pekerjaan Tuan yang keji. Mengertikah Tuan hal ini?
…Tuan berkata orang Jawa Kotor, tetapi Tuan toh mengerti juga bila ada orang Belanda yang lebih kotor daripada orang Jawa
…’Orang Jawa bodoh,” kata Tuan, “sudah tentu saja, memang pemerintah sengaja membikin bodoh kepadanya. Mengapakah Regeering tidak mengadakan sekolah secukupnya untuk orang Jawa of Orang Hindia, sedang semua orang mengerti bahwa tanah Hindia itu yang membikin kaya tanah kita Nederland?
Tulisan ini dipetik dari novel yang ditulis oleh Mas Marco, judulnya Student Hijo. Novel roman tapi berusaha menguliti kesewenang-wenangan aparat kolonial. Biasa Belanda dulu sukanya menghina orang pribumi dengan judukan bodoh, kotor, bloon, tulalit. Yang pati sikh sikap menghina itu masih diterusin oleh kekuasaan yang selalu menganggap rakyat itu tak tahu apa-apa..ngerikan..lebih ngeri lagi kalau kamu baca novelnya Semaoen, judule Hikayat Kadiroen, yang perlu kamu tahu Semaoen itu bukan penjual nasi pecel di simping tiga itu lho..dia itu tokoh SI semarang, di dalam novel itu menceritakan pentingnya sebuah idiologi komunis(yang nantinya novel ini gue analisis untuk skripsi: sastra dan perjuangan kelas, analisa sosiologi sastra marxis..mboiskan) Brur, lihat saja tiap bangun jalan, buat peraturan atau bikin ketentuan ndak pernah ngajak rakyat ngomong. Lihat saja perbaikan jalan yang cuman habisin duit banyak itu! Udakh bikin macet, terus digali jalanya dan bisa dorong kecelakaan. Yang seru nikh dilakukan oleh wakil rakyat. Semua pemborosan udah pernah dilakukan. Naikin gaji seenaknya, renovasi gedung yang ndak habis-habis dan yang paling gres, terima suap dari Bank Indonesia. Gitu kok jadi wakil Rakyat! Sekedar info kesukaan boros dilakukan juga oleh para pejabat kita. Kalo bepergian ke luar negeri dibawanya semua keluarga. Anak, cucu, paman, wartawan….semuanya. Sampai kayak naik len dalam pesawat. Sesak dan padat! Nggak masuk akal khan, rakyat lihat kayak gitu kok diem aja? Ya itu tadi karena dibodohin, atau dibuat masa bodoh.
Cukup dengan bilang, rakyat itu harus dibimbing itu sudah bagian dari kerja kolonial. Difikirnya rakyat itu buta dan bebal. Pengenya rakyat itu diem, sabar dan tidak suka protes. Asal U tahu aja, ini idam-idaman aparat colonial, tapi kalau untuk masa sekarang..? kritisi dengan analisa lho.OK. Tentu. Camkan dalam otak u bror..! Udah ya, samapi disini dulu, gue udah lapar nich, mau ke Bu Sulis cari makan dulu, ingat Bu sulis itu bukan aktifis pergerakan, dia penjual nasi pecel samping stkip pgri jombang. O..yo brur, aku mohon doa restunya ya, dalam sayembara sastra DKJ, semoga Novel-ku(temanya tentang perjuangan akan nasib orang desa yang ingin merubah pola pikir) masuk dalam seleksi, itupun kalau Pak Sunu mempersilahkan saya untuk mengikutkan(sekarang masih dikoreksi Pak Sunu), masalahnya untuk Diksinya terlalu katrok’’menurutku. Untung2 buat pembelajaran lah, antara teori dan penerapan biar bisa korelasi(q khawatir kalau orang bicara muluk2 ttg teori!. Karena teori bisa juga menjadi racun, dalam hal ini membatasi arah gerak kita. PASTI ITU, coba u analisa..!).... Trimakasih.PEACE

CEROBONG KEMUNAFIKAN

“Siang, gmna pya kbr, Don.”
“Maaf, ini dg spa ya ?”
“Ah, jgn gtu masak lupa ?!”
“Di kontak tdk terdaftar nmr u.”
“Udah kaya nich lpa ama tmn lama ?!”
“Oya, emang u sp Men ?”
“Gue, Toro, SBY. Wah dah lupa nich ? gue ttp kulyh di Jakrt brur…4 Bln lg gue Wisd.”
“O…u brur. Keblek, kmna aja lho g pernh nongol ? Padahal lebaran kemarin ada reoni di rmh Bahlul.”
“Sory brur… gue kgak tau infonya, maslh-x lebaran kmrn gue kgak kermh Bibi. Gmna kbr u..?”
“Kbr q baik2 aja. Lho gmna ? dpt nmrku dr mna ?”
“Fain2 aja. Gue dpt nmr u dr kemplo ank IPS dulu. Gmna kbr kwn2 kita ?”
“O…baik jga, sdh byak yg sdh kerj kwn2 sini. Eh brur, temn u Andy mau mencalonkn DPRD, doakn ya ? kali2 ingin bangkit, smga berhasl, dia kan mantan aktifis pergerakan.”
“Wah….wah tmbah jos aj ank2 brur. Ya, smga aja bsa jd n membwa kebaikn ternadap nasb rakyat. SALAM PERJUANGAN.”
“Puitis bnget kt lho bru…? Tunduk tertindas/ bangkt melawan penghisapan terhadap mnsia ats mnsia lain-x, sb mundr adalh penghianatan yg tak termaafkn.”
“Sip…sip. Setuju banget. U skrg dimna brur…?”
“Q di kmps brur…”
“Kpn u wisuda brur…?”
“Msh 1 th lg kali, itu klu bsa cpt. U kan tau sendiri, q berhenti 1 th dulu.”
“Ya…”
“U skrg dmna brur..?”
“Gue di SBY, lg liburan.”
“Kpn bsa dtg kermh q ? 1 Mgu lg q dah liburan.”
“Ya, nyantai aj. Mungkn 2 Mgu lg gue kestu. Pulsa paket nich…?”
“Ah u... Sama kan? q di kantin brur.”
“Eh, gmna kbr JBG, gempar nich skrg ?”
“Maksd u ?”
“Ya ttg dukun tibn itu lho ! hbs Si Jagal, skrg gnti itu.”
“O…ttg itu, ku kira apa ?! ya bgni lah. Menurut u gmna ?”
“OK.”
“Apa-x yg OK ?”
“Ya, menolong org yg lg skit.”
“Smga aj bgtu brur, dg prinsp dia hnya sbg lantaran.”
“Smga masy situ fhm brur.”
“Kayak-x dah phm brur. Kebanyakn mereka yg dtg ke JBG sini cuz keterbtsn materi.”
“Ya itulah dunia brur.”
“Tdk bsa mereka diktakn Syirik. Syirik ngak-x itu tergantg niat dri msg2. Hbs gmna lg? U kan tau sendr, apa ASKES msh fungsi ? yg kt-x grats.”
“Grats apax ? bkt-x, prus…..msh ada biaya.”
“Ya itu pemerinth brur. Pusg jga.”
“Trus masy stu sndr bnyak yg dtg ?/ kebanyakn dr luar kota ?”
“Bnyk brur masy sini. Hbs gmna lg ? sebenr-x ing kermh skt, tp…..?”
“Ya, itu sbg ikhtiar lah. Asal sadr klu Allah mha sembh.”
“Ttap brur. Tp kshn jg, masl-x skt yg diderita adlh skt Lahr. Knpa kok dibw kedukun…?”
“Ya jga, ters klu bgni sp yg hrs disalhkn…? Apa pemerntahan-x/masyarakt-x…?”
“Ha….ha….tnya pd org yg duduk dikurs empuk.”
“Mksd-x….? kaum berdasi/Ebes gue yg skr duduk disebelahku ini ?!”
“Ha…ha….33X…”
“Ya, fahm. Gtu aj kok surh tertwa.”
“U kan tau sendr pelayanan kesehtn untk masy….?”
“Hanya org berduit yg bsa berobt kermh skt, Don.”
“U g slh. Tp org byk menghujt-x, kaum in’telek menggembor2kn ANTI.”
“Itukn dia. Apa mampu sih dia memberikan pelynan keshtn/setdk-x mengulurkn tgn-x ?”
“Wuak….bsa-x cma beretorika, janji2 palsu. Masy bth bukt kongkrit. Bkn bgtu Plo…?”
“Ha…ha…hi…hi…”
“Kmr brur ada kbr! Ada ank kecl di Situbondo kena kanker rahim dtg ke RSU Situbondo, pihak RSU menolak mentah2, cuz dia g berduit.”
“Kshn jga brur. Trus klu bgtu spa yg bodoh….?”
“Bka lg SMS awl td.”
“Sebenr-x gue muak brur akn janji2 kotor, tp gmna lg ?”
“Ya, tp golput itu haram lho…? Kmrn kan mjd kontroversi di media.”
“U bsa aj, Don!”
“Begitulah, kita kan RAKYAT…???”
“Maksd-x…? DUDUK TERTINDAS/BANGKIT MELAWAN.”
“Boleh jga, seperti itu.”
“Tp, melawn penindasn sendri adlh hal yg palng konyol utkk menuju kematian!!!”
“Selurh org yg anti penindasn harslah bersatu dlm kesatuan yg uth. Sejarh telh mengajrkn pd kt bahwa persatuan org2 dgn semangat juang yg tinggi pun tdk akn pernh mampu menggulingkn struktur penindasn yg sudh menggurita, jk tdk di pimpn oleh organssi perlawnan yg revolusionr.”
“O…bgtu!!!”
“Ya…dr sni dgn jels kt meliht peranan yg signifikn dr orgassi gerakn sebgai alt perjuangan utk menciptakn tatanan masy yg kita cita2kn bersma, yaitu masy yg tanp ada-x penindasn antr sesama-x.”
“Trimksh brur ats penglmn-x. Ngeri ya…? Ank Pergerakn JBG top banget.”
“Apa-x yg ngeri…? Ingat, kt Mahasiswa brur.”
“Ya... BANGKIT kan ?”
“Always.”
“Dunia telh dihajar pailit !”
“Peace.”
“Ya sudh brur, sampai dsni, sambg lain kali aja. Tangan gue dah keriting nich! Wassalam…”
Jombang, Februari 2009

SEMANGAT PANTANG MUNDUR

OLEH: Agus Prastyo

I

Hujan pertama di awal musim penghujan, tepat pada waktu maghrib. Suasana pedasaan yang selama musim kemarau terasa panas, sekarang kembali segar dan sejuk.
“Sudah maghrib bapakmu belum pulang juga, kemana saja ya, Min ? ” terdengar suara perempuan dari dapur, tetapi tidak terlalu jelas, karena hujan sangat deras sekali. Lama kelamaan suara alas kaki semakin mendekat ke ruang tamu.” Oooo… kalian ternyata disini ya ? tadi dipanggil kok diam saja!”
Poimin tiba-tiba terkejut. Segera dia bergegas meletakkan gitar yang dipegangnya di dekat meja. Dia seperti orang kebingungan.” Ada apa, Mak ?” tanya dengan lirikan mata, sambil menggerakkan bagian persendian yang terasa agak sakit.
“Kok berhenti jrang-jreng. Tidak tau ya ? kamu tidak melihat! enak benar kamu Min. Mak repot di dapur, bapakmu kethengkilan memanjat kelapa sampai sore belum pulang, kamu malah enak-enakan jrang-jreng. Coba kamu lihat bapakmu dikebunnya Mbah Guru sana. Sudah maghrib belum pulang juga. Mak khawatir kalau nanti ada apa-apa, hujan-hujan seperti inikan pohon sangat licin. Sayang, kalau nanti nira yang dibawa bapakmu ketumpahan air hujan.”
“Jangan mikir yang jelek-jelek, Mak! siapa tau Bapak masih berteduh.”
Sebenarnya maknya Poimin masih mau bicara lagi. Semua diam ketika dari teras rumah terdengar suara bumbung dibunyikan. Hati yang tadinya cemas dan khawatir tiba-tiba berubah jadi gembira, karena orang yang ditunggu-tunggu dari tadi baru nyampek rumah dengan keadaan selamat.
Kemudian maknya Poimin tenang, kalau suaminya sudah sampai rumah dalam keadaan sehat. Poimin beda lagi, senang hatinya karena tidak jadi menengok bapaknya yang berada di kebun Mbah Guru yang tempatnya sangat jauh dari rumah.
Seperti biasanya, tanpa disuruh, Poiman bergegas menuju teras dapur. Membantu bapaknya untuk mengangkat nira yang ada di dalam bambu, untuk di bawa masuk. Nira yang ada di dalam bambu kemudian dituangkan kedalam wadang tong.
Orang yang barusan pulang mencari nira namanya Pak Paijo, kondisinya masih basah kuyup. Segera dia duduk beristirahat sebentar, setelah itu ia bergegas menarik handuk dalam kawat. Handuk satu-satunya untuk orang serumah, yang sudah tidak jelas warna aslinya.
“Nggak minum dulu, Pak ? itu Pak, sudah aku persiapkan sejak dari tadi,“ bicaranya terdengar maknya Poiman, kalau bapaknya mau ke kamar mandi belakang rumah.
“Nanti saja, sudah petang, entar kehabisan maghrib lho..!” kata maknya.
“Ya, sudah petang, cepat mandi,“ Poiman bercanda dengan maknya sambil melanjutkan pekerjaan merebus nira, yang sudah dilakoni setiap hari, sejak lulus dari SMA sepuluh bulan yang lalu.
“Hentikan candamu yang meledek itu, Min! nanti khawatir terbiasa kebawa sampai tua,“ katanya Pak Paijo.
Poimin cuma senyam. Nira sudah di atas gumuk. Gumuk yang sudah dimasuki kayu grajen sampai penuh, itu tinggal dinyalakan saja.
Tidak lama kemudian, apinya sudah mulai nyala. Merebus dengan gumuk pasti biayanya akan lebih murah dan mudah. Tidak perlu menunggu-nunggu sampai lama, seperti kalau menggunakan luweng. Harganya kayu grajen lebih murah, dari pada kayu bakar yang semakin mahal, bahkan ada yang mengumpulkan daunnya pohon bambu untuk dibuat gantinya, walaupun harus sabar, karena sangat cepat sekali habisnya.
“Bisa aku ganti sebentar, kamu tadikan belum sholat dan kamu juga tadi belum mandi. Sana mandi dulu, setelah itu sholat,“ kata kaknya.
Poimin kaget, tiba-tiba maknya sudah dibelakang, yang sudah kelihatan bersih. Segera ia bergegas ke kamar mandi. Baunya sabun merek tangan menusuk hidung, maklum orang desa yang tergerus dari sebuah sistem.
“Nanti kalau sudah selesai sholat, kembali lagi kesini, jangan bermain gitar melulu. Masak setiap hari jrang-jreng kok ngak ada bosannya ! “ kata maknya.
Si anak tidak bicara sama sekali, setelah selesai mandi kemudian mengambil handuknya yang barusan dipakai Mak dan bapaknya. Handuk hanya satu doang, itu buat bergantian orang satu rumah. Maka, sering neneknya Poimin terpaksa memakai handuk pakaian, yang akan dipakai setelah mandi. Karena, handuk aslinya sudah terlalu basah sekali setelah dipakai Poimin, Mak, dan bapaknya.
Setelah habis isyak Poimin dan kedua orang tuanya berkumpul lagi di dapur. Api yang menyala sudah dimatikan dengan air. Sekarang maknya Poimin lagi sibuk menetes nira yang sudah kental seperti jladren. Suara irus yang dibuat untuk membolak-mbalikkan nira kedengaran plag-plug, begitu seterusnya tanpa berhenti, sebelum encer dan merata.
Pak Paijo lagi santai-santai di atas lincak sambil merokok klobot buatannya sendiri. Disampingnya ada Poimin yang lagi sibuk menutupi lubangnya bathok dengan daun ketela. Bathok-bathok itu semua yang nantinya akan di buat gula kelapa.
“Gimana, Min! apa kamu jadi pergi keluar kota ?“ tanya bapaknya yang memecahkan keheningan.
“Ya, jadilah Pak, sudah rencana sejak dari dulu. Masak dari kecil, dewasa, bahkan sampai mati pun aku selalu di desa. Terus apa jadinya kalau aku seperti ini terus ! paling-paling ya cuma nyadap seperti Bapak atau Kakek yang itu. Terus apa gunanya ijazahku SMA ini, jurusan IPA lho Pak…!”
“Apa pekerjaan nyadap itu berat, Min ?” maknya saut bicara, “Coba, seumpama tidak ada yang memanjat pohon kelapa, apa jadinya nanti ! apa kamu mau makan tewol terus-terusan ? coba pikir Min ! “
“Yang aku pikir beratnya pekerjaan Mak dan Bapak lakukan saat ini. Tidak peduli hujan deras bercampur petir, harus tetap berangkat memanjat, pohon-pohon kelapa itu licin Mak. Apa nantinya kalau pas aku memanjat terperosok jatuh. Sudah berapa saja korban yang jatuh dari nyadap, sejak kecil sampai Mak dewasa ini ? makanya izinkanlah aku untuk pergi ke Surabaya,“ kata Poimin.
“Apa di Pare atau Kediri sini tidak ada pekerjaan seperti yang kau inginkan, Min ?” tanya Pak Paijo.
“Disini paling-paling cuma jadi pelayan toko Pak, beda lagi kalau di Surabaya, pabrik dan perusahaan banyak sekali.“
“Apa ijazahmu itu nggak bisa untuk melamar jadi pegawa negeri ?“ tanya maknya.
“Masuk PNS itu sangat sulit, Mak. Harus tebal dompetnya. Yang sudah sukuan berpuluh-puluh tahun belum tentu bisa di angkat !“
Semua diam sebentar, Poiman dan orang tuanya terkubur dalam angan-angan. Yang tua terasa berat untuk merelakan anak satu-satunya pergi, sedangkan Poiman tetap terpangku pada pendiriannya. Suasana sepi, berubah menjadi ramai lagi saat maknya Poiman bicara, “Terus Min, kalau ke Surabaya kamu butuh uang berapa ? buat ongkos perjalanan, makan, dan kos sebelum kamu dapat pekerjaan.“
“Sedikit kok, Mak. Katanya Sukri kemarin, punya Pakde di kawasan Wonokromo, yang bisa rumahnya untuk aku tempati. Siapa tau tidur dan makannya nanti gratis.“
“Jangan bertumpu pada anaknya Blorok ! pakdenya sukri di Surabaya itu pekerjaannya apa dulu, jangan asal numpang.“
“Mungkin, bagian memandikan monyet kali,“ Poiman bercanda, orang bertiga tertawa terbahak-bahak.
“Sekali lagi Min,“ bapaknya memberikan nasihat,“ Katanya orang-orang hidup di kota besar itu berbeda dengan hidup di desa. Canda ria, saling sapa, sudah tidak ada, walaupun dengan saudaranya sendiri. Yang namanya tolong menolong dan gotong royong itu sangat jarang dilakukan. Tapi itu katanya orang-orang, aku sendiri belum membuktikan.“
“Kalau masalah itu bisa di pikir sambil berjalan Pak. Yang penting sekarang mak dan bapak cari uang buat berangkat. Hutang di Mbokde Pariyah atau yang lain. Nggak usah bingung, entar kalau aku sudah dapat kerjaan aku kembalikan uangnya. Janji Mak, Pak..!”
Emaknya mau bercanda, tapi didahului Bapaknya bicara,“Ini bukan masalah dikembalikan atau tidak. Bagaimana kalau kamu di Surabaya nanti. Masalahnya kamu belum pernah ke kota besar. Banyak orang mengatakan, jaman sekarang itu sama saja, tidak mudah untuk cari pekerjaan. Kalau ada kurang beruntungnya, malah entar di tipu orang Min.“
“Tapi kalau aku dan Sukri mau di tipu apanya Mak ? buat berangkat aja mau hutang. Itu kalau Mak dan bapak mau kerumahnya Mbokde Pariyah. Kalaupun tidak, ya aku cari pinjaman sendiri, itupun kalau aku dapat pinjaman. Kalau nggak ya terpaksa sepedah unta itu aku jual.“
“Jangan Min… jangan, itu sepeda satu-satunya yang kita punya, terus bapakmu kalau mau pergi kemana-mana akan naik apa..? ya sudah, besuk pagi aku akan pergi kerumahnya Yu Pariyah. Kamu butuh uang berapa, Min ? kalau dua ratus ribu cukup nggak ? “
Si Poimin hatinya terasa plong, kemudian dia tergesa menjawabnya,“ Ya Mak, itu sudah cukup, seumpama kurang, akau akan cari pekerjaan apa adanya, yang penting dapat hasil, halal, dan bisa buat makan.“
Setelah berbicara dengan orang tuanya segera Poimin meninggalkan tempat duduknya.
“Mau kemana, Min ? “ maknya bertanya.
“Aku akan pergi berkelana, bumbungnya belum dibersihkan, air panas yang di masak tadikan belum di angkat ? “
“Belum, dari tadi kita ngobrol melulu, capek aku sebenarnya. Semoga airnya tidak susut.“
Malam itu juga Poimin tidur dengan nyenyak. Dimimpinya, dirinya merasa memakai dasi, jas, sepatu yang bermerek mahal gilap-mengkilap. Dengan naik mobil sedan yang masih jring kinyis-kinyis akan menuju kantornya yang besar dan megah.

II
Hari sebelumnya sudah aku persiapkan, pakaian semua sudah aku masukkan kedalam tas. Sekarang waktunya aku harus berangkat. Tas aku letakkan di kursi panjang depan rumah. Pak Paijo belum berangkat kerja sengaja mau berangkat agak siang, menunggu Poiman dan Sukri berangkat dulu. Maknya juga belum selesai masaknya di dapur untuk mempersiapkan makan pagi. Pagi itu tidak seperti biasanya, nyeplok telor kampung dua buat persiapan anaknya yang mau berangkat jauh ke Surabaya.
“Anakmu tadi pergi ke mana lagi ?” tanya Pak Paijo yang duduk sendirian dikursi teras depan ada di samping tas Poimin.
“Kemana lagi kalau nggak kerumahnya Tumini,“ Supinah menjawab.
“Kesana lagi ? padahal malam tadi sudah ke sana sampai jam sepuluh.“
“Ya itu masalahnya, masak berpamitan tidak cukup satu kali. Hari sudah agak siang, nasi untuk sarapan sudah tidak seberapa hangat lagi. Terus itu bagaimana ? masak harus pulang tiap minggu, malah habis gajinya buat wira-wiri Surabaya sini.”
“Ya sudah make, kayak kita nggak pernah jadi muda saja.“
“Tapi dulu kitakan nggak seperti itu,” Supinah membantah.
“Ya pasti. Aku dulu tidak pernah pergi bekerja ke luar kota, selalu hidup di desa seperti ini.“
Yang jadi pembicaraan tiba-tiba muncul dari plataran depan rumah, dengan pakaian necis, baju masuk. Sambil menaiki sepedah unta warna hitam.
“Dari mana saja kamu, Min ?” tanya Pak Paijo menunggu orang yang barusan datang.
“Dari rumah Sukri. Dia masih mandi. Barusan bangun tidur, tadi malam bergadang sampai pagi di Pos Kamling.“
“Makan pagi dulu Min,“ kata maknya Poimin yang barusan keluar dari dapur, dengan memakai pakaian daster compang-camping yang penuh noda getah pisang. “Sana sarapan dulu,“ kata maknya di ulang lagi.
Poimin menurut, perutnya dari tadi sudah keroncongan. Bergegas berjalan ke dapur menuju kranji. Bola matanya berputar-putar pas melihat telor ceplok dua yang sudah siap untuk di santap.
“Itu buat lauk semua, Min,“ saut maknya dari depan.
“Semua, Mak ? bapak gimana ? “ kata Poimin.
“Bapakmu itu alergi kalau makan telor ceplok, kulitnya gatal-gatal,“ disusul suara gayu, gayu semua, buat menutupi kesedian hati yang mau di tinggal anak kesayangannya.
Nasinya agak hangat, lauk telor ceplok, perutnya lapar. Makanya kalau makan serap-serep, nambah lagi, mulut agak dilebarkan, dan tanpa menggunakan sendok. Telurnya cuma di ambil satu. Satunya buat bapaknya, sebab tau yang dibicarakan maknya tadi, kalau bapaknya makan telor nanti berakibat alergi gatal-gatal, padahal itu cuma bercanda.
Kira-kira Sukri sudah beres semua ngak ya, masalahnya dia tidak terlalu persiapan matang. Segera Poimin berpamitan pada kedua orang tuanya, dengan bersalaman mencium tangannya. Tapi dia tidak langsung berangkat. Masuk rumah sebentar, berkaca di depan almari yang sudah agak buram.
“Sudah ya Mak, Pak. Aku mau berangkat,“ sebelum bergegas pergi tiba-tiba ada laki-laki tua memakai blangkon masuk plataran rumahnya.“Kakek, Pak,“ kata Poimin pada bapaknya.
“Jadi berangkat sekarang ta, Min ?“ tanya kakeknya, yang orang kampung biasanya memanggil Mbah Gimbal. Yang tidak pernah lepas dari blangkon kesayangannya, walaupun usianya sudah berpuluh-puluh tahun. Melanggengkan kali ya ! Poimin mendekat, tangan kakeknya di pegang erat-erat sambil di cium, “Minta doa restu Mbah ya ! doakan saya dan Sukri cepat dapat pekerjaan.“
“He-ehh… itu pasti Le. Cucuku hanya laki-laki hanya kamu. Tunggu sebentar…! aku kemarin jual ayam tiga ke pasar. Ini bisa buat tambahan saku,“ Mbah Gimbal merogoh celana komprangnya, terus memasukkan uang kesaku pakaiannya Poimin. Poimin yang sudah hapal wataknya Mbah Gimbal, tidak berani menerima, walaupun cuma pesi-pesi, “Tidak usah repot-repot Pak. Uang sakunya Poimin sudah cukup untuk setengah bulan.“ canda Pak Paijo.
“Yang repot itu ya siapa ? walaupun ayam aku jual tiga, di kandang masih banyak. Apa tidak boleh aku jual ayam, buat uang jajan cucuku ?!” katanya Mbah Gimbal.
Bapaknya Poimin diam, sambil memikir omongannya tadi.
“Diperantauan yang hati-hati ya Lhe ? jaga dirimu, kalau mencari teman yang jelas, bagus budi pekertinya. Jangan setiap orang kamu akrab’i. Di kota besar itu isinya campur baur, orang dari mana-mana, beda adat dan kebiasaan,“ nasihat Mbah Gimbal sambil memegang pundaknya Poiman, dengan mengeluarkan sedikit air mata, “ Ya Kek, pasti akan saya ingat-ingat. Assalamu alaikum…..” Jawab Poimin dengan suara agak tersendat-sendat. Kemudian berjalan kerumahnya Sukri, yang berjarak satu gang dengan rumahnya.
Yang ditinggal, orang bertiga, masih tetap di depan teras rumah. Memikirkan orang yang barusan meninggalkan rumah. Kemudian si Mbah berpamitan kepada Paijo, “ Aku tak pulang dulu, ayamnya belum aku kasih makan tadi. Sudah, Nah ya, jangan terlalu memikirkan anakmu. Doakan saja, semoga selamat dan cepat dapat pekerjaan.“
“Ya Pak, berhati-hati,“ kata maknya Poimin.
“Tidak usah kau ingatkan. Walaupun sudah tua, aku masih kuat ! mataku masih jelas. Apabila tidak di cegah Mbokmu, aku ini masih kuat kok memanjat dua puluh pohon sehari ! “ yang diingatkan naik pitam.
Anak perempuan dan menantunya cuma geleng-geleng. Ada orang, mulai kecil sampai tua bangka, kasarnya minta ampun. Tapi kok tadi suaranya agak serak-serak basah, kelihatan kalau mau menangis. Orang berdua kemudian masuk rumah.
“Berangkat sekarang Pakne ?” tanya Supinah sehabis dari dapur.
“Nanti dulu, aku akan ke rumah Bang Jombloh sebentar, kemarin aku pesan bengkol, katanya pagi ini sudah jadi.“
“Apa bengkolnya sudah rusak ?“
“Sebenarnya belum, tapi umurnya sudah bertahun-tahun. Nanti khawatir putus pas buat ngagkat bumbung.“
“Lho, kayaknya kamu kemarin juga pesan deres ? “
“He..eh, tapi dijanjikan sepuluh hari lagi.“
“Kok lama banget.“
“Ya iya lah..! rumahnya jauh banget. Pandantoya sana, Wates masih ke timur.“
Setelah itu yang laki-laki pergi kerumahnya Jombloh. Supinah menanyakan bumbung yang diangkat sejak tadi pagi. Tidak sampai seperempat jam selesai. Kemudian pekerjaan lain ngak ada habis-habisnya sudah menunggu. Yang dikerjakan dulu mencuci pakaian yang sudah menumpuk di pojok kamar. Khawatir kalau hujan seperti kemarin, sampai beberapa hari. Kelihatannya musim penghujan mulai tiba, matahari sudah condong ke selatan. Waktu sore burung terik terbang dari utara. Arah angin sering berubah-ubah, debu didedaunan bertebaran kesana-kemari. Bulan depan sudah masuk bulan Oktober.
Pas lagi mencuci pakaian, dari dapur terdengar suara bumbung bertatapan. Supinah segera masuk dapur.
“Sudah jadi, Pakne ?“
“Sudah, sekarang mau aku pakai.“
“Jadi kayu jati ?“
“Ya iya lah. Pesanku seperti itu. Sebenarnya Kang Jombloh tadi minta tambahan, alasan kayu jati naik harganya“
“Lha terus ? kamu janjikan.“
“Ya, aku janjikan. Uang dari Yu Pariyah kemarin masih sisa ngak ?”
“Iya masih, Kang Jombloh tadi minta tambahan berapa ?”
“Ngak berani bilang, katanya, yang penting bisa buat beli rokok.”
“Kalau yang diinginkan rokok satu toko !” kata Supinah sambil ngeledek, “ Terus, mau kamu tambah berapa ?” lanjutnya.
“Kalau menurutku ya lima ribu saja.”
Emaknya Poimin masuk kamar, kembali sambil membawa uang lima ribu, kemudian diberikan suaminya, “Ini, kamu berikan sekarang. Orang itu kalau mencari hutang, seperti orang menagih, tapi kalau di tagih mbuletisasi, seperti sini yang mau hutang.”
“Jangan seperti itu Makne !, mungkin otaknya belum dapat pencerahan, merasa kalau dirinya berkuasa, anggaplah kita ini rakyat kecil,“ suaminya menerima uang, kemudian memasukkan ke saku celananya. Supinah mbatin, seharusnya namamu dulu bukan Paijo, tapi Sabar.
Pak Pijo yang maunya mau berangkat ndares terpaksa gagal, menuruti omongan sampingnya supaya memberikan uang ke rumah Jombloh. Sejak dulu tetangga yang kelakuannya mbandel , mbulet, ruwet, dan sok berkuasa, bisa di lihat. Tapi orang-orang kalau pesan pisau, bangkol, arit, ya ke Jombloh yang terkenal bagus.
Orangnya lagi duduk-duduk rokoan di teras depan, dengan meletangkan kakinya di atas meja. “Ini Kang Mbloh uang yang kurang tadi,“ kata Pak Paijo tanpa basa-basi.
“Lho, kok langsung Kang Jo, padahal aku tidak terburu-buru untuk memakainya kok !” perkataannya Jombloh, berbeda dengan batin si Paijo.
“Apa Kang Jombloh tidak butuh rokok ? atau rokok kang Jombloh masih satu karung ?” yang diajak bercanda tidak menggubris, ribut memasukkan uang lima ribu ke dalam sakunya. Batin si Paijo bertanya-tanya pada dirinya. Apakah semua watak dan pemikiran penguasa seperti itu ya…? coba kalian analisa dengan pemikiran kritis.
Keluar dari plataran rumah sukri, remaja tersebut berjalan menyusuri kampung di pagi hari yang sepi. Jalan dalam keadaan becek, kemarin sore hujan lebat. Poimin dan Sukri adalah teman satu kelas sejak SD sampai SMP, mulai pisah sejak lulus dari SMP. Poiman masuk SMAN, sedangkan Sukri masuk STM mesin. Tapi kalau pas di kampung, tetap menjadi kawan seakrab. Dimana ada Poimin, disitu ada Sukri. Wajah keduanya hampir mirip, cuma Poimin kulitnya agak hitam. Orang yang tidak pernah bertemu dengan Poimin dan Sukri, mengira sebagai saudara sekandung.
Setelah berjalan menyusuri kekampungan, barulah dia sampai di perempatan. Tidak lama kemudian ada bus berhenti didepannya. Tanpa bertanya, Sukri cepat-cepat naik dengan di susul Poimin. Kebetulan bus yang ditumpanginya menuju ke Malang. “ Kemana, Dik ?” tanya kernet sambil mempersiapkan spidolnya.
“Ke Surabaya, Mas, tapi entar turun di pertigaan Polorejo saja,” Sukri menjawab sambil duduk.
Si kernet tidak jadi memakai spidol. Kembali diselipkan lagi ketelinganya. “Seribu !” ucapannya sambil mendekat.
“Naik ya, Mas ?” tanya Sukri dengan rasa kurang percaya.
“Sudah lama, Dik. Hampir satu tahun, kamu aja yang ngak pernah ke luar kota.”
Poimin memberikan uangnya tanpa bercanda. Kernetnya agak sinis, sambil melangkah ke depan.
“Karcisnya, Mas?” Sukri tanya dengan rasa kurang terima.
“Dik…Dik. Cuma kesitu aja minta karcis !”
“Kamu juga seperti itu, cuma kesitu aja bayar seribu,” Sukri tidak mau ngalah. Si kernet tidak mau beradu mulut. Kemudian melangkah ke depan.
“Pertigaan Polorejo !” teriakan si kernet menyindir Sukri yang masih mau protes. Sukri ngak merasa tersinggung, namun hatinya tetap menggerundel, teringat uang yang seribu yang dianggap terlalu mahal.
“Kakinya dulu, Dik !” kernet berambut panjang teriak menyindir ketika Poimin dan Sukri mau turun.
“Mas, tolong dijaga mulutmu,” anak tamatan STM itu muntap. Setelah turun, genggaman tangan Sukri diarahkan ke kernet bus. Tunggu pembalasanku, Mas ! tanpa rasa malu bermuka merah, kemudian mengikuti Poimin yang sudah nyebrang duluan di utara jalan. Tanpa di duga, ada sepedah motor dari barat ngebut. Sukri melompat kepinggir jalan, sepeda motor terus lurus seperti tidak ada apa-apa. Poimin yang sudah dulu di pinggir jalan bengong, merasa kaget. Sukri kemudian berteriak misuh kearah lajunya sepeda motor, dalam kodisi marah.
Dari barat ada bus datang, melaju agak pelan, kemudian berhenti. “Surabaya, Mas, kosong !” kernetnya merayu sambil turun. Sukri duluan naik. Katanya kernet itu benar, masih banyak kursi kosong. Sambil matanya clilang-cliling cari tempat yang nyaman, syukur kalau bisa duduk dengan cewek cantik. Tapi setelah melihat-lihat, tidak ada yang bisa buat obat kanthuk. Sukri memegang lengan kanannya Poiman, mengajak duduk di baris nomor tiga dari belakang sopir.
Samapi masuk di kawasan Jombang kota, lajunya bus sering berhenti seperlunya, menurunkan dan menaikkan penumpang. Bikin jengkel penumpang lain, baru naik jarak tiga ratus meter, sudah minta turun lagi.
“Oalah…Mbokde, jarak tiga ratus meter aja naik bus !” ucapan anak-anak muda yang duduk nomor dua dari depan. Penumpang lain bicara desas-desis. Kondekturnya cuma senyam-senyum.
Tapat depan terminal Jombang penumpang lain sudah tidak dapat tempat. Baunya keringat sudah amat tidak karuan. Kursi yang ditempati Poimin dan Sukri sekarang isinya bertambah satu, orang peranakan bercelana pendek, sandal jepit serampang hijau, membawa tas plastik dengan model rambut poni yang sudah bercampur uban. Ya, keringat orang tersebut yang membuat Poimin dan Sukri hampir muntah. Dalam hatinya dia berpikir, tadi berharap-harap duduk dengan cewek cantik, malah sekarang kok duduk dengan orang seperti ini.
Sampai di Peterongan, orang tersebut teklak-tekluk ngantuk. Kepalanya sedikit bergeser ke tengah, tepat di atas pundaknya Sukri. Tas plastik jatuh tanpa di rasa. Sukri yang merasa sudah grundel, terpaksa menggeser orang tersebut. Agak kaget, ketika Poimin nyeblek kakinya Sukri dengan menunjuk bungkusan plastik yang bergelantungan di atas. Yang di ceblek tanggap, kemudian berdiri.
“Ini..!” Sukri memberikan tas plastik yang di ambil dari centelan. Selang beberapa detik, Poimin hoak-hoek muntah. Sukri menjadi bingung, perutnya sendiri sudah mulai merasa mual-mual. Menoleh ke kiri bau keringat, ke kanan Poimin mabuk. Akhirnya sukri malah ingin ikut-ikutan tidur, dengan sedikit menggeser orang tersebut. Tiba-tiba kepalanya orang tersebut merunduk ke bawah.
Sukri merasa mual-mual akan baunya orang tersebut. Dengan menutupi hidung, sambil mengontrol keluar masuknya pernafasan. Pada saat itu Poimin baru tuntas menguras isi dalam perutnya. Tas plastik isinya kulup kangkung dan nasi yang sudah basi, segera dibuang lewat jendela, tanpa menghiraukan orang yang lewat. Tanpa disengaja Sukri kaget, pas melihat air lendir yang mengenai celananya. Dari mana lagi kalau ngak dari mulut yang tidurnya ngowoh. “Om….Oom !” berteriak sambil memukul kakinya. Yang di pukul njingkat kaget, “Ada apa…?” tanya dalam keadaan gugup.
“Ini !” jawaban Sukri cepat, sambil menunjukkan lendir yang mengenai celananya.
“Oo..Sory…Sory ya,” dengan perasaan takut, segera mengambil sapu tangan di saku celana pendeknya. Tangan terasa gemetar, ketika membersihkan lendir yang menempel dicelenanya Sukri.
“Kalau tidur di atur, Om, mending nggak uasah bepergian kalau kagak kuat bawa kepala,” ucapan dengan nada marah.
“Benar…Saya minta maaf, Dik. Semalam aku nggak tidur. Menunggu nyonya di rumah sakit,” bicara dengan muka agak melas. Ngantuknya terus hilang, sampai turun di Brangkal.
Setelah orang tersebut turun, bekas tempat duduknya tidak ada yang menempati. Berhenti di terminal Mojokerto, tidak ada penumpang yang naik. Sukri mulai merasa agak ngantuk liyer-liyer, akhirnya tertidur sampai pulas, setelah itu di susul oleh Poimin.
Suara klakson bersahutan, Poimin dan Sukri bangun dalam keadaan bengong. Dengan kondisi mata agak surup. Poimin lingak-linguk, kelihatan kalau bingung, “Sudah di mana ini, Kri ?”
“Bungur…! Bungur…! Surabaya terakhir,” kata Sukri. Kedua anak tersebut sedang antri mau turun.
“Kalau ke rumah pakdemu, naik apa, Kri ?”
“Bus kota. Ayo, ikuti saja aku !” saut dengan tegas. Kemudian berjalan menuju ke arah bub-bus kota. Poimin yang baru pertama datang di Surabaya, ikut ngintil dibelakangnya Sukri.
Tanpa mendengarkan ucapan para calo-calo, yang menunjukkan arah bus kota. Sukri mencari bus ke arah Joyo Boyo. Walaupun datang ke Surabaya jarang-jarang, belum tentu satu tahun sekali, tapi gayanya kayak orang asli situ. Tidak mau tanya-tanya, gengsi !.
“Bus nomor dua aja, Min, biar dapat tempat duduk,” yang diberi aba-aba pasrah. Ketika melihat bus yang depan sendiri, ternyata benar, penumpang penuh. Sebaliknya, bus nomor dua masih banyak yang kosong. Jarak sebentar, setelah bus pertama berangkat, penumpang sudah bergerombol antri naik bus yang besar itu. Walaupun kursi begitu banyaknya, namun sudah penuh semua, bahkan puluhan penumpang banyak yang berdiri.
Poimin tidak tahan dengan kondisi panas, gerah. Segera mau membuka kaca. Sukri hanya melihat pola tingkah temannya itu, tanpa berniat membantu. “Percuma, Min ! semua jendela bus kota ya seperti itu, parah !” selanjutnya Poimin pasrah. Kemudian membuka kancing bajunya.
Di dalam bus suasana Sukri bertambah sebel, pas melihat anak kecil lagi ngamen. Dia geleng-geleng pas di sodori wadah plastik. Poimin memberikan lima ratus, “Kebanyakan, Min !” katanya Sukri.
Setelah pengamen satunya turun, kemudian disusul pengamen anak-anak muda. Yang rambutnya di cat merah pegang gitar, yang hidungnya ada anting-anting pegang ketipung, satunya lagi pegang wadah plastik. Terus membawakan lagu dangdutan. Selesai lagu satu, disusul dengan lagu lainnya, sampai dapat lagu tiga. Bagian yang pegang wadah plastik, sudah repot anthung-anthug.
Sekali lagi uang lima ratus lepas dari tangan Poimin, walaupun sebenarnya dia tidak suka sama sekali dengan lagu tersebut. Dari pada berantem dengan pengamen itu, yang gayanya seperti artis kesiangan. Lebih baik memberikan uang lima ratus, biar lebih aman.

III

“Yu Yem !” terdengar suara perempuan dari ruang keluarga. Piring yang lagi di cuci cepat-cepat ditaruh, sambil menjawab. “Ada apa, Bu !” jarak sebentar orang yang di panggil datang
“Ini, Yem, aku dan bapakmu mau ke Kapasari. Kamu hati-hati di rumah. Kalau ada tamu sekiranya kamu tidak kenal, jangan izinkan masuk. Terus, apabila ada telepon, bilang aja Bapak dan Ibu sedang pergi. Sudah jelas ya, Yem ?!”
“Ya, Bu, tapi Mas Budi nggak ikut pergi kan ?”
“Ngak, dia masih tidur di kamar.”
Setelah itu Sayem kembali melanjutkan cuci-cuci piring sampai selesai, kemudian mencuci beras buat makan siang. Ternyata orang kota itu kalau makan harus serba baru. Menu makan pagi, siang, dan makan malam itu sudah beda. Tidak seperti di kampungnya Sayem, mulai pagi sampai malam menunya tetap.
Setelah masak nanti, mencuci pakaian, tapi tidak terlalu berat, karena ada mesin cuci. Tugas yang lain ngepel dan nyetelika. Kompor gas baru saja di hidupkan, ceklek…. Langsung nyala. Sudah mulai hafal, kemarin sore latihannya. Nyalanya api yang biru itu di pelototi oleh Sayem. Tidak mengeluarkan langseng, tidak seperti kayu baker.
Sayem yang lagi melihat nyalanya kompor, jingkat kaget ketika ada suara telepon, hatinya deg-deg. Bagaimana cara menerima telepon, kok belum di ajari kemarin. Dirinya bertambah bingung. Mau membangunkan Mas Budi tidak berani.
Kemudian merasa tenang pada saat telepon berhenti dengan sendirinya. Setelah mau masak daging sapi yang sudah ada di panci, kembali telepon tersebut berbunyi seperti orang menjerit. Tanpa berpikir panjang, Sayem berteriak, “Orangnya tidak ada…pergi !” tapi telepon itu terus berbunyi. “Kamu itu punya telinga apa nggak, sih ? orangnya tidak ada !”
Akhirnya telepon itu berhenti dengan sendirinya. Sayem merasa lega. Kemudian mencuci daging di kran, celaka, telepon kembali menjerit. Sayem menghiraukan jeritan telepon itu, terus melanjutkan aktifitasnya sampai telepon tersebut berhenti.
Setelah itu, “Halo…” terdengar suara laki-laki. Sayem kemudian jinjit-jinjit, mengintip dari candela belakang. Ternyata itu Mas Budi, anaknya Pak Bos. Anak muda gondrong pakaik anting, lagi duduk sambil telepon. Setelah selesai telepon, anak tersebut kembali ke kamar.
Sayem sudah selesai masak. Melihat jam di atas pintu, kira-kira waktunya masih cukup untuk membersihkan lantai dan mempersipkan makan siang. Sebelum ngepel, bel pintu depan berbunyi. Segera bergegas ke ruang tamu sambil membukakan pintu.
Di depan pintu chorot-chorot dua yang belum pernah dijumpai. Sayem mbatin, apa ini temannya Mas Budi, ya ? pintu depan di buka lebar, kemudian dirinya mendekat, “Mau mencari Mas Budi, ya ?” tanya dengan nada sok tau.
“Itu, Bulek, saya dari Pare, keponakan Pakde Ponidi. Kamu pembantu baru, ya ? kok tidak tau saya !” Sukri tanya.
“Bapak dan Ibu tidak pernah bilang kalau punya saudara di kawasan Pare,” jawab Sayem.
“Ya sudah, Bulek, aku mau masuk.”
“Nggak bisa. Pokoknya orang yang patut dicurigai tidak boleh masuk rumah !”
“Tidak percaya kalau saya keponakan Pakdhe Ponidi !”
Sukri kebingungan, grayah-grayah ngambil dompet, mau menunjukkan KTP-nya. Sebelum KTP dikeluarkan, terdengar suara orang batuk dari pintu dalam. Tanpa di sengaja Sukri teriak, “Mas Budi…!”
“Dik Sukri ! kok nggak masuk ?!”
“Nggak boleh sama Bulek, Mas !“
“Ayo silahkan masuk,” suruh Mas Budi. Kemudian Sukri masuk, di susul Poimin dibelakangnya. “Kenalkan Mas, ini Poimin, temanku bermain sejak kecil. Min, ini Mas Budi, putrane Pakdhe, pemain gitar. Gimana Mas, masih sering manggung ngak ?”
“Tadi malam manggung. Makanya ini tadi bangun kesiangan.”
“Masih tetap gabung dengan Gembel 87, Mas ?”
“Nggak, udah ganti.”
“Grup yang dulu sudah bubar, Mas ?”
“Ya, biasah. Dimana-mana juga seperti itu,” Budi anak tunggal Pak Ponidi, Poimin dari tadi cuma mendengarkan pembicaraan kedua anak tersebut. Poimin jadi tertarik, walaupun dia pernah menjadi anak band waktu SMA.
“Bubare band yang masih blajaran kebanyakan karena perebutan ide. Tapi kalau sudah terkenal, menjadi rebutan rejeki…Ojir !”
“Anak Pare masak ngerti Ojir ?”
“Poimin punya banyak saudara di Jombang, Mas !”
“Oo…Kera ngelam…”
Budi kemudian kebelakang mencari sayem yang sedang mempersipkan makan siang, “Bi, tamunya tolong buatkan minuman !”
“Sudah Dhoro, tapi sekalian makan siang.”
“Sudahlah, tolong bawa kedepan sekarang.”
Minuman jeruk di bawa Sayem keruang tamu. Selanjutnya, kembali keruang makan melanjutkan pekerjaannya. Tanpa di duga Pak Ponidi datang, tepat jam satu siang.
“Baru pulang, Pakde ?” nyapa sambil mengankat tanga, ngajak berjabat tangan.
“Dari Kapasari, memberitaukan adiknya Budhemu.”
“Lho… Pakdhe kok nggak ngantor ?”
“Aku sudah pensiun, Lhe. Hampir lima bulan ini.”
“Oo…..” kata Sukri sambil gerak-gerakkan kepalanya.
Kemudian Pak Ponidi ikut rembuk di ruang tamu. Perut semakin keroncongan, semua di suruh Sayem masuk ke ruang makan.
“Ayo Lhe, makan dulu. Tapi seadanya, kamu akan kesini ngak ngabari dulu sih. Athuka Pakdhemu rak mbeleh Untho,” kata Bu Ponidi sambil bercanda.
Budi duluan nyendok, dari tadi perutnya belum kemasukan apa-apa. Poimin kelihatan rikuh, kalau di rumah ngak ngak pernah makan seperti ini, pakai garbu dan sendok. Rasanya khas, Poimin belum pernah merasakan sebelumnya.
“Ayo, nggak usah malu-malu. Seperti mas itu itu lho, Lhe…” Pak Ponidi mempersilahkan Poimin yang agak malu-malu kucing.
“Boy, Pak. Bukan Lhe… “ Budi nanggapi pembicaraan ayahnya yang belum selesai ngomong. Poimin merunduk, tidak bicara, meneruskan makan. Tanpa sengaja melirik piringnya Pak Ponidi dengan perasaan kagum, piringnya sudah bersih, sendok dan garbunya sudah digulingkan, kok belum pergi dari tempat duduk ? menoleh, Mas Budi juga sama saja. Setelah semua selesai, Pak Ponidi duluan berdiri. Kemudian kembali ke ruang tamu, di susul oleh yang lain.
“Apa kalian tadi sudah Sholat ?”
“Sudah, Pakdhe. Ikut berjamaah di Mushola sebelah.”
“Kalau begitu aku Sholat duluan. Ayo, Bud..!” yang di ajak bergegas melangkah.
Suasana ruang tamu kelihatan sepi. Tidak ada yang bicara. Poimin dan Sukri sudah merasa capek dan ngantuk.

IV
Cleaning Service

Berkat Pak Ponidi, Sukri dan Poimin di terima bekerja di kebun binatang. Menjadi tukang kebun, pekerjaan yang tidak diduga sebelumnya. Cari pekerjaan zaman sekarang memang sulit, terpaksa kedua anak tersebut harus melakukannya. Pak Ponidi juga pernah mengatakan,”Sabar dulu, ini cuma sementara, Min. Tidak usah khawatir kamukan punya ijazah SMA.”
Hari demi hari pekerjaan terasa berat bagi Sukri, karena selama di kampung belum pernah melakukan aktifitas seberat itu. Hatinya sering gerundel,”Kalau sebelumnya tau bekerja seperti ini, aku ngak bakalan kesini, Min. Mending di rumah saja. Ini penindasan namanya, gajinya tidak seberapa, beratnya pasti.”
“Kri, yang punya idekan kamu sendiri. Kalau kamu pingin cari pekerjaan lain, ya sering-sering baca surat kabar atau buka usaha sendiri, itu lebih baik dan produktif.”
“Iya, ide bagus. Aku sudah bosan bekerja seperti ini. Kita cari yang lain aja. Bayangkan, Min, kalau kita terus-terusan disini. Pada saat nyapu-nyapu terus ketemu tetangga, saudara, dan teman-teman atau guru kita dulu. Apa nggak malu ?”
Poimin diam sebentar, memikirkan nasib yang sedang dijalaninya. Masak tamatan SMA jurusan IPA dari sekolah faforit kok sekarang bekerja seperti ini. Ah, seandainya orang tuaku punya biaya, aku pasti akan meneruskan keperguruan tinggi.
Angan-angan itu tiba-tiba kabur, setelah dia kejatuhan buahnya pohon termbesi. Poimin kaget jingkat, kembali lagi ke dunia nyata.
Lagit tadi pagi kelihatan cerah, tapi sekarang kok ditutupi awan mendung !. keadaan semakin panas gerah, ditambah lagi ngak ada desingan angin lewat. Pepohonan semua terdiam. Pada saat itu Poimin dan Sukri istirahat untuk sholat Dhuhur kemudian melanjutkan lagi nyapu di depan kandang monyet. Tidak diduga, tiba-tiba ada orang perempuan berteriak, “Tolong…Tolong…Copet…Copet…” Suara itu diikuti anak muda berlarian sambil membawa tas, yang menuju kearah Poimin dan Sukri. Poimin siaga, setelah penjambret mendekat kearah Poimin, segera dia melompat menghadangnya. Si jambret kaget sebentar, tiba-tiba dia mengeluarkan clurit.
“Minggir ! kamu mau daftar mati ?!” tanya bengis dengan membentak.
Poimin tidak takut sama sekali, dia juga pernah ikut latihan beladiri di mushola Mbah Dhemo. Sapu di pegang erat-erat, siap ditonjokkan kearah bengis, cras…cras...Sabetan clurit mbabat sapu. Potongan ujung sapu berserakan di bawah.
Doanya Poimin sudah terbukti. Potongan ujung sapu mengenai matanya jambret, dengan rasa terpaksa memejamkan mata. Di susul Poimin meletakkan tongkak kakinya di atas dada si jambret. Sampai orang tersebut ketakutan, tidak sadarkan diri. Puluhan kepalan tangan bergerombol dari arah belakang datang menghampiri bengir.
Puluhan kepalan mulai berhenti beraksi ketika Satpam datang. Si bengir dengan muka merah-menjarah, disiram air oleh Satpam, kemudian baru bisa sadarkan diri. “Bunuh aj… Bakar !” terdengar suara dari belakang.
Ketiga Satpam kemudian tanggap untuk membawa ke pos pengamanan. Puluhan kepalan tangan mulai bubar, tinggal Poimin, Sukri, dan pemilik tas yang masih di tempat. Wajah manis itu masih menampakkan rasa pucat, kedua tangannya memegang erat tas yang hampir hilang tadi.
“Kamu yang punya tas itu tadi, Mbak ?” Poimin datang bertanya. Dia lebih akrab bergaul dengan cewek dibanding Sukri yang kebanyakan temannya cowok.
“Iya, terimakasih. Untung tadi ada kalian. Apabila tidak ada, pasti sudah melayang,” jawabannya lirih.
“Sebenernya itu tadi tidak sengaja kok, pas lagi nyapu-nyapu,” kata Poimin.
“Jadi kamu bekerja ditempat ini, ya ?”
“Ya, Cleaning Service.”
“Tidak apa, yang penting halal,” Perempuan tadi merogoh tasnya, mengambil dompet, memberikan hadiah Poimin. ”Jangan tersinggung, Mas, sedikit uang ini buat tanda terima kasih saya.”
Cewek itu maju satu langkah, Poimin mundur dua langkah, “Nggak, Mbak. Waupun kamu paksa, aku tetap ngak mau menerima,” kata Poimin agak sereng.
“Ya sudah, kalau nggak mau menerima. Tapi, Mas maukan menerima ucapan terimakasihku ?” si cewek memaksa. Dengan rasa terpaksa Poimin manthuk. “Sekarang gini, Mas, ini kartu namaku, kalau pingin kamu simpan aja. Kalau kamu bosan disini, langsung aja datang kerumahku, mungkin papaku bisa membantu,” katanya sambil memberikan kartu nama.
Poimin menerima, langsung dimasukkan ke dalam sakunya. “Oya, Mas, nama kamu siapa ?”
“Poimin, kamu bisa panggil Boy,” kata Poimin.
Mendung putih di langit berubah menjadi klawu petang. Kebun binatang sudah mulai kelihatan sepi
“Kamu kok nggak ngomong sama sekali, Kri ?” tanya Poimin sambil mendekat melihat Sukri yang lagi nyapu.
“Males, Boy. Itukan garapanmu. Eh, itu tadi orang Jawa atau Cina ?”
“Orang Jawa kali. Di lihat dari kuluitnya sama seperti kita, sawo matang.”
“Tapi matanya…! Coba kamu lihat kartu nama yang ada dalam sakumu ! biar jelas,” Poimin merogoh sakunya.
“Ya ini, namanya Susanti, masak dia orang Cina !”
“Boy, nama tidak bisa menjadi patokan. Contoh teman SMA-mu Pare, namanya Cik Gemi, Koh Waras. Gimana kalau seperti itu ?”
Orang jadi pembicaraan sudah pergi. Poimin semakin bingung, beranggapan kalau susanti orang Jawa tulen.
“Tapi nggak tau juga Boy, orang Jawa apa Tionghoa, yang penting anak itu manis,” kata Sukri.
“Kamu naksir ya ? ini alamatnya, Darmo kawasan elit. Eh, kamu nggak salah lihat, masak seperti itu kamu bilang manis !”
Sukri mengalihkan pandangan, cuma sebentar. “Terus, kalau menurutmu ?”
“Kalau menurutku, nggak cuma manis, tapi manis buanget, ada tambahan bangetnya biar mantap.”
Keduanya tertawa terbahak-bahak, sudah lupa dengan sapu, cikrak, dan sampah yang belum dibawa pergi itu.
“Menurutku, Kri, yang lebih penting lagi, dia bilang, kalau kamu ngak betah kerja disini, kamu datang aja kerumahku. Siapa tau sana bisa mencarikan pekerjaan yang lebih enak.”
“Lha terus aku ! kamu tinggal sendirian disini dengan monyet-monyet itu ?”
“Ya ngak lah, pasti kuajak sekalian. Sebaya mukti, sebaya pati,” kata Poimin.
“Sungguh ya ? kalau ngak, Tumini aku beritau kalau kamu selingkuh dengan orang Tiongkok. Tetap yakin aku, kalau Susanti itu orang Cina, kalau memanggil ayahnya aja papa.”
Air hujan mulai turun deras. Kedua anak tersebut berlarian sambil membawa sapu dan cikrak.
Lewat tengah malam, rumah di kawasan Bumiharjo sudah tertutup semua. Pak Ponidi sudah masuk kamar sejak jam sembilan tadi. Budi belum pulang, masih manggung musik di Café. Poimin dan Sukri belum bisa tidur, masih membicarakan cewek yang ditemui di tempat kerjanya. Tidak masalah cantik dan manisnya, tapi masalah pekerjaan yang ditawarkan.
“Gini lho, Kri, aku sebenarnya ingin cari pekerjaan yang lebih enak. Otomatis kita harus pindah dari sini. Kursus gitar dan keyboard gimana, sayang, mumpung ini gratis.”
“Apa kita harus pindah dari sini, kalau dapat pekerjaan baru ? aku yakin Pakde, Budhe, dan Mas Budi ngak keberatan kalau kita tetap tinggal disini.”
“Itu kalau dekat. Apabila jauh ?” tanya Poimin.
“Jadi kamu nggak pingin merubah nasib ? kalau menurutku, Boy, perkara keyboard itu gampang, yang penting cari pekerjaan dulu,” Sukri memberikan semangat.
“Kalau kamu tetap nekat ya terserah, Kri, aku bersabar dulu bekerja disini. Tapi ingat, yang ditawari tadi aku, bukan kamu.”
Sukri diam. Perkataan Poimin mirip pertandingan catur skak mat. ”Aku tadi cuma mengusulkan, kalau mau. Tapi kalau nggak juga tidak apa,” nada omongannya Sukri semakin rendah. Mau ke rumah Susanti sendirian ya percuma, dia ngak kenal sama aku. Merasa menyesal, ngapain dulu ngak kuajak kenalan.
Poimin cuma diam, sambil ngedip-ngedipkan matanya, ada sesuatu yang dipikirkan. Keduanya njengkirat kaget, ketika terdengar suara pintu depan di buka. Jarak sebentar terdengar mesin mobil, suaranya semakin lama semakin menjauh. Poimin dan Sukri sudah hapal betul, itu pasti Mas Budi baru pulang dari manggung. Setiap manggung ya seperti itu, ngak mau bawa mobil pribadi. Selalu numpang temannya, lebih praktis.
Poimin duluan keluar dari kamarnya, sambil disusul Sukri yang ote-ote.”Ada apa, sudah malam kok belum tidur ? gerah, ya ?” orang yang barusan datang bertanya dengan membawa tas plastik.
“Panas, Mas. Padahal sore tadi hujan deras.”
“Kalau nggak panas itu bukan Surabaya namanya. Itu ada nasi goreng dan mie di tas plastik, silahkan di makan.”
Poimin berpikir-pikir orang sini jarang mau menanam pohon, polusi udara semakin parah, tiap tahun langganan banjir, hawa terasa sangat panas. Kok ngak seperti di kampung ya ?. padahal bisa juga menanam pohon di sekitar rumah, samping jalan, tanah-tanah kosong. Reboisasi adalah jalan terbaik Apa kata anak cucu kita nanti, kalau keadaannya seperti ini terus. Kita harus bangkit. Poimin kelur dari lamunannya, ketika Sukri mengajak makan. Tas plastik di buka Sukri, terdengar kremesek. Tidak salah kalau orang Ngoro mengatakan tas beribut, tas yang bikin suara ribut. Dengan rasa kurang sabar, tas itu langsung di sobek.
“Milih mie atau nasi goreng, Min ?”
“Biasah nasi gereng dan mie,” jawaban Poimin.
Mie dan nasi gorengnya dibagi setengah-setengah. Budi menunggu sambil membaca buku sastra. “Nggak langsung tidur, Mas ? besokkan ada kuliah,” sapaan Sukri.
“Kuliahnya besok agak siang, jam sepuluh. Tolong besok bangunkan aku jam setengah enam. Biar ngak kehabisan waktu sholat subuh, lagian jam enam aku mau ke Sepanjang, ngambil gitar.”
Budi Pranoto kelihatannya keras, tapi baik dan taat beribadah. Dari kamar terdengar suara gitar pelan dan halus. Lagunya zaman Sepur Lempung “Visions” Cliff Ricard. Sudah kuno, namun banyak yang masih suka, lebih-lebih orang yang sudah masuk lansia. Poimin masuk kekamar Mas Budi, melihat suara klentingan gitar,” lagi keseret memory Mas, ya ?” tanya Poimin setelah berhenti lagunya.
“Memory apa, Dik ? tadi aku pas manggung ada yang minta lagu itu, memang lagu itu sudah lama, jarang-jarang terdengar. Apa kamu mau main ?” tanya Budi setelah suara sudah sepi.
“Udah males, Mas, aku mau tidur, ngantuk nich,” jawab Poimin sambil keluar dari pintu kamar. Sukri sudah tidak ada, duluan tidur. Jam menunjukkan pukul dua duapuluh.
Baru masuk kamar, tiba-tiba hujan sangat deras. Suara gitar sudah tidak terdengar lagi, mungkin Mas Budi sudah tidur. Suasana yang tadinya panas, sumuk, berubah terasa agak dingin. Tapi Sukri sudah tidur dalam kondisi ote-ote, nyamuk yang menggigit badannya sudah tidak di rasa lagi. Poimin segera mengejar temannya yang sudah duluan tidur.
Poimin duluan bangun ketika terdengar azan Subuh. Sukri masih ngorok di hoyong-hoyong sampai bangun, diajak sholat berjamaah ke mushola sebelah. Kelihatan masih ngantuk, tidurnya masih belum lama, tetap dipaksa untuk bangun. Rasa ngantuk hilang ketika setelah mudhu. Sukri bertambah semangat, pas melihat Pakdhe dan Budhenya juga sudah siap-siap mau berangkat ke mushola, walaupun kondisi di luar masih gerimis rintik-rintik.
“Masmu nggak kamu bangunkan sekalian, Min ?” Pak Ponidi tanya.
“Kasihan, Pakdhe, tadi malam jam dua masih belum tidur.”
“Wah, terus gimana ini ?” tanya Pak Ponidi dengan berjalan mengambil kunci di atas TV. “Payung cuma dua, yang satunya di bawa Yu Yem ke pasar.”
“Sudah Bude, nggak apa. Saya dan Poimin tidak pakai payung juga tidak apa-apa. Hujan ngak terlalu deras, kok !” orang berempat kemudian berangkat nyasak gerimis. Gang-gang masih kelihatan sepi, pintu-pintu masih tertutup rapat.
Keluar dari Mushola gerimis semakin deras. Pak Ponidi sudah duluan pulang. Poimin dan Sukri berjalan setengah lari dalam kondisi kehujanan. Jalan tetap sepi, seperti pas berangkat tadi. Mungkin kebawa hawa dingin, orang-orang jadi malas meninggalkan tempat tidurnya. Padahal biasanya jalan ngak seperti ini, jam-jam segini orang sudah jalan-jalan, berolahraga. Hujan ini tidak seperti biasanya, Jl Ciliwung dan Jl Kutai yang tanahnya agak rendah kebanjiran, tepat setengah ban mobil.
Dari pagi tadi sampai mau berangkat bekerja, Poimin dan Sukri kelihatan murung, tidak jelas apa yang menjadi permasalahan. Pakdhenya sedang membaca Koran di teras depan, kemudian tanya,“Sejak pagi tadi kok kelihatan murung ? sudah siang, cepat berangkat. Kalau takut hujan, bawa paying itu.”
“Itu Pakdhe…Jl Ciliwung banjir. Setengah ban mobil. Saya bingung harus lewat mana ?”
“Makanya jadi anak jangan di rumah melulu, jalan-jalan biar tau keadaan. Lewat sini, ketimur aja, tapi agak lama. Kalau seperti dulu masih enak, lewat belakang, tapi sekarang sudah ditutup tembok. Orang-orang sini dulu kalau mau masuk lebih gampang, langsung kebelakang, gratis lagi.”
“Apa nggak dijaga ?”
“Tapi itu kadang-kadang. Harus bagaimana lagi, seperti kampung sendiri. Penjaganya kebanyakan orang kampung sini.”
“Ya sudah Pakdhe, saya berangkat dulu,” kata Sukri yang bingung mau berangkat kerja.
Walapun berangkatnya agak kesiangan, namun tidak tergesa-gesa. Hari ini hari Minggu, jelas sepi nanti, ngak seperti biasanya, karena kondisinya masih gerimis. Awan gelap pekat masih menghiasi langit. Di tempat kerja kelihatan sepi, belum banyak yang datang. Loket-loket penjualan tiket masih tutup. Jam sebelas siang baru Matahari mulai memancarkan sinarnya, diikuti dengan rombongan bus masuk dalam parkiran. Setelah itu ada mobil yang masuk cuma satu dua. Sukri terasa sebal, bukan masalah sepi penonton, tapi masalah sampah dedaunan yang berserakan dimana-mana.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT, atas pertolongan dialah saya bisa seperti ini. Hanya padamulah saya bursujud. Dunia hanya sementara akhiratlah yang kekal abadi selama-lamanya. Saya sadar akan itu semua, setelah mati pasti ada kehidupan. Dari situlah amal dan perbuatan kita akan di pertanggung jawabkan. Dunia semakin kejam, hanya siksaanmulah yang lebih kejam. Dunia penting, akhiratlah yang lebih penting. Kedua-duanya harus seimbang. Marilah kita bisa sedikit belajar dari novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen. Semoga Allah menganpuni semua dosa Mbah Semaoen selama hidup di dunia dan menerima amal perbuatan yang telah dilakukan selama hidupnya (From Mojokerto-Jombang).


Ucapan yang kedua saya sampaikan kepada Bang Santoso, yang bersedia memberikan konsep dan dorongannya. Sehingga saya bisa mengoreksi diri akan kebodohan dan kekurangan saya. Belajar dan semangat adalah pesan yang disampaikannya, itu saya buat sebagai poin dalam pembelajaran saya. Trim Bang ya..


Ucapan yang ketiga kalinya saya sampaikan kepada Drs. Sunu Wasono. M.Hum, atas dukungan dan sedikit ilmu dari beliaulah saya bisa menulis novel, puisi, cerpen, dan esay. Walaupun dalam penulisan saya masih banyak banget yang keliru, tapi ini saya jadikan sebagai alat untuk pembelajaran dan sebagai jalan untuk mencapai cita-cita saya. Semangat dan bangkit adalah motto yang saya pakai.


Saya sadar kalau otak saya lemot dan bodoh, tlaten adalah sebagai celah dalam sebuah penulisan. Dengan jalan itulah semua akan terkonsep. Hal ini tidak luput dari motivasi yang Pak Sunu berikan kepada saya. Memang saya produk STKIP Jombang dan otak-otak anak STKIP, mungkin kalian bisa mengamati sendiri. Inilah kenyataan, sangat berbeda jauh apabila dihubungkan dengan kawan-kawan Universitas Indonesia yang bergelimpangan dengan fasilitas, begitu juga produk dosen-dosen situ! saya tidak bisa membayangkan atas itu semua. Jelas dan yakin banyak kawan-kawan yang akan berhasil setelah lulus dari situ.


Saya sempat iri akan itu semua, apalah guna. Semua itu tidak ada artinya sama sekali. Berusaha menurut kemampuan adalah jalan untuk kujadikan pintu. Sabar dan syukur yang harus saya tanamkan dalam hati. Memang kenyataanlah yang membuat itu semua.


Inlah diri, yang hanyut dalam diri, merana sendiri, meronta dalam hati. Suatu hal yang mustahil kalau otak saya disamakan dengan kawan-kawan Universitas Indonesia. Hanya keterbatasan materi, guru, dan fasilitas yang membuat diri seperti ini. Sedih dan tetesan air mata yang saya alami pada saat penulisa ini. Memang inilah aku, kenyataan diriku.


Pak Sunu maafkan saya ya…! tidak bisa membalas apa-apa, saya hanya berdoa kepada Allah semoga atas jasa dan kebaikan Pak Sunu lah bisa dijadikan butiran amal baik kelak diakhirat nanti. Spesial novel ini saya persembahkan buat Pak Sunu, inilah sedikit hasil dari ilmu dan motivasi yang Pak Sunu berikan kepada saya. Suatu hal yang tidak akan terkonsep menjadi sebuah karya sastra kalau tidak didukung oleh Pak Sunu.


Saya tau Pak Sunu orang lain, tapi atas saran dan motivasi yang anda berikan, saya beranggapan seperti bapakku sendiri. Tetesan air mata keluar yang kedua kalinya. Maaf…maaf…perasaanku sedih karena tidak bisa membalas atas kebaikan anda, yang selama ini selalu mengganggu dan merepotkan Pak Sunu….saya haus akan sebuah ilmu, saya tidak mau menjadi orang bodoh, yang gampang unuk dibodohi. Walaupun novel ini tidak bermutu dan tidak berkualitas, atau hanya sebagai sampah yang masuk ke emailnya Pak Sunu, kemampuan saya hanya sebatas ini Pak, sehingga menjadi hal yang wajar kalau tulisan saya amburadul(latihan) seperti ini. Saya berharap Pak Sunu mau membaca dan mengkritisi novel ini, baik dari segi tema, diksi, latar, tanda baca atau yang lainnya. Satu hal yang tidak saya inginkan, jangan mengkritisi novel ini karena kita sebagai kawan/lawan, kritisilah murni novel ini. Jangan memandag saya lumayan atau baru pertama kali, kalau jelek bilanglah jelek, kalau baik bilanglah baik, tapi harus disertai dengan argumen yang jelas. Saya tidak mau ada racun masuk yang tidak didasari alasan yang kongkrit.


Saya juga mengucapkan terimakasih banyak kepada Pak Yusuf(mungkin sekarang sudah berangkat menjadi dosen tamu di Tokyo), Bu zuriati(Dosen Unand Padang, sekarang S3 di UI), Pak Anung(UGM). Terimakasih atas bukunya, wawasan, dan dukungan yang engkau berikan. Saya tidak akan melupakannya jasa anda semua.


From:

Agus Prastyo/EROR 87

Lorong Bawah Tanah

Jombang, 19 Juni 1986

HP : Masih Troubel, mau difleskan

Status : Mahasiswa STKIP PGRI Jombang