BROSUR PMC Cell - Klik Gambar di Bawah Ini

BROSUR PMC Cell - Klik Gambar di Bawah Ini
PMC Cell - Master Pulsa Electric

Menggapai Kemuliaan Muslimah dengan Bimbingan Salaful Ummah

Minggu, 24 Juni 2007

opini-Potret Buram Kampus Para Praja

Potret Buram Kampus Para Praja


Oleh: DEWI HARIYATI, SE
Penulis adalah Pengajar di MA Darul Hikmah Diwek Jombang dan tergabung dalam Komunitas Penulis Jombang (KPJ) dan Kominutas Penulis Lesehan (KOPEL) Jombang


Perubahan nama kampus tidak mengubah perilaku. Kekerasan tetap menjadi tradisi yang dijaga. Dan, yang membuat publik jengkel, kematian demi kematian siswa di sekolah itu awalnya selalu ditutup-tutupi pihak kampus. Oleh karena itu, kita tidak boleh menunggu waktu terlalu lama. Nyawa manusia terlalu sayang untuk dikorbankan para ‘tukang jagal’ yang berkedok intelektual. IPDN harus dibubarkan. Kampus itu bisa untuk sekolah yang lebih bermanfaat bagi kebutuhan bangsa di masa depan.



Ada seorang anak yang kelihatan sakit-sakitan. Setelah sembuh dari panas, ia batuk. Kemudian sakit pilek, lalu sakit diare dan seterusnya. Sepertinya anak itu tidak lepas dari sakit yang dideritanya. Kemudian oleh sang ibu namanya diganti. Kata orang Jawa, ia tidak kuat membawa nama yang diberikannya.

Setelah diganti, anak tersebut tidak sakit-sakitan. Ia sehat dan dapat bermain-main dengan teman-teman sebayanya. Bahkan, ia tumbuh dewasa dan jadi anak yang cerdas dan pandai. Terlepas dari kebenaran, ia tidak sakit-sakitan setelah diganti namanya. Tapi hal itu nyata, dan sering terjadi di lingkungan sekitar kita.

Demikian juga dengan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Terlepas dari seperti yang terlukis dalam contoh di atas, yang pasti STPDN telah diubah namanya menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Sayangnya, setelah diganti nama agar tidak ‘trauma’ terhadap nama STPDN, ternyata IPDN tidak jauh lebih baik dari STPDN.

Keduanya sama-sama telah menelan korban jiwa. Sistem pendidikan ala militer yang diterapkan di IPDN, tanpa dibekali dengan pengetahuan kemiliteran. Akibatnya, mereka (kakak kelas, senior) saling hantam, saling pukul kepada adik kelasnya (yuniornya) seperti sasak (alat latihan tinju) yang siap dihantam bagian mana saja. Bahkan, di Media Indonesia Online (Senin, 09/4/2007) diungkapkan bahwa (ma’af) alat kelamin Cliff Muntu pecah. Tentu hal itu akibat kerasnya pukulan dari seniornya. Ini membuktikan, bahwa ‘hukuman’ itu tanpa dilatar-belakangi pengetahuan yang cukup, mana bagian tubuh yang membahayakan jiwa dan mana yang tidak.

Institut ‘Premanisme’ Dalam Negeri
Sebagai masyarakat, kita tentu prihatin terhadap kekerasan yang terjadi di IPDN. Pasalnya, di IPDN yang menciptakan tenaga-tenaga yang bekerja di pemerintahan itu, ternyata secara tidak langsung menciptakan pegawai-pegawai yang bermental ‘premanisme’. Bagaimana tidak, mereka yang berangkat dari warga sipil, sebagai pelayan masyarakat dan bukan untuk bertempur di medan perang, dilatih dengan kekerasan.

Tidak hanya itu, sesama pelajar diciptakan untuk saling beradu badan. Bagaimana hal itu bisa menciptakan tenaga-tenaga yang profesional. Bisa jadi yang terjadi nantinya bermental korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) seperti yang terjadi saat ini.

Pendidikan sekelas IPDN, tidak seharusnya dilakukan dengan kekerasan. Tapi ditanamkan cinta tanah air, anti KKN dan sejenisnya. Sehingga mereka kelak dapat membawa warga yang dipimpinnya menuju kesejahteraan, bukan sebaliknya. Jika hal itu terus terjadi, maka yang terjadi IPDN akan memunculkan alumni-alumni yang tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan preman.

Hal itu jelas sangat kontradiksi dengan tujuan pendidikan nasional, serta tujuan IPDN yang diharapkan akan muncul pemimpin berwibawa dan disegani karena menghargai masyarakat, bukan karena arogansinya. Saat ini, masyarakat menganggap IPDN bukan lagi Institut Pemerintahan Dalam Negeri, tapi Institut ‘Premanisme’ Dalam Negeri.

Karena jika dilihat, tentu hal itu tidak dapat dipungkiri. Bagaimana sesama siswa IPDN saling pukul, yang tentunya secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkah lakunya dan akan terbawa saat mereka sudah diterjunkan ke masyarakat.

Tidak hanya itu, bahkan beredar berita yang menyebutkan di IPDN telah terjadi aktifitas free sex (seks bebas) di lingkungan praja. Terlepas berita miring itu benar atau tidak, seharusnya dari pihak institut seharusnya juga mengetahui hal itu. Jika hal itu benar, mau dibawa ke mana negara ini jika dipimpin oleh pemimpin yang tak bermoral.

Yang lebih mengherankan lagi, kasus Cliff Muntu, praja asal Manado. Aneh jika pihak institut tidak mengetahui kejadian itu. Kita semua tahu, jika ada kejadian di lingkungan sekolah, sedikit banyak pihak sekolah akan mengetahuinya. Apalagi tindakan kekerasan yang sudah diluar batas kemanusiaan. Manusia diperlakukan seperti hewan, ditinju dan ditendang. Namun sayangnya, mereka sepertinya tidak mau tahu. Hingga akhirnya seorang Cliff Muntu menjadi korban pertama yang ‘terekspos’, semenjak STPDN reinkarnasi menjadi IPDN.

Karena, semenjak ganti menjadi IPDN, media yang memberitakan berita miring tentang IPDN nyaris tidak ada sama sekali. Padahal, jika ditilik banyak yang tidak tahan kemudian tidak melanjutkan dan lebih memilih meninggalkan ‘predikat’ praja daripada menahan sakit yang teramat.

Satu hal yang sangat juga sangat mengherankan, negara yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, ternyata di IPDN hal itu ditepis. Ini terlihat dari adanya pembeda barak (asrama) yang dihuni masing-masing daerah. Di IPDN jelas terpampang nama-nama daerah asal praja di masing-masing asrama. Hal ini bisa jadi memicu kecemburuan sosial. Kenapa dalam IPDN penuh keganjilan?

Sejak tahun 1990, tercatat sebanyak 35 praja yang meninggal karena kekerasan oleh seniornya. Bahkan ada yang mengatakan data itu bisa membengkak, karena ada yang tidak terekspos.

Rekaman gambar yang ditayangkan di beberapa televisi, misalnya, memperlihatkan penganiayaan yang dilakukan senior pada para siswa juniornya secara bertubi-tubi, baik tendangan maupun pukulan. Yang membuat kita tak percaya, pukulan dan tendangan itu diarahkan berulang kali ke bagian-bagian tubuh yang mestinya dilindungi, misalnya bagian ulu hati.

Dalam rekaman itu terlihat jelas, mereka yang dihajar terhuyung-huyung dan mengaduh kesakitan, terus dihajar lagi. Sebagaimana layaknya rekaman, pastilah gambar itu bagian amat kecil dari apa yang sesungguhnya terjadi dalam keseharian kampus IPDN.

Yang mengherankan, kekerasan di sekolah yang dibiayai dengan uang rakyat itu tetap dibiarkan selama bertahun-tahun. Padahal, setelah kematian seorang siswa bernama Wahyu Hidayat pada 2003, pada 2004 STPDN berubah menjadi IPDN. Ini gabungan STPDN dengan Institut Ilmu Pemerintahan.

Meski kasus Cliff Muntu sudah di tangan pihak berwajib, dan sedikitnya enam praja dijadikan tersangka, namun hal itu belum menyelesaikan masalah. Bagaimana dengan pihak Rektor IPDN yang merupakan pemimpin di tempat tersebut? Seharusnya ia juga dimintai pertanggung-jawaban. Bagaimanapun juga, semenjak mereka (para praja) masuk ke IPDN, praktis rektor dan dosen menjadi ‘orang tua’ mereka. Sehingga pendidikan, kesehatan dan keperluan sehari-hari mereka juga menjadi perhatian institut. Tidak adil kiranya, kasus meninggalnya Cliff Muntu hanya dibebankan kepada tersangka saja.

Yang paling bertanggung jawab juga adalah pihak IPDN yang selama ini dipercaya untuk mendidik, sehingga mereka menjadi praja yang profesional dan cakap dikemudian hari. Jika tidak, bukan tidak mungkin akan terjadi lagi kasus Cliff-Cliff yang lainnya.***