Pitutur Mbok DaRmi Pilih! Koruptor atau Teroris
Oleh: Chaton Mochammad
Penulis adalah Alumni FE Univ. Darul 'Ulum Jombang, Koordinator Komunitas Penulis Lesehan (KOPEL) Jombang dan tergabung dalam Komunitas Penulis Jombang (KPJ)
Saat ini, sepertinya perburuan terhadap koruptor oleh aparat nyaris tidak dapat menyentuhnya. Salah satu contohnya kasus Edi Tanzil, yang hingga kini belum ada kabarnya. Sedangkan ‘atas nama’ teroris, sebagian besar ummat Islam ‘dicap’ sebagai teroris. Padahal, mereka juga menyadari ia sendiri juga ummat Islam. Akibatnya, semua ummat Islam diidentikkan dengan teroris. Sebenarnya jika diruntut, hal itu hanya menguntungkan negara barat yang tidak ingin Islam memiliki ‘tentara’ yang berani mati. Karena bagi mereka, ‘tentara’ berani mati (baca: Mujahiddin) merupakan ancaman bagi AS. Tapi sayangnya, kini ummat Islam yang diadu domba. Padahal, sejarah juga telah membuktikan bahwa Islam pada jaman penjajahan yang berada digaris terdepan.
SORE itu, hujan baru saja reda. Jalan-jalan masih terlihat basah. Di tengah desa yang nyaman dan terntram itu, tiba-tiba terusik dengan adanya kabar desa itu menjadi sarang teroris. Isu yang berkembang, teroris telah masuk ke desa tersebut, dan saat ini bersembunyi di salah satu tempat rumah warga.
“Teroris kok sembunyi….,” celetuk Cak Hasan yang saat itu mampir ngopi di warungnya Mbok Darmi.
“Teroris khan juga manusia. Mereka diburu karena dianggap sebagai biangnya kerusuhan diberbagai daerah,” saut Mbok Darmi sambil mengaduk kopi pesanan Cak Hasan.
“Tapi Kang… bagaimana dengan Amerika yang membombardir Irak, Afghanistan, dan kini mau menyerang Iran. Mereka khan lebih kejam, membunuh ribuan bahkan jutaan nyawa manusia. Apa itu bukan namanya mbahe teroris,” cerocos Mbok Darmi.
Cak Hasan menghisap rokok kreteknya dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Mbok Darmi. “Uuuppsh,” asap rokok dihembuskan kuat-kuat oleh Cak Hasan.
“Iya… tapi siapa yang berani dengan Amerika. Mungkin setelah Irak, Afghanistan, kemudian Indonesia,” kata Cak Hasan
“Ha…. Masak Kang,”
“Ya… iya lah… wong sekarang saja sudah tampak. Sesama warganya saja dibantai, bagaimana bisa mengamankan warganya dari negara lain. Yang dipemerintahan suka korupsi, yang diberi senjata dibuat nembak warga. Iyo toh Mbok?,” saut Cak Hasan.
“Nich Kang kopinya…,”
“Lalu gimana ya Kang?,”
“Gimana apanya?,”
“Ya negara Indonesia ini,”
“Walah-walah… sampean kok yo ono-ono wae melu mikir negoro. Negoro iku wis ono sing mikir,” kata Cak Hasan
“Tapi yo bener pean Mbok, piye nasibe awak dewe, yen tenan ada kejadian seperti di Irak,”
“Kalau pean jadi presiden, apa yang akan kamu lakukan Kang,” tanya Mbok Darmi terus-menerus.
“Ha…ha…ha… Pean kok yo ono wae sing ditakokne! Tapi yen aku jadi presiden, sing jarene diarani teroris iku tak rekrut jadi tentara. Dengan demikian akan memilki tentara yang siap tempur dan siap mati. Jadi kita juga akan disegani negara lainnya,” papar Cak Hasan.
“Bagus….bagus…..bagus…. Jadi warga sudah tidak lagi pusing dan khawatir. Semua dadi aman yo Kang,” ujar Mbok Darmi menimpali.
“Lha piye, yen nggunu khan kita juga disegani negara lain, dan juga dapat dibuat untuk menjaga wilayah Indonesia yang beberapa wilayah sudah ‘dicaplok’ negara tetangga,” paparnya sambil minum secangkir kopi.
Yang perlu dibasmi dan diberantas itu korupsi. Kalau teroris bisa dibina untuk angkatan bersenjata.
“Tapi kalau koruptor?,” balik Cak Hasan bertanya. Belum sempat hal itu dikomentari oleh Mbok Darmi, terlihat Kang Semprul bergabung di warung kopi itu.
“Piya kabare Cak? Suwe ra ketemu peno,” sapa Kang Semprul pada Cak Hasan.
“Apik wae Kang. Kok baru nongol? Dari mana saja Kang,”
“Ya tadi baru lihat televisi. Nonton berita, ben ra dicap nggak tau informasi,” timpal Kang Semprul.
Keduanya asyik ngobrol. Karena memang jika dua sahabat karib ini sudah ketemu, sampai malem pun mereka betah ngobrol. “Mbok kopi! Dan ini diisi lagi pisang gorengnya, sudah mau habis lho!,” pesan Kang Semprul.
“Iya… tunggu sebentar ya Kang,” jawab Mbok Darmi sambil mengambil cangkir dan mempersiapkan membuat kopi.
“Ini tadi ngobrol apa sama Mbok, Cak?,” tanya Kang Semprul pada Cak Hasan.
“Uupppsss…. Ini lho Cak, negara ini semakin tidak aman saja bagi warga negaranya sendiri. Lihat saja, di Pasuruan, warga ditembak. Padahal untuk membeli senjata itu khan uang rakyat juga. Kemudian ummat Islam dicap sebagai teroris. Sementara yang membawa uang rakyat miliaran rupiah dibiarkan tanpa kabar,” terang Cak Hasan seraya menghisap rokok dan menghembuskannya kuat-kuat.
“Nah… iya tadi juga petinggi TNI AL atau apa itu, saat di gedung DPR juga menolak untuk membawa tersangka penembakan diadili di pengadilan sipil,” tambah Kang Semprul yang juga tidak kalah heran.
“Wah… kalau begitu, ini namanya jeruk minum jeruk!,” seru Cak Hasan.
“Jeruk minum jeruk apanya?,” saut Markuat yang tiba-tiba datang tak diundang.
“Eh… Markuat! Tumben kok nggak ada suaranya sudah nongol kayak hantu,” seru mereka berdua nyaris bersamaan.
“Yo wis…. Assalamu’alaikum semuanya!,” ucap Markuat.
“????!!!!!!###$$$$$$,” dalam hati Cak Hasan dan Kang Semprul.
“Wa’alaikum salam!,” jawab Mbok Darmi.
“Lho kalian kok nggak jawab salamnya Markuat?,” tanya Mbok Darmi heran. “Dosa lho ngak jawab. Apalagi salam itu tadi khan juga do’a bagi kita,” sambungnya.
“Iya… tapi Mbok….?,” kata Cak Hasan tidak dilanjutkan.
“Tapi apa….? Apa takut dicap teroris gara-gara ngucap salam,” saut Mbok Darmi.
“Oh… itu… sudah-sudah nggak perlu dipanjanglebarkan. Kita nggak usah takut mengucapkan salam, memelihara jenggot atau apa yang mengidentikan Islam. Persoalannya, yang terpenting kita harus bisa menjelaskan bahwa Islam itu agama perdamaian, rahmatan lil alamin,” terang Markuat.
“Kita harus fanatik terhadap Islam. Kalau kita saja tidak fanatik terhadap agama Islam, lalu siapa yang akan fanatik? Apa orang yang akan fanatik, sementara orang Islam sendiri tidak fanatik,” ujar Markuat.
“Lihat akibatnya, negara Indonesia ini khan negara berlandaskan Pancasila. Menjunjung tinggi kebebasan beragama. Malah yang ini lain lagi, di Manokwari, Papua ada Raperda yang menjadikan Manokwari sebagai Kota “Injil”. Tapi apa action dari pemerintah pusat?,” tanya Markuat.
“Na’udzubillahimindzalik…. Masak Mar?,” tanya Cak Hasan nggak percaya.
“Wah kamu… memang media tidak banyak yang nulis. Itu aja aku tahu dari internet, dan ternyata memang ada,” terang Markuat.
“Memang ndunyo wis tuwo…. Itu khan salah satu tanda-tanda kiamat. Mari kita melakukan tobat nasional dengan tobat yang sebenarnya,” ajak Mbok Darmi yang diamini pengunjung warungnya. ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar