Menggapai Kemuliaan Muslimah dengan Bimbingan Salaful Ummah
Rabu, 30 Juli 2008
Malaysia Rampok Khasanah Kebudayaan Indonesia
Oleh: Dewi Hariyati SE
Penulis adalah alumnus Undar Jombang dan Pengajar di SMK Al-Asy’ari Keras, Diwek Jombang dan anggota KPJ.
Meski, kata sebegian besar orang, Indonesia dan Malaysia serumpun, bahkan pernah membuat tayangan bersama dalam sebuah televisi, ternyata semua hanya kamuflase. Malaysia memanfaatkan ‘keluguan’ Indonesia untuk mengambil ‘kehormatan’-nya dengan mengklaim berbagai kesenian milik Indonesia.
Rumput di halaman tetangga lebih sedap dipandang, daripada rumput di pekarangan rumah sendiri. Itulah yang dilakukan negara yang tak punya malu, Malaysia. Setelah mengklaim Batik dan beberapa lagu seperti Rasa Sayange sebagai hasil ciptaan dari negeri Jiran, kini kesenian Reog Ponorogo pun diklaimnya sebagai rumpun kesenian Melayu.
Perseteruan antara Malaysia dan Indonesia sepertinya sengaja diciptakan oleh Malaysia. Setelah masalah TKI dan pemukulan wasit, kemudian masalah perbatasan negara yang berpindah tempat, serta hilangnya beberapa pulau yang dimiliki Indonesia. Kini berbagai khasanah kebudayaan Indonesia, satu-persatu diakuinya. Sebenarnya tidak hanya Malaysia, Singapura pun juga pernah mengklaim Batik sebagai ciptaan negara ini.
Menurut pengakuan dari Malaysia yang dilansir beberapa media menyatakan, bahwa kesenian Reog tumbuh subur di dua wilayah negeri Jiran, yaitu Batu Pahat, Johor dan Negeri Selangor.
Awal kasus ini mencuat, tatkala dari pihak Malaysia beberapa hari belakangan ini di internet melalui web site Kementrian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Pemerintah Malaysia muncul gambar-gambar barongan yang mirip Reog Ponorogo dengan tulisan Malaysia pada Dadak Merak.
Di samping gambar-gambar tersebut juga muncul keterangan mengenai asal-usul seni Barongan di Malaysia. Seni tersebut, oleh Pemerintah Malaysia diakui sebagai rumpun kesenian Melayu dan tumbuh subur di dua wilayah yaitu Batu Pahat, Johor dan Negeri Selangor. Menurut keterangan dalam web site itu, digambarkan adanya hewan-hewan, termasuk merak dan harimau, yang sedang bercakap-cakap dengan Nabi Sulaiman AS.
Hal itulah yang mematik kemarahan bangsa Indonesia, terutama masyarakat Ponorogo. Pasalnya, jelas di Indonesia kesenian Reog diakui dari Ponorogo. Akibatnya, warga bumi Reog itu pun menentang keras klaim Malaysia tersebut. bahkan, dalam aksinya, mereka sempat membakar dan memakan abu dari bendera Malaysia itu. Protes itu tentunya sangat beralasan, karena selama ini yang dilakukan pemerintah tidak ada penyelesaian secara konkrit.
TAK PUNYA MALU
Sebagai bangsa yang berani menentang berbagai kebijakan Amerika, tentunya Malaysia malu dengan tindakannya mengklaim berbagai kebudayaan yang bukan miliknya. Apalagi hanya merubah atau diplesetkan sedikit, seperti halnya dengan lagu Rasa sayange yang dilagukan menjadi Rasa Sayang he.
Ditambah lagi, sebagaimana ditulis di Radar Minggu News edisi 40-V, 26 November – 02 Desember 2007, bahwa Seni Tari Reog Ponorogo telah memiliki hak cipta dan sudah didaftarkan ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum HAM) Republik Indonesia. Bahkan sudah memperoleh Surat Pendaftaran Ciptaan Bernomor 026377, tertanggal 11 Pebruari 2004.
Hal itu membuktikan, bahwa kesenian itu telah diakui hak cipta yang berlaku selama lima puluh tahun sejak pertama kali diumumkan pada 1 Desember 2005 lalu, dan Ponorogo merupakan pemilik seni Reog itu. Dengan surat itu, tentunya kedudukan Ponorogo sebagai pemilik kesenian khas itu semakin kuat.
Dengan surat itu pula, seharusnya Indonesia berani mengungkapkan fakta sebenarnya. Sehingga ke depan, Indonesia tidak selalu menerima kekalahan dalam setiap persoalan yang terjadi antar negara. Karena kita tahu, Indonesia lemah terhadap perlindungan berbagai kekayaan yang dimilikinya. Bahkan soal TKI saja, Indonesia tidak dapat berbuat banyak.
Untuk itu, berbagai kejadian dari kasus Batik, Lagu Rasa Sayange dan Reog Ponorogo ini, sudah saatnya Indonesia introspeksi diri. Sudah saatnya kembali memunculkan rasa nasionalisme terhadap bangsa dan negara yang mulai pudar. Hal ini untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan warisan bangsa.
Yang lebih memprihatinkan lagi, saat ini siswa sekolah dasar saja lebih hafal lagu Ketahuan-nya Matta Band daripada lagu Gambang Suling, Ampar-Ampar Pisang dan lainnya. Ini sangat mengkhawatirkan sekali. Untuk itu perlu dikaji ulang sistem pendidikan di sekolah yang sudah mulai menghilangkan nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme, dan jiwa kepahlawanan. Bukan tidak mungkin, lima atau sepuluh tahun ke depan, siswa sudah tidak lagi tahu lagu-lagu nasional dan daerah.
Tidak hanya itu saja, huruf Jawa, yang lebih dikenal honocoroko, juga akan diklaim Negeri “Rampok” Jiran Malaysia. Sebelum terlambat, sebaiknya ’diamankan’ dan dikenalkan pada pelajar yang kian jauh dari kebudayaan sendiri. Jadi jangan heran, kesenian bangsa Indonesia asing dinegeri sendiri. Hal ini terlihat, bagaimana orang barat menikmati wayang kulit, tari Jawa dan sebagainya. Kemudian mereka mengembangkan di negaranya. Kalau sudah demikian, jangan kaget jika kemudian mereka mengklaimnya setelah melalui ‘polesan’ sedikit di sana. Nah lho! Kalau sudah demikian, kebakaran jenggot lagi Indonesia.
ASAL-USUL REOG
Di tengah ‘konflik’ tentang asal-usul dan kepemilikan Reyog Ponorogo, Pemerintah Kabupaten Ponorogo sebagai pemilik ‘sah‘ kesenian adilihung, dalam buku Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo Dalam Pentas Budaya Bangsa yang diterbitkan pada 1 Agustus 1993, jelas tergambar bagaimana seni reog lahir.
Buku yang diterbitkan era Bupati Gatot Sumani itu, menyebutkan Reog Ponorogo yang semula disebut Barongan sebagai satire atau sindiran dari Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam terhadap Majapahit, Prabu Brawijaya V yang bergelar Bhree Kertabumi. Terwujudnya barongan merupakan sindiran kepada raja yang sedang berkuasa yang belum melaksanakan tugas-tugas kerajaan secara tertib, adil dan memadai. Sebab, kekuasaan raja dikuasai atau dipengaruhi bahkan dikendalikan oleh permaisurinya.
Budaya rikuh pakewuh sangat kuat dibenak masyarakat untuk mengingatkan atasannya. Oleh karena itu metode sindiran merupakan salah satu cara untuk mengingatkan atasannya secara halus. Menurut buku yang dirumuskan oleh tim yang berjumlah 10 orang ini, juga tertulis pola pendekatan dengan bahasa seni adalah merupakan media efektif dan efisien yang hasilnya akan berdampak positif penuh pengertian mendalam.
Ki Ageng Suryongalam menyadari, sebagai bawahan tidak dapat berbuat banyak. Maka alternatif lain yang ditempuh terpaksa memperkuat dirinya dengan pasukan perang yang terlatih berikut waroknya dengan berbagai ilmu kanuragan.
Berawal dari cerita inilah asal-usul Reog Ponorogo dalam wujud seperangkat merak dan jathilan sebagai manifestasi sindiran kepada Raja Majapahit. Raja dikiaskan sebagai harimau yang ditunggangi oleh merak sebagai lambang permaisuri (yang menguasai suami).
Perkembangan seni reog waktu itu terus bertahan dan berkembang. Yang awalnya sebagai media untuk mensindir raja, akhirnya berkembang sebagai media komunkasi langsung kepada masyarakat. Pada masa kekuasaan Batoro Katong oleh KI Ageng Mirah (pendamping setia Batoro katong), dipandang perlu tetap melestarikan barongan tersebut sebagai alat pemersatu dan pengumpul masa yang efektif. Sekaligus sebagai media infomrasi dan komunikasi langsung kepada masyarakat.
Dengan daya cipta dan rekayasa yang tepat Ki Ageng Mirah membuat cerita legendaris, yaitu terciptanya kerajaan Bantarangin dengan rajanya Klana Sewandono yang sedang kasmarana (Klana Wuyung). Hasil daya cipta Ki Ageng Mirah ini berkembang di masyarakat Ponorogo dan diyakini hingga kini cerita itu benar-benar terjadi. Bahkan diyakini, bekas kerajaan Bantarngin ini masih tetap ada yang berlokasi di wilayah Somoroto, Kecamatan Kauman.
Keberhasilan Batoro Katong dalam mengamankan wilayah kerajaan Majapahit, khususnya Kadipaten Ponorogo dan berhasil pula menyiarkan agama Islam secara damai, maka dalam dadak merak ditambah satu tetenger (tanda) dengan seuntai merjan (tasbih). Menurut bupati pertama Ponorogo itu, kata Reyog berasal dari kata Riyoqun yang maknanya berarti Khusnul Khotimah. Menurutnya, walau pun seluruh perjalanan hidup manusia dilumuri dengan berbagai dosa dan noda, bilaman sadar dan beriman akhirnya bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kemunculan kembali seni yang penuh dengan batiniah dilapisi unsur magis ini, terjadi setelah Indoensia merdeka, 17 Agustus 1945. Namun sayangnya, karena dijadikan sebagai alat organisasi politik pada masa itu. Maka akhirnya muncullah beberapa perkumpulan reog Ponorogo seperti BREN (Barisan Reyog Nasional), BRP (Barisan Reyog Ponorogo), CAKRA (Cabang Kesenian Reyog Agama), KRIS (Kesenaian Reyog Islam) dan sebagaianya. Untuk membendung kekuatan Reyog PKI pada saat itu, muncullah seni Gajah-gajahan dan Unta-untaan yang terjadi pada masa puncak kejayaan Nasakom. Di mana waktu itu PKI mendominasi seni ini dengan barisan Reyog Ponorogo-nya. Baru setelah PKI dibubarkan kesenian Reyog Ponorogo muncul kembali dan mulai dibina secara utuh dan terarah oleh Pemerintah Orde Baru.
Untuk menggambarkan perjalanan sejarah Ponorogo termasuk seni reyognya, setiap tahun Pemerintah Kabupaten Ponorogo menggelar ritual Kilasan Sejarah Pemkab Ponorogo. Dalam kilasan sejarah yang diaktualisasikan melalaui pawai dari kota lama ke kota baru ini, seni reyog lengkap dari seluruh pelosok wilayah Ponorogo dan gajah-gajahan selalu ditampilkan. Sedangkan untuk melestarikan keberadaan seni reog sendiri, setiap tahun juga digelar Festival Reyog Nasional dan Reog Mini. *** [dimuat di Harian Duta Masyarakat]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar