Jangan Adu Rakyatku!
‘Pesta Demokrasi’ di Indonesia sudah mulai dilakukan dalam memilih calon-calon pemimpin. Jika sebelumnya hanya untuk memilih pemimpin tingkat desa (baca: kepala desa). Pasca 1998, pemilihan presiden pun langsung dipilih oleh rakyat. Kemudian secara berturut-turut pemilihan gubernur dan bupati. Semua dikemas dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung atau lebih dikenal dengan Pilkadal.
NAMUN semua itu sangat disayangkan oleh Mbok Darmi yang setia menjaga warung kopi di pojok kampung desanya. Sambil menunggu pembeli yang mampir ke warungnya, ia merenung di kursi panjang di dalam warungnya. Ia ngeri melihat tayangan aksi massa yang beringas menuntut pemilihan ulang, atau bentrok antar pendukung calon.
“Rakyat yang berjuang mempertahankan pilihannya, sementara yang dipilih enak-enakan duduk dan bercanda dengan relasinya. Kok bisa mereka mengadu warganya yang menjadi pendukung dirinya,” pikir Mbok Darmi dalam lamunannya.
Ia terus berkhayal, hingga pikirannya melayang tak karuan. Bahkan dalam pikirannya juga terbersit seandainya rakyat semua boikot tidak mau memilih, apakah mereka dapat menjadi pemimpin. “Seandainya rakyat berontak, karena di tempat lain terjadi pergolakan akibat hasil Pilkadal. Kemudian rakyat diam, tidak merespon karena khawatir terjadi pula di tempatnya. Apa yang akan terjadi?,” ia terus berpikir seorang diri.
Tiba-tiba ia dikejutkan suara seseorang di luar yang mengucapkan salam. “Assalamu’alaikum,” ucap orang itu membuyarkan lamunan Mbok Darmi.
“Eh... Waalaikumsalam,” jawab Mbok Darmi agak terkejut.
“Oh.... kamu toh Cak. Kaget aku!,” lanjutnya.
Ternyata yang datang sore itu Cak Hasan yang senantiasa mengunjungi warung Mbok Darmi untuk memesan secangkir kopi dan melahap hidangan ala kadarnya, seperti pisang goreng atau ketela goreng.
“Kenapa Mbok, kok seperti orang melamun?,” tanyanya.
”Nggak kok Cak. Tumben sendirian, teman-temannya kok nggak ikut?”
“Itu masih di masjid, baru aja turun dari Sholat Isya’. Mereka masih ngobrol dengan orang-orang di sana. Kopinya Mbok,”
”Iya tak buatkan bentar ya....!,”
”Uuuupsh!!! Aaaach! Tadi aku perhatikan si Mbok ngelamun sambil ngelihatin TV, emang ada apa Mbok?,” tanya Cak Hasan.
”Ach... enggak kok. Cuma itu lho, si mbok ngeri melihat berita perkelahian antar pendukung setelah pemilihan kepala daerah. Banyak yang terluka, beberapa bangunan juga dibakar,” kata Mbok Darmi.
”Oooohhh itu toh! Ya itu di Indonesia. Tidak bisa menghargai demokrasi. Reformasi pun akhirnya menjadi repot nasi dan repot BBM. Seharusnya siapa yang mencalonkan diri dalam pilkada itu harus bisa menerima kalah dan menang. Dan yang lebih penting lagi, mereka harus bisa mengendalikan pendukung dan simpatisannya,” ujar Cak Hasan lagaknya seperti seorang politikus gaek.
”Itu yang seharusnya dilakukan. Daripada rakyat jadi korban dengan dilaksanakan pilkadal, lebih baik dikembalikan saja seperti dulu. Pemimpin dipilih oleh anggota Dewan, dari pada rakyat diadu sama rakyat. Bahkan sesama tetangga, karena beda pilihan, tidak akur. Gini kok dinamakan demokrasi!,” seru Mbok Darmi seraya memberikan secangkir kopi pada Cak Hasan.
Cak Hasan dengan lahapnya menyantap pisang goreng dan ketela goreng yang ada di depannya. ”Nah itu persoalannya. Dikit-dikit atas nama demokrasi, dikit-dikit atas nama demokrasi. Atas nama demokrasi kok cuman sedikit. Akhirnya buka demokrasi yang ditegakkan, tapi democrazy alias gendeng, gila bin edan,” cetus Cak Hasan sekenanya.
”Lha iya... wong ngredam pasukannya saja tidak bisa, kok mau mimpin orang se-kabupaten atau se-propinsi. Mau jadi apa nantinya tempat kita ini,” keluh Mbok Darmi.
Sejenak kemudian terdengar suara salam dari luar.
”Assalamu’alaikum..........!!!,” ucap seseorang yang belum kelihatan batang hidungnya.
”Waalaikumsalam.......!!!! eh... Kang Brodin dan Markuat. Monggo silakan masuk, anggap saja rumah sendiri,” kata Cak Hasan dengan bergurau.
”Bisa aja Cak Hasan ini. Mbok pesen kopi dua ya....,” pesan Kang Brodin pada Mbok Darmi.
”Siap Bos! Bentar biar mendidih dulu airnya,” saut Mbok Darmi.
”Ini tadi diskusi apa Cak?,” tanya Markuat.
“Itu si Mbok, katanya ngeri melihat rakyat mulai beringas, sesama rakyat saling cakar-cakaran, petung-pentungan, dan tonjok-tonjokan. Persis seperti anak kecil yang nggak kebagian permen,” terang Cak Hasan pada Markuat.
”Iya Cak, aku juga heran. Bukannya menyebarkan kedamaian di muka bumi, eh.. malah meyebarkan permusuhan. Ini bisa bahaya,” celetuk Kang Brodin.
”Makanya itu, kita seharusnya lebih dewasa dalam menyikapi setiap pemilihan, baik bupati/walikota, gubernur, presiden dan pemilu legislatif. Kita rakyat ini sudah susah, kok ditambahi susah dengan perang ’saudara’ sesama warga. Emang kalau yang kita dukung jadi, trus mereka ingat kita apa?,” jelas Markuat yang otaknya mulai encer, tidak telmi (baca: telat mikir) seperti sebelumnya.
”Lha terus enaknya gimana?,” tanya Mbok Darmi yang dari tadi jadi pendengar setia.
”Ya kalau seperti ini terus, seharusnya pemerintah lebih bijaksana. Maksudnya, jika pemilihan secara langsung ternyata tidak membawa kemaslahatan (kebaikan) pada ummat, lebih baik dikembalikan seperti sebelumnya,” harap Markuat yang mulai kritis.
”Mar... Mar.... omonganmu seperti pengamat politik aja. Tapi memang bener apa yang dikatakan Markuat. Aku mendukungmu, Mar. Nanti tak SMS biar kamu menang,” saut Kang Brodin sekenanya.
”Emang kontes dangdut apa, kok pake’ SMS segala. Kamu ada-ada saja Kang..... Kang...!!,” kata Markuat sedikit sewot.
”Ha... ha... ha....,” semua menertawakan tingkah laku Markuat itu. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar