Menggapai Kemuliaan Muslimah dengan Bimbingan Salaful Ummah
Rabu, 30 Juli 2008
Malaysia Rampok Khasanah Kebudayaan Indonesia
Oleh: Dewi Hariyati SE
Penulis adalah alumnus Undar Jombang dan Pengajar di SMK Al-Asy’ari Keras, Diwek Jombang dan anggota KPJ.
Meski, kata sebegian besar orang, Indonesia dan Malaysia serumpun, bahkan pernah membuat tayangan bersama dalam sebuah televisi, ternyata semua hanya kamuflase. Malaysia memanfaatkan ‘keluguan’ Indonesia untuk mengambil ‘kehormatan’-nya dengan mengklaim berbagai kesenian milik Indonesia.
Rumput di halaman tetangga lebih sedap dipandang, daripada rumput di pekarangan rumah sendiri. Itulah yang dilakukan negara yang tak punya malu, Malaysia. Setelah mengklaim Batik dan beberapa lagu seperti Rasa Sayange sebagai hasil ciptaan dari negeri Jiran, kini kesenian Reog Ponorogo pun diklaimnya sebagai rumpun kesenian Melayu.
Perseteruan antara Malaysia dan Indonesia sepertinya sengaja diciptakan oleh Malaysia. Setelah masalah TKI dan pemukulan wasit, kemudian masalah perbatasan negara yang berpindah tempat, serta hilangnya beberapa pulau yang dimiliki Indonesia. Kini berbagai khasanah kebudayaan Indonesia, satu-persatu diakuinya. Sebenarnya tidak hanya Malaysia, Singapura pun juga pernah mengklaim Batik sebagai ciptaan negara ini.
Menurut pengakuan dari Malaysia yang dilansir beberapa media menyatakan, bahwa kesenian Reog tumbuh subur di dua wilayah negeri Jiran, yaitu Batu Pahat, Johor dan Negeri Selangor.
Awal kasus ini mencuat, tatkala dari pihak Malaysia beberapa hari belakangan ini di internet melalui web site Kementrian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Pemerintah Malaysia muncul gambar-gambar barongan yang mirip Reog Ponorogo dengan tulisan Malaysia pada Dadak Merak.
Di samping gambar-gambar tersebut juga muncul keterangan mengenai asal-usul seni Barongan di Malaysia. Seni tersebut, oleh Pemerintah Malaysia diakui sebagai rumpun kesenian Melayu dan tumbuh subur di dua wilayah yaitu Batu Pahat, Johor dan Negeri Selangor. Menurut keterangan dalam web site itu, digambarkan adanya hewan-hewan, termasuk merak dan harimau, yang sedang bercakap-cakap dengan Nabi Sulaiman AS.
Hal itulah yang mematik kemarahan bangsa Indonesia, terutama masyarakat Ponorogo. Pasalnya, jelas di Indonesia kesenian Reog diakui dari Ponorogo. Akibatnya, warga bumi Reog itu pun menentang keras klaim Malaysia tersebut. bahkan, dalam aksinya, mereka sempat membakar dan memakan abu dari bendera Malaysia itu. Protes itu tentunya sangat beralasan, karena selama ini yang dilakukan pemerintah tidak ada penyelesaian secara konkrit.
TAK PUNYA MALU
Sebagai bangsa yang berani menentang berbagai kebijakan Amerika, tentunya Malaysia malu dengan tindakannya mengklaim berbagai kebudayaan yang bukan miliknya. Apalagi hanya merubah atau diplesetkan sedikit, seperti halnya dengan lagu Rasa sayange yang dilagukan menjadi Rasa Sayang he.
Ditambah lagi, sebagaimana ditulis di Radar Minggu News edisi 40-V, 26 November – 02 Desember 2007, bahwa Seni Tari Reog Ponorogo telah memiliki hak cipta dan sudah didaftarkan ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum HAM) Republik Indonesia. Bahkan sudah memperoleh Surat Pendaftaran Ciptaan Bernomor 026377, tertanggal 11 Pebruari 2004.
Hal itu membuktikan, bahwa kesenian itu telah diakui hak cipta yang berlaku selama lima puluh tahun sejak pertama kali diumumkan pada 1 Desember 2005 lalu, dan Ponorogo merupakan pemilik seni Reog itu. Dengan surat itu, tentunya kedudukan Ponorogo sebagai pemilik kesenian khas itu semakin kuat.
Dengan surat itu pula, seharusnya Indonesia berani mengungkapkan fakta sebenarnya. Sehingga ke depan, Indonesia tidak selalu menerima kekalahan dalam setiap persoalan yang terjadi antar negara. Karena kita tahu, Indonesia lemah terhadap perlindungan berbagai kekayaan yang dimilikinya. Bahkan soal TKI saja, Indonesia tidak dapat berbuat banyak.
Untuk itu, berbagai kejadian dari kasus Batik, Lagu Rasa Sayange dan Reog Ponorogo ini, sudah saatnya Indonesia introspeksi diri. Sudah saatnya kembali memunculkan rasa nasionalisme terhadap bangsa dan negara yang mulai pudar. Hal ini untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan warisan bangsa.
Yang lebih memprihatinkan lagi, saat ini siswa sekolah dasar saja lebih hafal lagu Ketahuan-nya Matta Band daripada lagu Gambang Suling, Ampar-Ampar Pisang dan lainnya. Ini sangat mengkhawatirkan sekali. Untuk itu perlu dikaji ulang sistem pendidikan di sekolah yang sudah mulai menghilangkan nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme, dan jiwa kepahlawanan. Bukan tidak mungkin, lima atau sepuluh tahun ke depan, siswa sudah tidak lagi tahu lagu-lagu nasional dan daerah.
Tidak hanya itu saja, huruf Jawa, yang lebih dikenal honocoroko, juga akan diklaim Negeri “Rampok” Jiran Malaysia. Sebelum terlambat, sebaiknya ’diamankan’ dan dikenalkan pada pelajar yang kian jauh dari kebudayaan sendiri. Jadi jangan heran, kesenian bangsa Indonesia asing dinegeri sendiri. Hal ini terlihat, bagaimana orang barat menikmati wayang kulit, tari Jawa dan sebagainya. Kemudian mereka mengembangkan di negaranya. Kalau sudah demikian, jangan kaget jika kemudian mereka mengklaimnya setelah melalui ‘polesan’ sedikit di sana. Nah lho! Kalau sudah demikian, kebakaran jenggot lagi Indonesia.
ASAL-USUL REOG
Di tengah ‘konflik’ tentang asal-usul dan kepemilikan Reyog Ponorogo, Pemerintah Kabupaten Ponorogo sebagai pemilik ‘sah‘ kesenian adilihung, dalam buku Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo Dalam Pentas Budaya Bangsa yang diterbitkan pada 1 Agustus 1993, jelas tergambar bagaimana seni reog lahir.
Buku yang diterbitkan era Bupati Gatot Sumani itu, menyebutkan Reog Ponorogo yang semula disebut Barongan sebagai satire atau sindiran dari Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam terhadap Majapahit, Prabu Brawijaya V yang bergelar Bhree Kertabumi. Terwujudnya barongan merupakan sindiran kepada raja yang sedang berkuasa yang belum melaksanakan tugas-tugas kerajaan secara tertib, adil dan memadai. Sebab, kekuasaan raja dikuasai atau dipengaruhi bahkan dikendalikan oleh permaisurinya.
Budaya rikuh pakewuh sangat kuat dibenak masyarakat untuk mengingatkan atasannya. Oleh karena itu metode sindiran merupakan salah satu cara untuk mengingatkan atasannya secara halus. Menurut buku yang dirumuskan oleh tim yang berjumlah 10 orang ini, juga tertulis pola pendekatan dengan bahasa seni adalah merupakan media efektif dan efisien yang hasilnya akan berdampak positif penuh pengertian mendalam.
Ki Ageng Suryongalam menyadari, sebagai bawahan tidak dapat berbuat banyak. Maka alternatif lain yang ditempuh terpaksa memperkuat dirinya dengan pasukan perang yang terlatih berikut waroknya dengan berbagai ilmu kanuragan.
Berawal dari cerita inilah asal-usul Reog Ponorogo dalam wujud seperangkat merak dan jathilan sebagai manifestasi sindiran kepada Raja Majapahit. Raja dikiaskan sebagai harimau yang ditunggangi oleh merak sebagai lambang permaisuri (yang menguasai suami).
Perkembangan seni reog waktu itu terus bertahan dan berkembang. Yang awalnya sebagai media untuk mensindir raja, akhirnya berkembang sebagai media komunkasi langsung kepada masyarakat. Pada masa kekuasaan Batoro Katong oleh KI Ageng Mirah (pendamping setia Batoro katong), dipandang perlu tetap melestarikan barongan tersebut sebagai alat pemersatu dan pengumpul masa yang efektif. Sekaligus sebagai media infomrasi dan komunikasi langsung kepada masyarakat.
Dengan daya cipta dan rekayasa yang tepat Ki Ageng Mirah membuat cerita legendaris, yaitu terciptanya kerajaan Bantarangin dengan rajanya Klana Sewandono yang sedang kasmarana (Klana Wuyung). Hasil daya cipta Ki Ageng Mirah ini berkembang di masyarakat Ponorogo dan diyakini hingga kini cerita itu benar-benar terjadi. Bahkan diyakini, bekas kerajaan Bantarngin ini masih tetap ada yang berlokasi di wilayah Somoroto, Kecamatan Kauman.
Keberhasilan Batoro Katong dalam mengamankan wilayah kerajaan Majapahit, khususnya Kadipaten Ponorogo dan berhasil pula menyiarkan agama Islam secara damai, maka dalam dadak merak ditambah satu tetenger (tanda) dengan seuntai merjan (tasbih). Menurut bupati pertama Ponorogo itu, kata Reyog berasal dari kata Riyoqun yang maknanya berarti Khusnul Khotimah. Menurutnya, walau pun seluruh perjalanan hidup manusia dilumuri dengan berbagai dosa dan noda, bilaman sadar dan beriman akhirnya bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kemunculan kembali seni yang penuh dengan batiniah dilapisi unsur magis ini, terjadi setelah Indoensia merdeka, 17 Agustus 1945. Namun sayangnya, karena dijadikan sebagai alat organisasi politik pada masa itu. Maka akhirnya muncullah beberapa perkumpulan reog Ponorogo seperti BREN (Barisan Reyog Nasional), BRP (Barisan Reyog Ponorogo), CAKRA (Cabang Kesenian Reyog Agama), KRIS (Kesenaian Reyog Islam) dan sebagaianya. Untuk membendung kekuatan Reyog PKI pada saat itu, muncullah seni Gajah-gajahan dan Unta-untaan yang terjadi pada masa puncak kejayaan Nasakom. Di mana waktu itu PKI mendominasi seni ini dengan barisan Reyog Ponorogo-nya. Baru setelah PKI dibubarkan kesenian Reyog Ponorogo muncul kembali dan mulai dibina secara utuh dan terarah oleh Pemerintah Orde Baru.
Untuk menggambarkan perjalanan sejarah Ponorogo termasuk seni reyognya, setiap tahun Pemerintah Kabupaten Ponorogo menggelar ritual Kilasan Sejarah Pemkab Ponorogo. Dalam kilasan sejarah yang diaktualisasikan melalaui pawai dari kota lama ke kota baru ini, seni reyog lengkap dari seluruh pelosok wilayah Ponorogo dan gajah-gajahan selalu ditampilkan. Sedangkan untuk melestarikan keberadaan seni reog sendiri, setiap tahun juga digelar Festival Reyog Nasional dan Reog Mini. *** [dimuat di Harian Duta Masyarakat]
Selasa, 29 Juli 2008
Siapa Bilang Menulis Itu Susah Bag II
Belajar Dari Diri Kita Sendiri
Ya... iya lah masak ya.... iya.... donk.... Mulan aja Jameele masak Jamidonk. Ich...!!! seperti di tivi aja. Media untuk melampiaskan kekesalah hati atau pikiran dapat dilakukan dengan aktifitas yang sehat dan menyenangkan, yakni dengan menulis. Caranya? Ya tulis aja namanya siapa, terus kata-katain dengan kata-kata, misalnya orang kok nyebelin, nggak sopan de el el. Selanjutnya remas-remas kertas itu atau lempar sekeras-kerasnya ke tempok berulang kali dengan memikirkan yang kita lempar adalah orang yang kita benci. Tapi perlu diingat, jangan pernah membenci orangnya. Bagaimanapun ia juga makhluk Sang Pencipta, yang boleh dibenci itu sifatnya. Selain itu, meski memiliki sifat yang jelek, pasti juga ada baiknya meski sedikit.
Lalu bagaimana dengan yang hatinya lagi berbunga-bunga? Bisa juga dibuat tulisan dan bahkan pasti lebih mudah untuk membuat tulisan daripada yang lahi marahan. Misalnya bisa dicurahkan kedalam bentuk puisi, atau cerita alias kisah nyata perjalanan cinta (itung-itung seperti ngisi buku diary). Asyik khan? Kita nggak lagi marah langsung sama orang lain, dan bahkan punya bahan tulisan. Sedangkan yang lagi jatuh cintrong juga demikian, akan semakin mesra.
Mulai tertarik untuk menulis? Tunggu apa lagi? Segera kumpulkan kertas yang tidak terpakai, corat-coret segera.
YUK KITA MULAI MENULIS
Menulis merupakan aktifitas yang gampang-gampang susah. Gampang, karena setiap hari kita berbicara dengan bahasa yang dapat juga disalin ulang dalam tulisan. Susahnya, karena kita merasa tulisan kita kurang pas! Ada susunan kata yang kurang enak dibaca karena bingung dalam merangkai kata.
Padahal, kalau kita sedang berbicara atau bercerita kepada teman-teman, sungguh sangat “mengalir”, tanpa perlu menyusun kalimat dan tata bahasa. Kok bisa ya!
Nah, jika kita merasa mentok saat ingin menulis sesuatu, anggap saja Anda sedang berbicara.
Bicara dengan diri sendiri. Bicara melalui jari-jemari. Apalagi kalau sudah bisa mengetik sepuluh jari. Pasti deh, gak susah untuk membuat beberapa paragraf.
Dengan cara ini pasti kamu semua akan bisa menulis. Maksudnya, tulis aja apa yang ada dibenakmu tanpa harus memikirkan apa bagaimana jadinya tulisan itu. Setelah dapat beberapa paragraf, baru dibaca ulang dan dicari mana yang tidak enak dibaca kemudian diperbaiki. Nah dari situlah Anda akan mulai berani untuk menunjukkan tulisan kamu.
Memang setiap tindakan awal itu pasti timbul rasa. Sebagaimana seorang pria ketemu wanita, pasti ada rasa. Entah itu rasa senang, suka, cinta, sayang atau bahkan rasa jengkel. Tapi itu semua adalah rasa. Demikian juga waktu aku menulis, awalnya punya rasa malu, sungkan atau lainnya. Tapi jika rasa itu terus dipendam, maka tidak akan maju dan tidak akan dapat mengetahui tulisan kita diterima atau tidak oleh pembaca. Dari situlah awal kita menapak. Jika mereka menolak, maka itu adalah bahan untuk introspeksi pada tulisan berikutnya.
Tapi sebenarnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menulis, yakni:
Tema Tulisan, hal ini diperlukan untuk membatasi alur tulisan kita agar tidak ’jalan-jalan’ ke mana-mana.
Judul, bagaimanapun juga judul tidak terlepas dari tulisan. Judul merupakan pokok yang akan diulas dalam tulisan.
Sub Judul, hal ini akan mempermudah kita membuat tulisan yang mengalir. Pasalnya sudah ada patokan dan urut-urutan tulisan yang akan kita buat.
Kerangka, inilah penuntun kita. Jadi jika kita akan menulis, kita bisa merujuk pada kerangka yang telah kita buat. Persis seperti kalo kita mau buat skripsi atau tugas lainnya.
dan lain-lain, ditambah juga boleh kok! ***
Siapa Bilang Menulis Itu Susah Bag I
Menulis, Susah-Susah Gampang
Kata orang tak kenal maka tak sayang. Demikian juga dengan kegiatan tulis menulis, tidak sedikit yang menyatakan gampang-gampang susah. Ya…akibatnya susah beneran nulis itu. Tapi jika sudah tahu tips n trik-nya, pasti kamu semua akan keranjingan untuk menulis.
Itulah yang sering menjadi pertanyaan sebagian besar para penulis pemula. Padahal yang seharusnya dijadikan pegangan bukan susahnya menjadi penulis, tapi orang lain dapat melakukan, akupun juga harus dapat juga. Mengapa demikian?
Yang menjadi pedoman hanyalah, kita semua manusia makan nasi. Demikian juga penulis-penulis yang sudah tenar sekalipun. Contohnya saja, beberapa waktu yang lalu, ada seorang TKW di Hongkong yang ternyata novel terbitannya laris manis. Penulis ini tidak lebih hanya seorang TKW asal Indonesia. Ternyata dalam kesehariannya, ia sering menyisakan waktu luangnya untuk menulis dan dikirim ke berbagai media massa maupun media internet.
Alhasil, ada yang membaca dan tertarik untuk mempublikasikan. Dan ternyata benar, buku novel perdananya meledak di pasaran. Sukses pertama, sebagian besar akan diikuti dengan sukses yang berikutnya. Dan itu sepertinya sudah menjadi hukum alam di Indonesia, yang sebagian besar terdorong oleh rasa penasaran akan isi sebuah buku.
Namun sayangnya, kesuksesan itu biasanya hanya bertahan pada dua atau tiga judul novel atau buku saja. Selebihnya sang pembaca bisa menebak alur cerita yang tertuang dalam tulisan-tulisan berikutnya. Itulah kelemahan penulis-penulis muda di Indonesia. Sementara pembaca sering ‘latah’ (baca: penasaran, ikut-ikutan) ingin tahu isi buku yang hanya berdasarkan cerita dari yang sudah membaca.
Seharusnya saat ini merupakan saat yang tepat bagi penulis-penulis muda dan yang akan memulai ‘karir’ dalam dunia tulis-menulis. Kenapa demikian? Saat ini masyarakat sedang butuh bacaan yang tidak banyak bicara, tapi butuh realita yang dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat sudah lelah membaca buku yang serius tapi ternyata tidak dapat merubah kondisi kehidupan. Saatnya yang muda memberikan ‘sesuatu’ yang lain dari sebelumnya. Dengan gaya bahasa anak muda yang ringan dikemas dengan ringan tapi memiliki kualitas yang sangat mendalam. Apa itu? Jawabnya buat buku yang membuat masyarakat senang, tertawa dan hidup bahagia. Artinya buku yang memberikan motivasi dan peluang usaha sangat diburu.
Masih ingat dengan Emha Ainun Najib, penulis, sastrawan, kolumnis dan berbagai ‘jabatan’ yang pernah ia sandang. Penulis asal Jombang, Jatim ini sebelum tulisannya yang terkenal dengan kolom ‘Markesot’ di Surabaya Post juga demikian. Ia juga tidak sekali nulis langsung diterima di media massa, tapi melalui perjalanan yang tidak pendek juga. Tapi, begitu tulisannya banyak yang mencari dan memiliki penggemar sendiri, apapun yang ada di sekitarnya menjadi tulisan yang dicari oleh penggemarnya. Bahkan dalam perjalanan naik kereta api dari Jogja ke Jombang pun menjadi tulisan yang memiliki makna yang dalam, meski dikemas dalam tulisan ynag ringan dan menggunakan bahasa sehari-hari.
Masih ingat dengan novel anak muda yang ngetren sekitar tahun 1990, dan bahkan sampai dibuat filmnya? Iya benar jawaban Anda, novel Lupus. Novel ini banyak dicari kalangan anak mudah, padahal isinya hanyalah sebuah kekonyolan dan keusilan makhluk yang bernama Lupus. Remaja usia SMA yang lagi gandrung-gandrungnya menggaet seorang pacar. Keusilan makhluk yang bernama Lupus itu tidak hanya berlaku di sekolah saja. Di rumah pun ia juga sering membuat konyol, persis seperti film kartun Sinchan. Film Sinchan juga demikian, mengandalkan keusialan sosok Sinchan. Namun dalam film itu cenderung mengajarkan hal-hal yang negatif.
Jadi, intinya jika ingin jadi penulis harus pandai-pandai melihat dan mencari peluang. Selain itu yang terpenting alur cerita jangan yang mudah ditebak pembaca yang pada akhirnya akan membuat pembaca bosan. ***
Minggu, 20 Juli 2008
Jangan Adu Rakyatku
Jangan Adu Rakyatku!
‘Pesta Demokrasi’ di Indonesia sudah mulai dilakukan dalam memilih calon-calon pemimpin. Jika sebelumnya hanya untuk memilih pemimpin tingkat desa (baca: kepala desa). Pasca 1998, pemilihan presiden pun langsung dipilih oleh rakyat. Kemudian secara berturut-turut pemilihan gubernur dan bupati. Semua dikemas dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung atau lebih dikenal dengan Pilkadal.
NAMUN semua itu sangat disayangkan oleh Mbok Darmi yang setia menjaga warung kopi di pojok kampung desanya. Sambil menunggu pembeli yang mampir ke warungnya, ia merenung di kursi panjang di dalam warungnya. Ia ngeri melihat tayangan aksi massa yang beringas menuntut pemilihan ulang, atau bentrok antar pendukung calon.
“Rakyat yang berjuang mempertahankan pilihannya, sementara yang dipilih enak-enakan duduk dan bercanda dengan relasinya. Kok bisa mereka mengadu warganya yang menjadi pendukung dirinya,” pikir Mbok Darmi dalam lamunannya.
Ia terus berkhayal, hingga pikirannya melayang tak karuan. Bahkan dalam pikirannya juga terbersit seandainya rakyat semua boikot tidak mau memilih, apakah mereka dapat menjadi pemimpin. “Seandainya rakyat berontak, karena di tempat lain terjadi pergolakan akibat hasil Pilkadal. Kemudian rakyat diam, tidak merespon karena khawatir terjadi pula di tempatnya. Apa yang akan terjadi?,” ia terus berpikir seorang diri.
Tiba-tiba ia dikejutkan suara seseorang di luar yang mengucapkan salam. “Assalamu’alaikum,” ucap orang itu membuyarkan lamunan Mbok Darmi.
“Eh... Waalaikumsalam,” jawab Mbok Darmi agak terkejut.
“Oh.... kamu toh Cak. Kaget aku!,” lanjutnya.
Ternyata yang datang sore itu Cak Hasan yang senantiasa mengunjungi warung Mbok Darmi untuk memesan secangkir kopi dan melahap hidangan ala kadarnya, seperti pisang goreng atau ketela goreng.
“Kenapa Mbok, kok seperti orang melamun?,” tanyanya.
”Nggak kok Cak. Tumben sendirian, teman-temannya kok nggak ikut?”
“Itu masih di masjid, baru aja turun dari Sholat Isya’. Mereka masih ngobrol dengan orang-orang di sana. Kopinya Mbok,”
”Iya tak buatkan bentar ya....!,”
”Uuuupsh!!! Aaaach! Tadi aku perhatikan si Mbok ngelamun sambil ngelihatin TV, emang ada apa Mbok?,” tanya Cak Hasan.
”Ach... enggak kok. Cuma itu lho, si mbok ngeri melihat berita perkelahian antar pendukung setelah pemilihan kepala daerah. Banyak yang terluka, beberapa bangunan juga dibakar,” kata Mbok Darmi.
”Oooohhh itu toh! Ya itu di Indonesia. Tidak bisa menghargai demokrasi. Reformasi pun akhirnya menjadi repot nasi dan repot BBM. Seharusnya siapa yang mencalonkan diri dalam pilkada itu harus bisa menerima kalah dan menang. Dan yang lebih penting lagi, mereka harus bisa mengendalikan pendukung dan simpatisannya,” ujar Cak Hasan lagaknya seperti seorang politikus gaek.
”Itu yang seharusnya dilakukan. Daripada rakyat jadi korban dengan dilaksanakan pilkadal, lebih baik dikembalikan saja seperti dulu. Pemimpin dipilih oleh anggota Dewan, dari pada rakyat diadu sama rakyat. Bahkan sesama tetangga, karena beda pilihan, tidak akur. Gini kok dinamakan demokrasi!,” seru Mbok Darmi seraya memberikan secangkir kopi pada Cak Hasan.
Cak Hasan dengan lahapnya menyantap pisang goreng dan ketela goreng yang ada di depannya. ”Nah itu persoalannya. Dikit-dikit atas nama demokrasi, dikit-dikit atas nama demokrasi. Atas nama demokrasi kok cuman sedikit. Akhirnya buka demokrasi yang ditegakkan, tapi democrazy alias gendeng, gila bin edan,” cetus Cak Hasan sekenanya.
”Lha iya... wong ngredam pasukannya saja tidak bisa, kok mau mimpin orang se-kabupaten atau se-propinsi. Mau jadi apa nantinya tempat kita ini,” keluh Mbok Darmi.
Sejenak kemudian terdengar suara salam dari luar.
”Assalamu’alaikum..........!!!,” ucap seseorang yang belum kelihatan batang hidungnya.
”Waalaikumsalam.......!!!! eh... Kang Brodin dan Markuat. Monggo silakan masuk, anggap saja rumah sendiri,” kata Cak Hasan dengan bergurau.
”Bisa aja Cak Hasan ini. Mbok pesen kopi dua ya....,” pesan Kang Brodin pada Mbok Darmi.
”Siap Bos! Bentar biar mendidih dulu airnya,” saut Mbok Darmi.
”Ini tadi diskusi apa Cak?,” tanya Markuat.
“Itu si Mbok, katanya ngeri melihat rakyat mulai beringas, sesama rakyat saling cakar-cakaran, petung-pentungan, dan tonjok-tonjokan. Persis seperti anak kecil yang nggak kebagian permen,” terang Cak Hasan pada Markuat.
”Iya Cak, aku juga heran. Bukannya menyebarkan kedamaian di muka bumi, eh.. malah meyebarkan permusuhan. Ini bisa bahaya,” celetuk Kang Brodin.
”Makanya itu, kita seharusnya lebih dewasa dalam menyikapi setiap pemilihan, baik bupati/walikota, gubernur, presiden dan pemilu legislatif. Kita rakyat ini sudah susah, kok ditambahi susah dengan perang ’saudara’ sesama warga. Emang kalau yang kita dukung jadi, trus mereka ingat kita apa?,” jelas Markuat yang otaknya mulai encer, tidak telmi (baca: telat mikir) seperti sebelumnya.
”Lha terus enaknya gimana?,” tanya Mbok Darmi yang dari tadi jadi pendengar setia.
”Ya kalau seperti ini terus, seharusnya pemerintah lebih bijaksana. Maksudnya, jika pemilihan secara langsung ternyata tidak membawa kemaslahatan (kebaikan) pada ummat, lebih baik dikembalikan seperti sebelumnya,” harap Markuat yang mulai kritis.
”Mar... Mar.... omonganmu seperti pengamat politik aja. Tapi memang bener apa yang dikatakan Markuat. Aku mendukungmu, Mar. Nanti tak SMS biar kamu menang,” saut Kang Brodin sekenanya.
”Emang kontes dangdut apa, kok pake’ SMS segala. Kamu ada-ada saja Kang..... Kang...!!,” kata Markuat sedikit sewot.
”Ha... ha... ha....,” semua menertawakan tingkah laku Markuat itu. ***
Pesta Dibalik Derita
Banyak orang yang terjebak dalam ketenaran dunia, tapi sebaliknya menjerumuskan dirinya sendiri. Seperti pelaksanaan perayaan hari besar Islam. Baik masjid maupun musholla menggelar pengajian akbar, pengajian umum atau apalah istilahnya. Yang pasti, sering kita jumpai dalam satu desa dan bahkan dusun, terutama di kota-kota besar, mengadakan sendiri-sendiri untuk merayakan hari besar tersebut.
“EMANG baik sich, tapi bagaimana kalau di sekitarnya masih ada rumah yang reyot, fakir miskin, anak yatim piatu yang masih serba kekurangan? Apa tidak sebaiknya dana yang rencananya untuk mengadakan pengajian dengan memanggil kyai atau ustadz terkenal lebih bermanfaat untuk mereka?,” pikir Cak Hasan seorang diri di teras masjid kampung itu.
Seandainya, lamunnya, dana itu dijadikan modal usaha bagi mereka yang membutuhkan dengan tetap diawasi dan dibimbing, tentu akan meningkatkan taraf hidup mereka. Tidak hanya itu, jika hal itu dapat dijalankan dengan baik, bukan tidak mungkin tidak ada ummat Islam yang hidupnya kekurangan.
“Apalagi dana yang dikeluarkan minimal Rp 500 ribu hingga jutaan rupiah, itu namanya menghambur-hamburkan uang. Padahal di dekat lokasi itu masih banyak orang yang serba kekurangan,” pikiran Cak Hasan berkecamuk antara menggelar peringatan hari besar Islam yang mendatangkan penceramah terkenal atau memperingatinya dengan menyantuni fakir miskin dan yatim piatu.
Ia terdiam.
Cak Hasan masih termenung, ia memutar otak agar dapat memberikan yang terbaik dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Ia bimbang, jika tidak dilaksanakan, ia nggak enak sama warga sekitar. Tapi jika dilaksanakan, sama halnya dengan melukai perasaan warga yang kekurangan di sekitar masjid itu.
Akhirnya, karena tidak menemukan jawaban seorang diri, ia pun memutuskan untuk ke warung Mbok Darmi. “Siapa tahu di sana aku menemukan teman diskusi, untuk kemudian disampaikan pada rapat panitia hari besar Islam,” pikir Cak Hasan sambil melangkahkan kakinya meninggalkan masjid itu.
Ia melangkah pasti berharap ada solusi untuk memecahkan kebuntuhan pikirannya. Setelah menyusuri jalan desa, ia pun sampai di warung Mbok Darmi. “Assalamu’alaikum..!!!,” ucap Cak Hasan.
“Wa ‘alaikumsalam, eh… Cak Hasan. Monggo Cak, kok tumben sendirian?,” tanya si mbok seraya mempersilakan Cak Hasan masuk.
“Iya Mbok, ini tadi baru turun sholat Isya’ di masjid. Kok belum kelihatan semua, pada kemana mbok?,” jawabnya sambil balik bertanya.
”Ya nggak tau toh, Cak. Kok kelihatannya Cak Hasan lagi bingung, ada apa toh Cak?,” selidiknya.
“Nggak apa-apa, tolong kopinya ya mbok, yang sedikit manis aja ya,” pesannya.
”Iya... tunggu bentar. Tapi bener nich nggak ada masalah apa-apa? Nggak usah disembunyikan, siapa tau aku bisa bantu,” tanya Mbok Darmi penasaran.
”Iya mbok, sebenarnya aku bimbang!,” kata Cak Hasan pendek.
”Emang bimbang apaan? Seperti mau ditawarin nikah lagi aja?,” ujar Mbok Darmi sekenanya.
Cak Hasan pun menceritakan panjang lebar soal kebimbangan hatinya dalam menggelar pengajian umum pada Mbok Darmi, antara menggelar pengajian atau menyantuni fakir miskin dan janda-janda yang ada di kampungnya.
Si mbok mendengarkan dengan seksama, setelah selesai mendengarkan, ia pun memberikan masukan. ”Kalo menurut aku sich... mending dilakukan kedua-duanya peringatan maulidan itu, ya dibuat menyantuni fakir miskin dan janda yang ada di kampung ini. Juga menggelar pengajian umum. Soalnya keduanya itu juga bermanfaat,” kata Mbok Darmi usai mendengar cerita Cak Hasan.
Cak Hasan terdiam sejenak.
”Tapi....,” Cak Hasan tidak meneruskan kata-katanya.
”Kenapa Cak?,” desak Mbok Darmi.
Belum sempat terjawab, tiba-tiba datang Markuat dan Kang Brodin.
”Assalamu’alaikum......,” ucap mereka bersama-sama.
”Wa ’alaikumsalam,” jawab keduanya.
”Ini lho temanmu ada masalah,” ujar Mbok Darmi langsung bercerita tanpa menunggu komando dari Cak Hasan.
”Oh... gitu toh. Bagus juga usul si embok,” seru Markuat.
”Iya bagus, tapi....,” lagi-lagi Cak Hasan tidak meneruskan kata-katanya.
”Nich kopinya, tapi kenapa?,” tanya Mbok Darmi.
”Dananya tidak mencukupi jika dilaksanakan keduanya,” terangnya.
”Ach... gampang! Kata Ustadz, soal agama itu gampang jadi jangan dipersulit. Demikian juga soal hidup, kalau nggak suka terhadap sesuatu jangan diambil hati. Hal itu juga berlaku bagi acara kita, mana yang lebih penting diantara dua hal itu,” seru Mbok Darmi.
”Sruuutttupp...!!! Ach!! Nikmatnya kopi bikinan si embok ini. Aku setuju dengan pendapat si Mbok. Nah dari dua kegiatan itu, mana yang lebih mendesak dan penting. Pengajian juga penting, untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan. Sedangkan menyantuni fakir miskin, anak-anak terlantar, dan janda-janda tua juga sangat penting. Mereka bisa saja keluar dari Islam, jika ada seseorang yang memberikan sesuatu untuk kehidupan mereka. Kalo menurutku lebih baik menyantuni itu tadi,” jelas Cak Hasan seraya menghembuskan rokok kreteknya dalam-dalam.
Sejenak kemudian, mereka hanya diam. Mereka saling berfikir dan terlihat menggerutkan keningnya. ”Ok! Sekarang kita putuskan bersama, baru kita sampaikan kepada panitia. Bagaimana jika dana itu untuk menyantuni? Setuju?,” Cak Hasan yang juga salah satu pengurus ta’mir masjid dan juga panitia itu minta persetujuan teman-temannya.
”Setujuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!,” saut mereka serempak.
”Baiklah nanti saya sampaikan. Soalnya mereka lebih membutuhkan,” papar Cak Hasan.
”Hidup Cak Hasan!,” seru Mbok Darmi diikuti semua yang ada di warung itu.
”Sudah... sudah..... seperti kampanye saja! Aku pamit dulu ya, mau menyampaikan ’aspirasi’ sampeyan-sampeyan tadi. Assalamu’alaikum...!,” Cak Hasan pamitan.
”Wa’alaikumsalam..........,” jawab mereka serempak. ****
Kemenangan Bagi Kejahatan
Aneh! Edan! Dan kata apa lagi yang pantas diungkapkan untuk mengungkapkan kekecewaan terhadap keputusan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyetujui penghapusan hukuman mati. Seharusnya Komnas HAM mengaca terlebih dahulu terlebih dahulu terhadap apa yang mereka lakukan terhadap orang lain, sehingga mereka dijatuhi hukuman mati.
MALAM itu, Sabtu (19 Juli 2008) sekitar pukul 00.20 WIB tiga terpidana mati dieksekusi. Mereka yakni Sumiasih beserta anaknya, Sugeng. Kemudian Usep, dukun palsun yang menghabisi sedikitnya 8 orang. Ketiganya dieksekusi hampir bersamaan, Sumiasih dan Sugeng dieksekusi berdampingan. Dua terpidana mati ini dijatuhi hukuman karena membunuh satu keluarga secara bersamaan dan berencana, yakni keluarga Letkol (Mar) Purwanto.
Ia membunuh keluarga itu karena hal sepele, yakni perkara hutang piutang. Bersama menantunya Adi Saputro dan Prayitno, pada 1988 kejadian itu memilukan. Selain membunuh seluruh keluarga yang terdiri dari suami istri, 2 anak yang masih duduk di bangku SD dan SMA, serta salah seorang anggota keluarga lainnya. Lebih sadisnya, jasad pembunuhan itu dibakar dan dibuang di kawasan hutan di Songgoriti, Malang.
Pagi itu, Mbok Darmi termenung di depan TV sambil menunggu warungnya. Mendengar berita Komnas HAM setuju penghapusan hukuman mati, ia seperti terhenyak tak percaya. “Aneh! Kejahatan berkedok Hak Asasi Manusia. Padahal jaman Rasulullah, hukuman mati itu sudah berlaku. Jika demikian, apa hukuman bagi pembunuh satu keluarga? Jika cuman hukuman seumur hidup, ya tunggu aja pembunuh-pembunuh itu berkeliaran dimana-mana?,” kata hati Mbok Darmi.
Atau, hati Mbok Darmi bimbang, hukumannya bukan hukaman mati yang harus nunggu selama 20 tahun, tapi langsung tembak di tempat. “Kalau itu sich setuju, setidaknya mengurangi tindak kejahatan,” kebimbangan itu terus bergelayut di hati Mbok Darmi. Bahkan karena serius memperhatikan berita di TV, ia tak sadar ada pembeli di warungnya.
“Assalamu’alaikum….!,” kata Kang Brodin setelah beberapa menit memperhatikan Mbok Darmi yang asyik sedang nonton TV.
“E… Kang Brodin, Waalaikumsalam…. Sudah lama Kang?,” tanya Mbok Darmi.
”Ach...! Baru datang kok Mbok. Lagi asyik nonton apa sich Mbok?,” tanya Brodin.
”Itu lho, Komnas HAM setuju kalau hukuman mati dihapus. Ini hukum kok makin nggak jelas dan nggak tegas. Malah menguntungkan tindak kejahatan. Pasti ada yang nggak beres, soalnya jika kita lihat soal parkir berlangganan aja banyak oknum tukang parkir yang masih menarik uang parkir. Itu kan hanya menguntungkan mereka yang mau melakukan tindak kejahatan,” ungkap si Mbok Darmi.
”Ya itulah manusia mbok, pasti di situ ada kepentingan. Soalnya hal itu khan mereka nggak mengalami sendiri. Coba kalau keluarga mereka yang menjadi korban, pasti juga mereka akan berpikir dua kali untuk menyetujui penghapusan hukuman mati. Padahal mereka yang membunuh itu juga melanggar HAM, tapi malah dilindungi. Hukum macam apa ini?,” jeas Brodin.
“Mungkin hukumnya sudah diganti Kang,” saut si Mbok.
”Diganti hukum apa?,”
”Hukum rimba he...he....he...,” kata Mbok Darmi seraya tertawa.
”Ha...ha...ha... Mbok....mbok... sampean kok ya ono-ono wae,” timpal Kang Brodin.
Sejenak kemudian mereka diam saling bimbang terhadap keputusan Komnas HAM.
“Assalamu’alaikum....!,” kata seseorang dari luar.
“Waalaikumsalam....!,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Eh....Cak Hasan.....,” kata Mbok Darmi.
“Iya Mbok. Tolong buatkan kopi ya,” pesan Cak Hasan.
“Saya juga Mbok, jangan manis-manis ya!,” Kang Brodin juga ikut memesan.
“Iya bentar ya, tak buatkan dulu,” kata si Mbok langsung ke belakang warungnya.
“Maksih ya mbok...,” kata Cak Hasan.
”Cak tadi tahu tidak, diberita disebutkan Komnas HAM itu setuju hukuman mati dihapuskan?,” tanya Kang Brodin.
”Iya... ada yang aneh dech dengan keputusan itu?,” kata Cak Hasan.
”Aneh gimana?,” sautnya nggak ngerti.
”Ya... iya lah aneh. Soalnya di Komnas HAM kan banyak orang, masak semuanya setuju dengan keputusan itu?,” terang Cak Hasan.
”Kalo memang semua yang di Komnas HAM setuju itu dan itu nantinya dapat merubah peraturan, berarti itu kemenangan buat kejahatan,” lanjutnya.
”Maksudnya?,”
”Ya pastilah. Masak hanya karena Komnas HAM setuju penghapusan hukuman mati lalu disetujui. Lalu nasib berjuta-juta manusia di Indonesia ini mau jadi apa. Dibantai semuanya, karena tindak kejahatan tidak ada balasan yang setimpal?,” tambah Cak Hasan dengan nada tanya.
“Terus... terus....,”
“Khan sudah dijelaskan, bahwa balasan itu ada dua, di dunia dan di akhirat kelak. Jadi yang di dunia, hukum itu khan sebelumnya sudah dikaji. Dan hukuman mati, itu juga bukan karena nyawa itu ada di tangan manusia. Tapi Sang Pencipta telah menggariskan bahwa si A, B ataupun siapaun harus mati diujung senapan. Coba bayangkan, jika hukuman mati dihapuskan, pasti akan lebih banyak lagi korban pembunuhan. Hukum yang sekarang ini saja masih bisa dipermainkan, bagaimana nanti jika dihapuskan?,” terangnya.
”Ya....kita ini apa sich. Kita hanya rakyat jelata. Jika pun kita ngomong ngalor-ngidul juga nggak ada pejabat yang dengerin. Tapi setidaknya kita diskusi seperti ini juga tidak ada ruginya, bisa nambah wawasan dan tidak ketinggalan informasi,” kata Kang Brodin.
”Ini kopinya, lagi asyik ya diskusinya. Kok sepertinya aku dengar dari belakang seru banget,” celetuk Mbok Darmi.
”Y... lumayanlah Mbok darimapa nggak ada yang diomongin. Kalau anggota Dewan sekali ’diskusi’ terima bayaran. Lha kita! Sekali ngobrol malah keluar duit untuk beli kopi atau pisang goreng,” kata Kang Brodin bercanda.
”Ha... ha... ha.....!,” mereka pun tertawa bersama. ***
Sabtu, 05 Juli 2008
Indonesia Bisa
Oleh: Chaton Mochammad
Penulis adalah alumnus Undar Jombang 2005, tinggal di Jombang, Jatim, kini aktif di Komunitas Penulis Jombang (KPJ) dan Probis Media Centre (PMC) Jombang. Tulisannya telah dimuat di beberapa media lokal maupun nasional.
Indonesia Bisa.....!
Bisa apakah Indonesia?
Indonesia Bisa....
Bisa menaikan harga BBM
Bisa meningkatkan jumlah rakyat miskin
Bisa menambah pengangguran
Bisa mendatangkan tenaga kerja asing
Bisa menambah beban hidup rakyatnya
Bisa meningkatkan angka kriminalitas
Bisa meningkatkan jumlah penjaja cinta
Bisa bikin pesta
Dan juga.... tentunya....
Bisa menambah isi kantong pejabat
Bisa menambah penghasilan konglomerat
Bisa meningkatkan jumlah koruptor
Indonesia Bisa!
Bisa mementingkan kepentingan orang-orang tertentu
Tapi sayang...
Indonesia tidak Bisa...
Tidak bisa mengutamakan kepentingan rakyat
Yang senantiasa ditindas
Yang selalu ditarik pajak
Yang biasa didenda jika telat menunaikan kewajibannya
Indonesia tidak Bisa....
Tidak bisa menambah lapangan kerja
Tidak bisa membela rakyatnya yang mengais nafkah di negeri orang
Sebaliknya...
Jika tidak dihukum pancung atau hukuman mati
Mereka dihukum di negeri sendiri
Mereka harus setor saat tiba di tanah airnya
Indonesia hanya bisa menambah pegawai
Yang tugasnya keluyuran setiap hari
Hanya menghabiskan anggaran dari uang rakyat sendiri
Sudahkan mereka kehilangan hati nurani
DPR, kami bertanya padamu....
Dimana hati nuranimu....??
Jangan hanya mengharap sering sidang
Untuk menambah penghasilan
Sementara yang kau wakili menjerit.... merintih....
Dan tidak jarang akhirnya mati kelaparan
DPR, Ingatlah! Jabatan itu Amanah....
Waktunya hanya sesaat saja...
Tapi mengapa kau sia-siakan.... kau terlantarkan rakyatmu...
Jangan... jangan kau bodohi rakyatmu
Dengan janji-janji manismu
Selama kampanye Pemilu
Kami menunggu bukti... bukan janji...
K’rena kamu sudah bosan.... muak.... dan benci....
Dengan janji-janji yang hanya memberi harapan tak pasti!
Jombang, 25 Mei 2008
Maafkan Kami
Oleh: Chaton Mochammad
Penulis adalah alumnus Undar Jombang 2005, tinggal di Jombang, Jatim, kini aktif di Komunitas Penulis Jombang (KPJ) dan Probis Media Centre (PMC) Jombang. Tulisannya telah dimuat di beberapa media lokal maupun nasional.
Maafkan Kami Bapak Pejabat
Kami mahasiswa hanya mau menyampaikan amanat
Rakyat sudah tidak kuat menanggung beban hidup yang semakin berat
Mereka kehidupannya sangat melarat
Bahkan diantara mereka hidupnya sudah ada yang sekarat
Maafkan Kami Bapak Aparat
Kami Mahasiswa hanya ingin menyampaikan suara hati rakyat
Tidak jarang mereka juga masih saudara dan kerabat
Hanya ingin hidup tenang tanpa syarat
Syarat yang semakin membuat hati berkarat
Akibat ulah pejabat yang tak mau peduli dengan nasib rakyat
Untuk itu, kami jangan dijerat
Sekali lagi, Maafkan Kami Bapak Aparat...
Kami mahasiswa sebenarnya tidak mau melempar batu dan botol
Karena kami tahu, itu perbuatan tolol
Sebenarnya kami juga tidak ingin melakukan itu
Jika pejabat tidak acuh melulu
Jika pejabat dapat melihat aspirasi rakyatmu
Semua itu pasti tidak perlu
Hal itu kami lakukan hanya karena pilu
Melihat suara rakyat hanya dibiarkan berlalu
Tanpa dijadikan pertimbangan dalam kebijakan yang berlaku
Akibatnya... kami harus menyuarakan dengan cara lampau
Turun ke jalan meski harus menerima pukulanmu
Sakit dan pedih yang kurasakan itu kami anggap semu
Yang penting rakyat dapat menikmati hidup baru
Tanpa dikejutkan kenaikan BBM sewaktu-waktu
Sekali lagi maafkan pada semua...
Kami mahasiswa sebenarnya tidak mau berkelahi
Jika suara nurani rakyat didengar dan dilaksanakan pejabat tinggi
Kasihan orang tua kami yang jadi petani
Membiayai kuliah agar kami dapat lulus perguruan tinggi
Kini mereka harus menanggung lagi kenaikan harga BBM ini
Mereka hidupnya sudah terjepit hampir-hampir nafas mau berhenti
Semoga semua ini tidak akan terulang lagi...
Jombang, 25 Mei 2008