Mencermati isi dari rekaman yang dimiliki KPK di depan Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (3/10/2009) rakyat kecil jadi tertawa dan senyum-senyum sendiri. Setidaknya hukum di Indonesia ini sudah diperjualbelikan, dan sesama instansi saling menjatuhkan. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri memasuki babak baru, pasca diputarnya hasil rekaman penyadapan telepon oleh KPK. Bibit Waluyo dan Candra, yang baru saja menikmati pengapnya penjara, segera dibebaskan. Ini membuktikan bahwa kinerja Polri perlu dipertanyakan. Bukan tidak mungkin kasus-kasus semacam ini terjadi. Orang yang tidak bersalah mendekap dalam penjara, sementara yang salah bebas berkeliaran menghirup udara 'kemerdekaan'.
Seharusnya kejadian ini tidak perlu terjadi, seadainya tidak ada kepentingan-kepentingan 'terselubung' baik itu pribadi maupun institusi. Mereka seharusnya dapat belajar dari kasus salah tangkap yang terjadi di Jombang, beberapa waktu yang lalu. Hanya karena menerima segepok uang, masalah bisa berubah. Yang salah bisa jadi benar dan yang benar bisa jadi salah.
Tampaknya hal-hal seperti itu tidak bisa sekaligus diberantas, jika tidak ada 'reformasi' total di tubuh Polri. Kita ambil contoh yang mudah saja. Soal judi togel. Jika polisi bisa menangkap pengecer, tentunya ia juga tahu pengepul atau bandar-nya. Tapi kenapa hanya pengecer yang ditangkap, bukan langsung bandar gede (bede)-nya.
Kemudian juga masalah peredaran miras, kenapa hanya warung-warung penjualnya. Ini tidak akan menyelesaikan masalah. Tutup saja perusahaan pembuatnya, maka yang dibawah pun tidak akan dapat berjualan lagi. Tapi, lagi-lagi yang menjadi pertanyaan adalah ada apa dengan 'skenario' seperti ini?
Yang lebih 'gila' lagi sesama institusi saling 'mengintai', saling menjatuhkan, jika dilihat hanya perkara 'ladang'-nya yang dulu 'basah' kini kering kerontang. Inilah yang terlihat dari perseteruan antara KPK dan Polri.
Antara benar dan tidaknya, biarlah hukum kebenaran yang bicara. Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, akan tercium juga akhirnta.
Seharusnya kejadian ini tidak perlu terjadi, seadainya tidak ada kepentingan-kepentingan 'terselubung' baik itu pribadi maupun institusi. Mereka seharusnya dapat belajar dari kasus salah tangkap yang terjadi di Jombang, beberapa waktu yang lalu. Hanya karena menerima segepok uang, masalah bisa berubah. Yang salah bisa jadi benar dan yang benar bisa jadi salah.
Tampaknya hal-hal seperti itu tidak bisa sekaligus diberantas, jika tidak ada 'reformasi' total di tubuh Polri. Kita ambil contoh yang mudah saja. Soal judi togel. Jika polisi bisa menangkap pengecer, tentunya ia juga tahu pengepul atau bandar-nya. Tapi kenapa hanya pengecer yang ditangkap, bukan langsung bandar gede (bede)-nya.
Kemudian juga masalah peredaran miras, kenapa hanya warung-warung penjualnya. Ini tidak akan menyelesaikan masalah. Tutup saja perusahaan pembuatnya, maka yang dibawah pun tidak akan dapat berjualan lagi. Tapi, lagi-lagi yang menjadi pertanyaan adalah ada apa dengan 'skenario' seperti ini?
Yang lebih 'gila' lagi sesama institusi saling 'mengintai', saling menjatuhkan, jika dilihat hanya perkara 'ladang'-nya yang dulu 'basah' kini kering kerontang. Inilah yang terlihat dari perseteruan antara KPK dan Polri.
Antara benar dan tidaknya, biarlah hukum kebenaran yang bicara. Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, akan tercium juga akhirnta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar