BROSUR PMC Cell - Klik Gambar di Bawah Ini

BROSUR PMC Cell - Klik Gambar di Bawah Ini
PMC Cell - Master Pulsa Electric

Menggapai Kemuliaan Muslimah dengan Bimbingan Salaful Ummah

Minggu, 05 Oktober 2008

Kupatan, Tradisi Yang (mulai) Hilang


Saat ini, tradisi kupatan, yang telah dilaksanakan secara turun-temurun, secara perlahan mulai tergeser di tengah tradisi ‘modern’. Tradisi yang merupakan salah satu cara untuk mempertemukan sanak-saudara untuk bersama-sama menikmati lezatnya hidangan ketupat.


KUPATAN biasanya dilaksanakan pada hari ke tujuh setelah hari raya Idul Fitri. Hal itu dilakukan sebagai rasa syukur kepada Allah SWT setelah menjalankan puasa Ramadhan, yang kemudian diakhiri dengan membayar zakat dan perayaan hari raya Idul Fitri untuk membersihkan diri dari segala dosa selama setahun lamanya.

Ketupat merupakan hasil kreasi anyaman yang dibuat dari daun kelapa muda (baca: janur), yang dibentuk sedemikian rupa, sehingga berbentuk persegi empat (nyaris berbentuk kubus). Setelah terbentuk, sebelum diisi dengan beras, direndam dahulu ke dalam air. Kemudian barulah dapat diisi dengan beras.

Mengisi beras pun harus hati-hati. Soalnya jika dipenuhi, maka ketupat akan hancur, dan tidak akan jadi ketupat karena kelebihan isi. Jadi mengisi beras pun harus setengah atau lebih sedikit. Hal itu agar saat digodok dalam air tidak melebihi tempatnya. Untuk mendapatkan ketupat yang lezat dan rasanya enak, maka untuk tempat menggodong bukan sembarangan. Usahakan memakai kwaron (tempat memasak yang terbuat dari tanah liat –red).

Saat ini, untuk mendapatkan kwaron memang agak sulit. Hal ini dikarenakan, untuk memasak, sebagian besar sudah beralih pada alat seperti panci yang terbuat dari alumunium. Padahal, jika dilihat saat memasak, memang dalam menggunakan kwaron agak lama waktu yang dipergunakan daripada dengan panci. Namun demikian, dari lamanya memasak itu, sebenarnya ada manfaatnya, yakni air semakin matang, jika itu memasak air. Jika memasak nasi, juga benar-benar masak nasinya.

Lain halnya jika menggunakan panci. Dipanggang di atas bara api sebentar saja sudah panas. Akibatnya, bisa jadi air atau masakan yang dimasak belum matang benar. Seperti saat kita membuat kopi, bagaimana rasanya saat setelah meminum kopi yang airnya dimasak dengan menggunakan panci? Kadang ada yang kembung, atau perut terasa sebah. Hal itu dimungkinkan air yang dimasak kurang matang, meski sudah mendidih.

Kembali lagi pada ketupatan. Demikian juga halnya saat menanak ketupat, agar enak dan lezat, usahakan untuk menggunakan kwaron. Pasalnya dengan bahan dari tanah liat juga memberikan aroma tersendiri.

Namun sayang, tradisi kupatan saat ini nyaris hilang. Entah itu disebabkan karena sulitnya mendapatkan daun janur, atau memang masyarakat sudah mulai ’bosan’ membuat kupat. Karena saat memasak ketupat, dibutuhkan waktu yang sangat lama daripada memasak nasi biasa. Bisa jadi memasak ketupat membutuhkan waktu berjam-jam agar bisa matang.

Terlepas dari dua faktor yang saya sebutan di atas, tradisi ini perlahan tapi pasti mulai ditinggalkan. Tidak hanya di kota, di desa pun hanya beberapa saja yang masih melestarikannya.

Berbeda saat masa kecilku, saat itu hampir semua warga satu desa membuat ketuapat, untuk kemudian saling bertukar (ater-ater –Jawa) antar tetangga. Kini tradisi itu sudah mulai terkikis. Generasi muda sudah tidak mau peduli dengan tradisi warisan nenek moyangnya. Mereka sebagian besar sudah lebih dulu mementingkan berwisata, kumpul sama teman-temannya, atau keluyuran tidak tentu yang dikerjakannya.

Hal itu juga disebabkan karena tidak adanya upaya untuk melestarikan budaya tersebut. Ini terlihat dari para orang tua yang sudah mulai ’bosan’ membuat ketupat. Saat ditanya apakah tidak membuat ketupat? Jawaban mereka sebagian besar karena sulit mencari janur atau harus membelinya. Kemudian juga karena tidak cocok waktu memasaknya.

Sungguh ironis sekali, tradisi warisan nenek moyang yang mungkin hanya ada di Indonesia ini, akan terkikis dengan sendirinya secara berlahan.

Saatnya kita bertanya pada generasi penerus untuk melestarikan warisan yang memiliki kekhasan tersendiri itu. Jangan sampai baru ramai diperbincangkan, jika sudah diklaim menjadi tradisi atau budaya oleh negara lain. Pasalnya, bagaimanapun juga, menciptakan kebudayaan itu lebih sulit daripada melestarikannya. Jika tidak, tentu kebudayaan kita yang beraneka raga itu tidak diklaim negara lain.

Bagaimana menurut Anda? ***

1 komentar:

Fathulloh mengatakan...

he he Bagus2 tulisan e.... jadi malu aku ma Kalian....Yup tetap semangat