BROSUR PMC Cell - Klik Gambar di Bawah Ini

BROSUR PMC Cell - Klik Gambar di Bawah Ini
PMC Cell - Master Pulsa Electric

Menggapai Kemuliaan Muslimah dengan Bimbingan Salaful Ummah

Rabu, 04 Maret 2009

SEMANGAT PANTANG MUNDUR

OLEH: Agus Prastyo

I

Hujan pertama di awal musim penghujan, tepat pada waktu maghrib. Suasana pedasaan yang selama musim kemarau terasa panas, sekarang kembali segar dan sejuk.
“Sudah maghrib bapakmu belum pulang juga, kemana saja ya, Min ? ” terdengar suara perempuan dari dapur, tetapi tidak terlalu jelas, karena hujan sangat deras sekali. Lama kelamaan suara alas kaki semakin mendekat ke ruang tamu.” Oooo… kalian ternyata disini ya ? tadi dipanggil kok diam saja!”
Poimin tiba-tiba terkejut. Segera dia bergegas meletakkan gitar yang dipegangnya di dekat meja. Dia seperti orang kebingungan.” Ada apa, Mak ?” tanya dengan lirikan mata, sambil menggerakkan bagian persendian yang terasa agak sakit.
“Kok berhenti jrang-jreng. Tidak tau ya ? kamu tidak melihat! enak benar kamu Min. Mak repot di dapur, bapakmu kethengkilan memanjat kelapa sampai sore belum pulang, kamu malah enak-enakan jrang-jreng. Coba kamu lihat bapakmu dikebunnya Mbah Guru sana. Sudah maghrib belum pulang juga. Mak khawatir kalau nanti ada apa-apa, hujan-hujan seperti inikan pohon sangat licin. Sayang, kalau nanti nira yang dibawa bapakmu ketumpahan air hujan.”
“Jangan mikir yang jelek-jelek, Mak! siapa tau Bapak masih berteduh.”
Sebenarnya maknya Poimin masih mau bicara lagi. Semua diam ketika dari teras rumah terdengar suara bumbung dibunyikan. Hati yang tadinya cemas dan khawatir tiba-tiba berubah jadi gembira, karena orang yang ditunggu-tunggu dari tadi baru nyampek rumah dengan keadaan selamat.
Kemudian maknya Poimin tenang, kalau suaminya sudah sampai rumah dalam keadaan sehat. Poimin beda lagi, senang hatinya karena tidak jadi menengok bapaknya yang berada di kebun Mbah Guru yang tempatnya sangat jauh dari rumah.
Seperti biasanya, tanpa disuruh, Poiman bergegas menuju teras dapur. Membantu bapaknya untuk mengangkat nira yang ada di dalam bambu, untuk di bawa masuk. Nira yang ada di dalam bambu kemudian dituangkan kedalam wadang tong.
Orang yang barusan pulang mencari nira namanya Pak Paijo, kondisinya masih basah kuyup. Segera dia duduk beristirahat sebentar, setelah itu ia bergegas menarik handuk dalam kawat. Handuk satu-satunya untuk orang serumah, yang sudah tidak jelas warna aslinya.
“Nggak minum dulu, Pak ? itu Pak, sudah aku persiapkan sejak dari tadi,“ bicaranya terdengar maknya Poiman, kalau bapaknya mau ke kamar mandi belakang rumah.
“Nanti saja, sudah petang, entar kehabisan maghrib lho..!” kata maknya.
“Ya, sudah petang, cepat mandi,“ Poiman bercanda dengan maknya sambil melanjutkan pekerjaan merebus nira, yang sudah dilakoni setiap hari, sejak lulus dari SMA sepuluh bulan yang lalu.
“Hentikan candamu yang meledek itu, Min! nanti khawatir terbiasa kebawa sampai tua,“ katanya Pak Paijo.
Poimin cuma senyam. Nira sudah di atas gumuk. Gumuk yang sudah dimasuki kayu grajen sampai penuh, itu tinggal dinyalakan saja.
Tidak lama kemudian, apinya sudah mulai nyala. Merebus dengan gumuk pasti biayanya akan lebih murah dan mudah. Tidak perlu menunggu-nunggu sampai lama, seperti kalau menggunakan luweng. Harganya kayu grajen lebih murah, dari pada kayu bakar yang semakin mahal, bahkan ada yang mengumpulkan daunnya pohon bambu untuk dibuat gantinya, walaupun harus sabar, karena sangat cepat sekali habisnya.
“Bisa aku ganti sebentar, kamu tadikan belum sholat dan kamu juga tadi belum mandi. Sana mandi dulu, setelah itu sholat,“ kata kaknya.
Poimin kaget, tiba-tiba maknya sudah dibelakang, yang sudah kelihatan bersih. Segera ia bergegas ke kamar mandi. Baunya sabun merek tangan menusuk hidung, maklum orang desa yang tergerus dari sebuah sistem.
“Nanti kalau sudah selesai sholat, kembali lagi kesini, jangan bermain gitar melulu. Masak setiap hari jrang-jreng kok ngak ada bosannya ! “ kata maknya.
Si anak tidak bicara sama sekali, setelah selesai mandi kemudian mengambil handuknya yang barusan dipakai Mak dan bapaknya. Handuk hanya satu doang, itu buat bergantian orang satu rumah. Maka, sering neneknya Poimin terpaksa memakai handuk pakaian, yang akan dipakai setelah mandi. Karena, handuk aslinya sudah terlalu basah sekali setelah dipakai Poimin, Mak, dan bapaknya.
Setelah habis isyak Poimin dan kedua orang tuanya berkumpul lagi di dapur. Api yang menyala sudah dimatikan dengan air. Sekarang maknya Poimin lagi sibuk menetes nira yang sudah kental seperti jladren. Suara irus yang dibuat untuk membolak-mbalikkan nira kedengaran plag-plug, begitu seterusnya tanpa berhenti, sebelum encer dan merata.
Pak Paijo lagi santai-santai di atas lincak sambil merokok klobot buatannya sendiri. Disampingnya ada Poimin yang lagi sibuk menutupi lubangnya bathok dengan daun ketela. Bathok-bathok itu semua yang nantinya akan di buat gula kelapa.
“Gimana, Min! apa kamu jadi pergi keluar kota ?“ tanya bapaknya yang memecahkan keheningan.
“Ya, jadilah Pak, sudah rencana sejak dari dulu. Masak dari kecil, dewasa, bahkan sampai mati pun aku selalu di desa. Terus apa jadinya kalau aku seperti ini terus ! paling-paling ya cuma nyadap seperti Bapak atau Kakek yang itu. Terus apa gunanya ijazahku SMA ini, jurusan IPA lho Pak…!”
“Apa pekerjaan nyadap itu berat, Min ?” maknya saut bicara, “Coba, seumpama tidak ada yang memanjat pohon kelapa, apa jadinya nanti ! apa kamu mau makan tewol terus-terusan ? coba pikir Min ! “
“Yang aku pikir beratnya pekerjaan Mak dan Bapak lakukan saat ini. Tidak peduli hujan deras bercampur petir, harus tetap berangkat memanjat, pohon-pohon kelapa itu licin Mak. Apa nantinya kalau pas aku memanjat terperosok jatuh. Sudah berapa saja korban yang jatuh dari nyadap, sejak kecil sampai Mak dewasa ini ? makanya izinkanlah aku untuk pergi ke Surabaya,“ kata Poimin.
“Apa di Pare atau Kediri sini tidak ada pekerjaan seperti yang kau inginkan, Min ?” tanya Pak Paijo.
“Disini paling-paling cuma jadi pelayan toko Pak, beda lagi kalau di Surabaya, pabrik dan perusahaan banyak sekali.“
“Apa ijazahmu itu nggak bisa untuk melamar jadi pegawa negeri ?“ tanya maknya.
“Masuk PNS itu sangat sulit, Mak. Harus tebal dompetnya. Yang sudah sukuan berpuluh-puluh tahun belum tentu bisa di angkat !“
Semua diam sebentar, Poiman dan orang tuanya terkubur dalam angan-angan. Yang tua terasa berat untuk merelakan anak satu-satunya pergi, sedangkan Poiman tetap terpangku pada pendiriannya. Suasana sepi, berubah menjadi ramai lagi saat maknya Poiman bicara, “Terus Min, kalau ke Surabaya kamu butuh uang berapa ? buat ongkos perjalanan, makan, dan kos sebelum kamu dapat pekerjaan.“
“Sedikit kok, Mak. Katanya Sukri kemarin, punya Pakde di kawasan Wonokromo, yang bisa rumahnya untuk aku tempati. Siapa tau tidur dan makannya nanti gratis.“
“Jangan bertumpu pada anaknya Blorok ! pakdenya sukri di Surabaya itu pekerjaannya apa dulu, jangan asal numpang.“
“Mungkin, bagian memandikan monyet kali,“ Poiman bercanda, orang bertiga tertawa terbahak-bahak.
“Sekali lagi Min,“ bapaknya memberikan nasihat,“ Katanya orang-orang hidup di kota besar itu berbeda dengan hidup di desa. Canda ria, saling sapa, sudah tidak ada, walaupun dengan saudaranya sendiri. Yang namanya tolong menolong dan gotong royong itu sangat jarang dilakukan. Tapi itu katanya orang-orang, aku sendiri belum membuktikan.“
“Kalau masalah itu bisa di pikir sambil berjalan Pak. Yang penting sekarang mak dan bapak cari uang buat berangkat. Hutang di Mbokde Pariyah atau yang lain. Nggak usah bingung, entar kalau aku sudah dapat kerjaan aku kembalikan uangnya. Janji Mak, Pak..!”
Emaknya mau bercanda, tapi didahului Bapaknya bicara,“Ini bukan masalah dikembalikan atau tidak. Bagaimana kalau kamu di Surabaya nanti. Masalahnya kamu belum pernah ke kota besar. Banyak orang mengatakan, jaman sekarang itu sama saja, tidak mudah untuk cari pekerjaan. Kalau ada kurang beruntungnya, malah entar di tipu orang Min.“
“Tapi kalau aku dan Sukri mau di tipu apanya Mak ? buat berangkat aja mau hutang. Itu kalau Mak dan bapak mau kerumahnya Mbokde Pariyah. Kalaupun tidak, ya aku cari pinjaman sendiri, itupun kalau aku dapat pinjaman. Kalau nggak ya terpaksa sepedah unta itu aku jual.“
“Jangan Min… jangan, itu sepeda satu-satunya yang kita punya, terus bapakmu kalau mau pergi kemana-mana akan naik apa..? ya sudah, besuk pagi aku akan pergi kerumahnya Yu Pariyah. Kamu butuh uang berapa, Min ? kalau dua ratus ribu cukup nggak ? “
Si Poimin hatinya terasa plong, kemudian dia tergesa menjawabnya,“ Ya Mak, itu sudah cukup, seumpama kurang, akau akan cari pekerjaan apa adanya, yang penting dapat hasil, halal, dan bisa buat makan.“
Setelah berbicara dengan orang tuanya segera Poimin meninggalkan tempat duduknya.
“Mau kemana, Min ? “ maknya bertanya.
“Aku akan pergi berkelana, bumbungnya belum dibersihkan, air panas yang di masak tadikan belum di angkat ? “
“Belum, dari tadi kita ngobrol melulu, capek aku sebenarnya. Semoga airnya tidak susut.“
Malam itu juga Poimin tidur dengan nyenyak. Dimimpinya, dirinya merasa memakai dasi, jas, sepatu yang bermerek mahal gilap-mengkilap. Dengan naik mobil sedan yang masih jring kinyis-kinyis akan menuju kantornya yang besar dan megah.

II
Hari sebelumnya sudah aku persiapkan, pakaian semua sudah aku masukkan kedalam tas. Sekarang waktunya aku harus berangkat. Tas aku letakkan di kursi panjang depan rumah. Pak Paijo belum berangkat kerja sengaja mau berangkat agak siang, menunggu Poiman dan Sukri berangkat dulu. Maknya juga belum selesai masaknya di dapur untuk mempersiapkan makan pagi. Pagi itu tidak seperti biasanya, nyeplok telor kampung dua buat persiapan anaknya yang mau berangkat jauh ke Surabaya.
“Anakmu tadi pergi ke mana lagi ?” tanya Pak Paijo yang duduk sendirian dikursi teras depan ada di samping tas Poimin.
“Kemana lagi kalau nggak kerumahnya Tumini,“ Supinah menjawab.
“Kesana lagi ? padahal malam tadi sudah ke sana sampai jam sepuluh.“
“Ya itu masalahnya, masak berpamitan tidak cukup satu kali. Hari sudah agak siang, nasi untuk sarapan sudah tidak seberapa hangat lagi. Terus itu bagaimana ? masak harus pulang tiap minggu, malah habis gajinya buat wira-wiri Surabaya sini.”
“Ya sudah make, kayak kita nggak pernah jadi muda saja.“
“Tapi dulu kitakan nggak seperti itu,” Supinah membantah.
“Ya pasti. Aku dulu tidak pernah pergi bekerja ke luar kota, selalu hidup di desa seperti ini.“
Yang jadi pembicaraan tiba-tiba muncul dari plataran depan rumah, dengan pakaian necis, baju masuk. Sambil menaiki sepedah unta warna hitam.
“Dari mana saja kamu, Min ?” tanya Pak Paijo menunggu orang yang barusan datang.
“Dari rumah Sukri. Dia masih mandi. Barusan bangun tidur, tadi malam bergadang sampai pagi di Pos Kamling.“
“Makan pagi dulu Min,“ kata maknya Poimin yang barusan keluar dari dapur, dengan memakai pakaian daster compang-camping yang penuh noda getah pisang. “Sana sarapan dulu,“ kata maknya di ulang lagi.
Poimin menurut, perutnya dari tadi sudah keroncongan. Bergegas berjalan ke dapur menuju kranji. Bola matanya berputar-putar pas melihat telor ceplok dua yang sudah siap untuk di santap.
“Itu buat lauk semua, Min,“ saut maknya dari depan.
“Semua, Mak ? bapak gimana ? “ kata Poimin.
“Bapakmu itu alergi kalau makan telor ceplok, kulitnya gatal-gatal,“ disusul suara gayu, gayu semua, buat menutupi kesedian hati yang mau di tinggal anak kesayangannya.
Nasinya agak hangat, lauk telor ceplok, perutnya lapar. Makanya kalau makan serap-serep, nambah lagi, mulut agak dilebarkan, dan tanpa menggunakan sendok. Telurnya cuma di ambil satu. Satunya buat bapaknya, sebab tau yang dibicarakan maknya tadi, kalau bapaknya makan telor nanti berakibat alergi gatal-gatal, padahal itu cuma bercanda.
Kira-kira Sukri sudah beres semua ngak ya, masalahnya dia tidak terlalu persiapan matang. Segera Poimin berpamitan pada kedua orang tuanya, dengan bersalaman mencium tangannya. Tapi dia tidak langsung berangkat. Masuk rumah sebentar, berkaca di depan almari yang sudah agak buram.
“Sudah ya Mak, Pak. Aku mau berangkat,“ sebelum bergegas pergi tiba-tiba ada laki-laki tua memakai blangkon masuk plataran rumahnya.“Kakek, Pak,“ kata Poimin pada bapaknya.
“Jadi berangkat sekarang ta, Min ?“ tanya kakeknya, yang orang kampung biasanya memanggil Mbah Gimbal. Yang tidak pernah lepas dari blangkon kesayangannya, walaupun usianya sudah berpuluh-puluh tahun. Melanggengkan kali ya ! Poimin mendekat, tangan kakeknya di pegang erat-erat sambil di cium, “Minta doa restu Mbah ya ! doakan saya dan Sukri cepat dapat pekerjaan.“
“He-ehh… itu pasti Le. Cucuku hanya laki-laki hanya kamu. Tunggu sebentar…! aku kemarin jual ayam tiga ke pasar. Ini bisa buat tambahan saku,“ Mbah Gimbal merogoh celana komprangnya, terus memasukkan uang kesaku pakaiannya Poimin. Poimin yang sudah hapal wataknya Mbah Gimbal, tidak berani menerima, walaupun cuma pesi-pesi, “Tidak usah repot-repot Pak. Uang sakunya Poimin sudah cukup untuk setengah bulan.“ canda Pak Paijo.
“Yang repot itu ya siapa ? walaupun ayam aku jual tiga, di kandang masih banyak. Apa tidak boleh aku jual ayam, buat uang jajan cucuku ?!” katanya Mbah Gimbal.
Bapaknya Poimin diam, sambil memikir omongannya tadi.
“Diperantauan yang hati-hati ya Lhe ? jaga dirimu, kalau mencari teman yang jelas, bagus budi pekertinya. Jangan setiap orang kamu akrab’i. Di kota besar itu isinya campur baur, orang dari mana-mana, beda adat dan kebiasaan,“ nasihat Mbah Gimbal sambil memegang pundaknya Poiman, dengan mengeluarkan sedikit air mata, “ Ya Kek, pasti akan saya ingat-ingat. Assalamu alaikum…..” Jawab Poimin dengan suara agak tersendat-sendat. Kemudian berjalan kerumahnya Sukri, yang berjarak satu gang dengan rumahnya.
Yang ditinggal, orang bertiga, masih tetap di depan teras rumah. Memikirkan orang yang barusan meninggalkan rumah. Kemudian si Mbah berpamitan kepada Paijo, “ Aku tak pulang dulu, ayamnya belum aku kasih makan tadi. Sudah, Nah ya, jangan terlalu memikirkan anakmu. Doakan saja, semoga selamat dan cepat dapat pekerjaan.“
“Ya Pak, berhati-hati,“ kata maknya Poimin.
“Tidak usah kau ingatkan. Walaupun sudah tua, aku masih kuat ! mataku masih jelas. Apabila tidak di cegah Mbokmu, aku ini masih kuat kok memanjat dua puluh pohon sehari ! “ yang diingatkan naik pitam.
Anak perempuan dan menantunya cuma geleng-geleng. Ada orang, mulai kecil sampai tua bangka, kasarnya minta ampun. Tapi kok tadi suaranya agak serak-serak basah, kelihatan kalau mau menangis. Orang berdua kemudian masuk rumah.
“Berangkat sekarang Pakne ?” tanya Supinah sehabis dari dapur.
“Nanti dulu, aku akan ke rumah Bang Jombloh sebentar, kemarin aku pesan bengkol, katanya pagi ini sudah jadi.“
“Apa bengkolnya sudah rusak ?“
“Sebenarnya belum, tapi umurnya sudah bertahun-tahun. Nanti khawatir putus pas buat ngagkat bumbung.“
“Lho, kayaknya kamu kemarin juga pesan deres ? “
“He..eh, tapi dijanjikan sepuluh hari lagi.“
“Kok lama banget.“
“Ya iya lah..! rumahnya jauh banget. Pandantoya sana, Wates masih ke timur.“
Setelah itu yang laki-laki pergi kerumahnya Jombloh. Supinah menanyakan bumbung yang diangkat sejak tadi pagi. Tidak sampai seperempat jam selesai. Kemudian pekerjaan lain ngak ada habis-habisnya sudah menunggu. Yang dikerjakan dulu mencuci pakaian yang sudah menumpuk di pojok kamar. Khawatir kalau hujan seperti kemarin, sampai beberapa hari. Kelihatannya musim penghujan mulai tiba, matahari sudah condong ke selatan. Waktu sore burung terik terbang dari utara. Arah angin sering berubah-ubah, debu didedaunan bertebaran kesana-kemari. Bulan depan sudah masuk bulan Oktober.
Pas lagi mencuci pakaian, dari dapur terdengar suara bumbung bertatapan. Supinah segera masuk dapur.
“Sudah jadi, Pakne ?“
“Sudah, sekarang mau aku pakai.“
“Jadi kayu jati ?“
“Ya iya lah. Pesanku seperti itu. Sebenarnya Kang Jombloh tadi minta tambahan, alasan kayu jati naik harganya“
“Lha terus ? kamu janjikan.“
“Ya, aku janjikan. Uang dari Yu Pariyah kemarin masih sisa ngak ?”
“Iya masih, Kang Jombloh tadi minta tambahan berapa ?”
“Ngak berani bilang, katanya, yang penting bisa buat beli rokok.”
“Kalau yang diinginkan rokok satu toko !” kata Supinah sambil ngeledek, “ Terus, mau kamu tambah berapa ?” lanjutnya.
“Kalau menurutku ya lima ribu saja.”
Emaknya Poimin masuk kamar, kembali sambil membawa uang lima ribu, kemudian diberikan suaminya, “Ini, kamu berikan sekarang. Orang itu kalau mencari hutang, seperti orang menagih, tapi kalau di tagih mbuletisasi, seperti sini yang mau hutang.”
“Jangan seperti itu Makne !, mungkin otaknya belum dapat pencerahan, merasa kalau dirinya berkuasa, anggaplah kita ini rakyat kecil,“ suaminya menerima uang, kemudian memasukkan ke saku celananya. Supinah mbatin, seharusnya namamu dulu bukan Paijo, tapi Sabar.
Pak Pijo yang maunya mau berangkat ndares terpaksa gagal, menuruti omongan sampingnya supaya memberikan uang ke rumah Jombloh. Sejak dulu tetangga yang kelakuannya mbandel , mbulet, ruwet, dan sok berkuasa, bisa di lihat. Tapi orang-orang kalau pesan pisau, bangkol, arit, ya ke Jombloh yang terkenal bagus.
Orangnya lagi duduk-duduk rokoan di teras depan, dengan meletangkan kakinya di atas meja. “Ini Kang Mbloh uang yang kurang tadi,“ kata Pak Paijo tanpa basa-basi.
“Lho, kok langsung Kang Jo, padahal aku tidak terburu-buru untuk memakainya kok !” perkataannya Jombloh, berbeda dengan batin si Paijo.
“Apa Kang Jombloh tidak butuh rokok ? atau rokok kang Jombloh masih satu karung ?” yang diajak bercanda tidak menggubris, ribut memasukkan uang lima ribu ke dalam sakunya. Batin si Paijo bertanya-tanya pada dirinya. Apakah semua watak dan pemikiran penguasa seperti itu ya…? coba kalian analisa dengan pemikiran kritis.
Keluar dari plataran rumah sukri, remaja tersebut berjalan menyusuri kampung di pagi hari yang sepi. Jalan dalam keadaan becek, kemarin sore hujan lebat. Poimin dan Sukri adalah teman satu kelas sejak SD sampai SMP, mulai pisah sejak lulus dari SMP. Poiman masuk SMAN, sedangkan Sukri masuk STM mesin. Tapi kalau pas di kampung, tetap menjadi kawan seakrab. Dimana ada Poimin, disitu ada Sukri. Wajah keduanya hampir mirip, cuma Poimin kulitnya agak hitam. Orang yang tidak pernah bertemu dengan Poimin dan Sukri, mengira sebagai saudara sekandung.
Setelah berjalan menyusuri kekampungan, barulah dia sampai di perempatan. Tidak lama kemudian ada bus berhenti didepannya. Tanpa bertanya, Sukri cepat-cepat naik dengan di susul Poimin. Kebetulan bus yang ditumpanginya menuju ke Malang. “ Kemana, Dik ?” tanya kernet sambil mempersiapkan spidolnya.
“Ke Surabaya, Mas, tapi entar turun di pertigaan Polorejo saja,” Sukri menjawab sambil duduk.
Si kernet tidak jadi memakai spidol. Kembali diselipkan lagi ketelinganya. “Seribu !” ucapannya sambil mendekat.
“Naik ya, Mas ?” tanya Sukri dengan rasa kurang percaya.
“Sudah lama, Dik. Hampir satu tahun, kamu aja yang ngak pernah ke luar kota.”
Poimin memberikan uangnya tanpa bercanda. Kernetnya agak sinis, sambil melangkah ke depan.
“Karcisnya, Mas?” Sukri tanya dengan rasa kurang terima.
“Dik…Dik. Cuma kesitu aja minta karcis !”
“Kamu juga seperti itu, cuma kesitu aja bayar seribu,” Sukri tidak mau ngalah. Si kernet tidak mau beradu mulut. Kemudian melangkah ke depan.
“Pertigaan Polorejo !” teriakan si kernet menyindir Sukri yang masih mau protes. Sukri ngak merasa tersinggung, namun hatinya tetap menggerundel, teringat uang yang seribu yang dianggap terlalu mahal.
“Kakinya dulu, Dik !” kernet berambut panjang teriak menyindir ketika Poimin dan Sukri mau turun.
“Mas, tolong dijaga mulutmu,” anak tamatan STM itu muntap. Setelah turun, genggaman tangan Sukri diarahkan ke kernet bus. Tunggu pembalasanku, Mas ! tanpa rasa malu bermuka merah, kemudian mengikuti Poimin yang sudah nyebrang duluan di utara jalan. Tanpa di duga, ada sepedah motor dari barat ngebut. Sukri melompat kepinggir jalan, sepeda motor terus lurus seperti tidak ada apa-apa. Poimin yang sudah dulu di pinggir jalan bengong, merasa kaget. Sukri kemudian berteriak misuh kearah lajunya sepeda motor, dalam kodisi marah.
Dari barat ada bus datang, melaju agak pelan, kemudian berhenti. “Surabaya, Mas, kosong !” kernetnya merayu sambil turun. Sukri duluan naik. Katanya kernet itu benar, masih banyak kursi kosong. Sambil matanya clilang-cliling cari tempat yang nyaman, syukur kalau bisa duduk dengan cewek cantik. Tapi setelah melihat-lihat, tidak ada yang bisa buat obat kanthuk. Sukri memegang lengan kanannya Poiman, mengajak duduk di baris nomor tiga dari belakang sopir.
Samapi masuk di kawasan Jombang kota, lajunya bus sering berhenti seperlunya, menurunkan dan menaikkan penumpang. Bikin jengkel penumpang lain, baru naik jarak tiga ratus meter, sudah minta turun lagi.
“Oalah…Mbokde, jarak tiga ratus meter aja naik bus !” ucapan anak-anak muda yang duduk nomor dua dari depan. Penumpang lain bicara desas-desis. Kondekturnya cuma senyam-senyum.
Tapat depan terminal Jombang penumpang lain sudah tidak dapat tempat. Baunya keringat sudah amat tidak karuan. Kursi yang ditempati Poimin dan Sukri sekarang isinya bertambah satu, orang peranakan bercelana pendek, sandal jepit serampang hijau, membawa tas plastik dengan model rambut poni yang sudah bercampur uban. Ya, keringat orang tersebut yang membuat Poimin dan Sukri hampir muntah. Dalam hatinya dia berpikir, tadi berharap-harap duduk dengan cewek cantik, malah sekarang kok duduk dengan orang seperti ini.
Sampai di Peterongan, orang tersebut teklak-tekluk ngantuk. Kepalanya sedikit bergeser ke tengah, tepat di atas pundaknya Sukri. Tas plastik jatuh tanpa di rasa. Sukri yang merasa sudah grundel, terpaksa menggeser orang tersebut. Agak kaget, ketika Poimin nyeblek kakinya Sukri dengan menunjuk bungkusan plastik yang bergelantungan di atas. Yang di ceblek tanggap, kemudian berdiri.
“Ini..!” Sukri memberikan tas plastik yang di ambil dari centelan. Selang beberapa detik, Poimin hoak-hoek muntah. Sukri menjadi bingung, perutnya sendiri sudah mulai merasa mual-mual. Menoleh ke kiri bau keringat, ke kanan Poimin mabuk. Akhirnya sukri malah ingin ikut-ikutan tidur, dengan sedikit menggeser orang tersebut. Tiba-tiba kepalanya orang tersebut merunduk ke bawah.
Sukri merasa mual-mual akan baunya orang tersebut. Dengan menutupi hidung, sambil mengontrol keluar masuknya pernafasan. Pada saat itu Poimin baru tuntas menguras isi dalam perutnya. Tas plastik isinya kulup kangkung dan nasi yang sudah basi, segera dibuang lewat jendela, tanpa menghiraukan orang yang lewat. Tanpa disengaja Sukri kaget, pas melihat air lendir yang mengenai celananya. Dari mana lagi kalau ngak dari mulut yang tidurnya ngowoh. “Om….Oom !” berteriak sambil memukul kakinya. Yang di pukul njingkat kaget, “Ada apa…?” tanya dalam keadaan gugup.
“Ini !” jawaban Sukri cepat, sambil menunjukkan lendir yang mengenai celananya.
“Oo..Sory…Sory ya,” dengan perasaan takut, segera mengambil sapu tangan di saku celana pendeknya. Tangan terasa gemetar, ketika membersihkan lendir yang menempel dicelenanya Sukri.
“Kalau tidur di atur, Om, mending nggak uasah bepergian kalau kagak kuat bawa kepala,” ucapan dengan nada marah.
“Benar…Saya minta maaf, Dik. Semalam aku nggak tidur. Menunggu nyonya di rumah sakit,” bicara dengan muka agak melas. Ngantuknya terus hilang, sampai turun di Brangkal.
Setelah orang tersebut turun, bekas tempat duduknya tidak ada yang menempati. Berhenti di terminal Mojokerto, tidak ada penumpang yang naik. Sukri mulai merasa agak ngantuk liyer-liyer, akhirnya tertidur sampai pulas, setelah itu di susul oleh Poimin.
Suara klakson bersahutan, Poimin dan Sukri bangun dalam keadaan bengong. Dengan kondisi mata agak surup. Poimin lingak-linguk, kelihatan kalau bingung, “Sudah di mana ini, Kri ?”
“Bungur…! Bungur…! Surabaya terakhir,” kata Sukri. Kedua anak tersebut sedang antri mau turun.
“Kalau ke rumah pakdemu, naik apa, Kri ?”
“Bus kota. Ayo, ikuti saja aku !” saut dengan tegas. Kemudian berjalan menuju ke arah bub-bus kota. Poimin yang baru pertama datang di Surabaya, ikut ngintil dibelakangnya Sukri.
Tanpa mendengarkan ucapan para calo-calo, yang menunjukkan arah bus kota. Sukri mencari bus ke arah Joyo Boyo. Walaupun datang ke Surabaya jarang-jarang, belum tentu satu tahun sekali, tapi gayanya kayak orang asli situ. Tidak mau tanya-tanya, gengsi !.
“Bus nomor dua aja, Min, biar dapat tempat duduk,” yang diberi aba-aba pasrah. Ketika melihat bus yang depan sendiri, ternyata benar, penumpang penuh. Sebaliknya, bus nomor dua masih banyak yang kosong. Jarak sebentar, setelah bus pertama berangkat, penumpang sudah bergerombol antri naik bus yang besar itu. Walaupun kursi begitu banyaknya, namun sudah penuh semua, bahkan puluhan penumpang banyak yang berdiri.
Poimin tidak tahan dengan kondisi panas, gerah. Segera mau membuka kaca. Sukri hanya melihat pola tingkah temannya itu, tanpa berniat membantu. “Percuma, Min ! semua jendela bus kota ya seperti itu, parah !” selanjutnya Poimin pasrah. Kemudian membuka kancing bajunya.
Di dalam bus suasana Sukri bertambah sebel, pas melihat anak kecil lagi ngamen. Dia geleng-geleng pas di sodori wadah plastik. Poimin memberikan lima ratus, “Kebanyakan, Min !” katanya Sukri.
Setelah pengamen satunya turun, kemudian disusul pengamen anak-anak muda. Yang rambutnya di cat merah pegang gitar, yang hidungnya ada anting-anting pegang ketipung, satunya lagi pegang wadah plastik. Terus membawakan lagu dangdutan. Selesai lagu satu, disusul dengan lagu lainnya, sampai dapat lagu tiga. Bagian yang pegang wadah plastik, sudah repot anthung-anthug.
Sekali lagi uang lima ratus lepas dari tangan Poimin, walaupun sebenarnya dia tidak suka sama sekali dengan lagu tersebut. Dari pada berantem dengan pengamen itu, yang gayanya seperti artis kesiangan. Lebih baik memberikan uang lima ratus, biar lebih aman.

III

“Yu Yem !” terdengar suara perempuan dari ruang keluarga. Piring yang lagi di cuci cepat-cepat ditaruh, sambil menjawab. “Ada apa, Bu !” jarak sebentar orang yang di panggil datang
“Ini, Yem, aku dan bapakmu mau ke Kapasari. Kamu hati-hati di rumah. Kalau ada tamu sekiranya kamu tidak kenal, jangan izinkan masuk. Terus, apabila ada telepon, bilang aja Bapak dan Ibu sedang pergi. Sudah jelas ya, Yem ?!”
“Ya, Bu, tapi Mas Budi nggak ikut pergi kan ?”
“Ngak, dia masih tidur di kamar.”
Setelah itu Sayem kembali melanjutkan cuci-cuci piring sampai selesai, kemudian mencuci beras buat makan siang. Ternyata orang kota itu kalau makan harus serba baru. Menu makan pagi, siang, dan makan malam itu sudah beda. Tidak seperti di kampungnya Sayem, mulai pagi sampai malam menunya tetap.
Setelah masak nanti, mencuci pakaian, tapi tidak terlalu berat, karena ada mesin cuci. Tugas yang lain ngepel dan nyetelika. Kompor gas baru saja di hidupkan, ceklek…. Langsung nyala. Sudah mulai hafal, kemarin sore latihannya. Nyalanya api yang biru itu di pelototi oleh Sayem. Tidak mengeluarkan langseng, tidak seperti kayu baker.
Sayem yang lagi melihat nyalanya kompor, jingkat kaget ketika ada suara telepon, hatinya deg-deg. Bagaimana cara menerima telepon, kok belum di ajari kemarin. Dirinya bertambah bingung. Mau membangunkan Mas Budi tidak berani.
Kemudian merasa tenang pada saat telepon berhenti dengan sendirinya. Setelah mau masak daging sapi yang sudah ada di panci, kembali telepon tersebut berbunyi seperti orang menjerit. Tanpa berpikir panjang, Sayem berteriak, “Orangnya tidak ada…pergi !” tapi telepon itu terus berbunyi. “Kamu itu punya telinga apa nggak, sih ? orangnya tidak ada !”
Akhirnya telepon itu berhenti dengan sendirinya. Sayem merasa lega. Kemudian mencuci daging di kran, celaka, telepon kembali menjerit. Sayem menghiraukan jeritan telepon itu, terus melanjutkan aktifitasnya sampai telepon tersebut berhenti.
Setelah itu, “Halo…” terdengar suara laki-laki. Sayem kemudian jinjit-jinjit, mengintip dari candela belakang. Ternyata itu Mas Budi, anaknya Pak Bos. Anak muda gondrong pakaik anting, lagi duduk sambil telepon. Setelah selesai telepon, anak tersebut kembali ke kamar.
Sayem sudah selesai masak. Melihat jam di atas pintu, kira-kira waktunya masih cukup untuk membersihkan lantai dan mempersipkan makan siang. Sebelum ngepel, bel pintu depan berbunyi. Segera bergegas ke ruang tamu sambil membukakan pintu.
Di depan pintu chorot-chorot dua yang belum pernah dijumpai. Sayem mbatin, apa ini temannya Mas Budi, ya ? pintu depan di buka lebar, kemudian dirinya mendekat, “Mau mencari Mas Budi, ya ?” tanya dengan nada sok tau.
“Itu, Bulek, saya dari Pare, keponakan Pakde Ponidi. Kamu pembantu baru, ya ? kok tidak tau saya !” Sukri tanya.
“Bapak dan Ibu tidak pernah bilang kalau punya saudara di kawasan Pare,” jawab Sayem.
“Ya sudah, Bulek, aku mau masuk.”
“Nggak bisa. Pokoknya orang yang patut dicurigai tidak boleh masuk rumah !”
“Tidak percaya kalau saya keponakan Pakdhe Ponidi !”
Sukri kebingungan, grayah-grayah ngambil dompet, mau menunjukkan KTP-nya. Sebelum KTP dikeluarkan, terdengar suara orang batuk dari pintu dalam. Tanpa di sengaja Sukri teriak, “Mas Budi…!”
“Dik Sukri ! kok nggak masuk ?!”
“Nggak boleh sama Bulek, Mas !“
“Ayo silahkan masuk,” suruh Mas Budi. Kemudian Sukri masuk, di susul Poimin dibelakangnya. “Kenalkan Mas, ini Poimin, temanku bermain sejak kecil. Min, ini Mas Budi, putrane Pakdhe, pemain gitar. Gimana Mas, masih sering manggung ngak ?”
“Tadi malam manggung. Makanya ini tadi bangun kesiangan.”
“Masih tetap gabung dengan Gembel 87, Mas ?”
“Nggak, udah ganti.”
“Grup yang dulu sudah bubar, Mas ?”
“Ya, biasah. Dimana-mana juga seperti itu,” Budi anak tunggal Pak Ponidi, Poimin dari tadi cuma mendengarkan pembicaraan kedua anak tersebut. Poimin jadi tertarik, walaupun dia pernah menjadi anak band waktu SMA.
“Bubare band yang masih blajaran kebanyakan karena perebutan ide. Tapi kalau sudah terkenal, menjadi rebutan rejeki…Ojir !”
“Anak Pare masak ngerti Ojir ?”
“Poimin punya banyak saudara di Jombang, Mas !”
“Oo…Kera ngelam…”
Budi kemudian kebelakang mencari sayem yang sedang mempersipkan makan siang, “Bi, tamunya tolong buatkan minuman !”
“Sudah Dhoro, tapi sekalian makan siang.”
“Sudahlah, tolong bawa kedepan sekarang.”
Minuman jeruk di bawa Sayem keruang tamu. Selanjutnya, kembali keruang makan melanjutkan pekerjaannya. Tanpa di duga Pak Ponidi datang, tepat jam satu siang.
“Baru pulang, Pakde ?” nyapa sambil mengankat tanga, ngajak berjabat tangan.
“Dari Kapasari, memberitaukan adiknya Budhemu.”
“Lho… Pakdhe kok nggak ngantor ?”
“Aku sudah pensiun, Lhe. Hampir lima bulan ini.”
“Oo…..” kata Sukri sambil gerak-gerakkan kepalanya.
Kemudian Pak Ponidi ikut rembuk di ruang tamu. Perut semakin keroncongan, semua di suruh Sayem masuk ke ruang makan.
“Ayo Lhe, makan dulu. Tapi seadanya, kamu akan kesini ngak ngabari dulu sih. Athuka Pakdhemu rak mbeleh Untho,” kata Bu Ponidi sambil bercanda.
Budi duluan nyendok, dari tadi perutnya belum kemasukan apa-apa. Poimin kelihatan rikuh, kalau di rumah ngak ngak pernah makan seperti ini, pakai garbu dan sendok. Rasanya khas, Poimin belum pernah merasakan sebelumnya.
“Ayo, nggak usah malu-malu. Seperti mas itu itu lho, Lhe…” Pak Ponidi mempersilahkan Poimin yang agak malu-malu kucing.
“Boy, Pak. Bukan Lhe… “ Budi nanggapi pembicaraan ayahnya yang belum selesai ngomong. Poimin merunduk, tidak bicara, meneruskan makan. Tanpa sengaja melirik piringnya Pak Ponidi dengan perasaan kagum, piringnya sudah bersih, sendok dan garbunya sudah digulingkan, kok belum pergi dari tempat duduk ? menoleh, Mas Budi juga sama saja. Setelah semua selesai, Pak Ponidi duluan berdiri. Kemudian kembali ke ruang tamu, di susul oleh yang lain.
“Apa kalian tadi sudah Sholat ?”
“Sudah, Pakdhe. Ikut berjamaah di Mushola sebelah.”
“Kalau begitu aku Sholat duluan. Ayo, Bud..!” yang di ajak bergegas melangkah.
Suasana ruang tamu kelihatan sepi. Tidak ada yang bicara. Poimin dan Sukri sudah merasa capek dan ngantuk.

IV
Cleaning Service

Berkat Pak Ponidi, Sukri dan Poimin di terima bekerja di kebun binatang. Menjadi tukang kebun, pekerjaan yang tidak diduga sebelumnya. Cari pekerjaan zaman sekarang memang sulit, terpaksa kedua anak tersebut harus melakukannya. Pak Ponidi juga pernah mengatakan,”Sabar dulu, ini cuma sementara, Min. Tidak usah khawatir kamukan punya ijazah SMA.”
Hari demi hari pekerjaan terasa berat bagi Sukri, karena selama di kampung belum pernah melakukan aktifitas seberat itu. Hatinya sering gerundel,”Kalau sebelumnya tau bekerja seperti ini, aku ngak bakalan kesini, Min. Mending di rumah saja. Ini penindasan namanya, gajinya tidak seberapa, beratnya pasti.”
“Kri, yang punya idekan kamu sendiri. Kalau kamu pingin cari pekerjaan lain, ya sering-sering baca surat kabar atau buka usaha sendiri, itu lebih baik dan produktif.”
“Iya, ide bagus. Aku sudah bosan bekerja seperti ini. Kita cari yang lain aja. Bayangkan, Min, kalau kita terus-terusan disini. Pada saat nyapu-nyapu terus ketemu tetangga, saudara, dan teman-teman atau guru kita dulu. Apa nggak malu ?”
Poimin diam sebentar, memikirkan nasib yang sedang dijalaninya. Masak tamatan SMA jurusan IPA dari sekolah faforit kok sekarang bekerja seperti ini. Ah, seandainya orang tuaku punya biaya, aku pasti akan meneruskan keperguruan tinggi.
Angan-angan itu tiba-tiba kabur, setelah dia kejatuhan buahnya pohon termbesi. Poimin kaget jingkat, kembali lagi ke dunia nyata.
Lagit tadi pagi kelihatan cerah, tapi sekarang kok ditutupi awan mendung !. keadaan semakin panas gerah, ditambah lagi ngak ada desingan angin lewat. Pepohonan semua terdiam. Pada saat itu Poimin dan Sukri istirahat untuk sholat Dhuhur kemudian melanjutkan lagi nyapu di depan kandang monyet. Tidak diduga, tiba-tiba ada orang perempuan berteriak, “Tolong…Tolong…Copet…Copet…” Suara itu diikuti anak muda berlarian sambil membawa tas, yang menuju kearah Poimin dan Sukri. Poimin siaga, setelah penjambret mendekat kearah Poimin, segera dia melompat menghadangnya. Si jambret kaget sebentar, tiba-tiba dia mengeluarkan clurit.
“Minggir ! kamu mau daftar mati ?!” tanya bengis dengan membentak.
Poimin tidak takut sama sekali, dia juga pernah ikut latihan beladiri di mushola Mbah Dhemo. Sapu di pegang erat-erat, siap ditonjokkan kearah bengis, cras…cras...Sabetan clurit mbabat sapu. Potongan ujung sapu berserakan di bawah.
Doanya Poimin sudah terbukti. Potongan ujung sapu mengenai matanya jambret, dengan rasa terpaksa memejamkan mata. Di susul Poimin meletakkan tongkak kakinya di atas dada si jambret. Sampai orang tersebut ketakutan, tidak sadarkan diri. Puluhan kepalan tangan bergerombol dari arah belakang datang menghampiri bengir.
Puluhan kepalan mulai berhenti beraksi ketika Satpam datang. Si bengir dengan muka merah-menjarah, disiram air oleh Satpam, kemudian baru bisa sadarkan diri. “Bunuh aj… Bakar !” terdengar suara dari belakang.
Ketiga Satpam kemudian tanggap untuk membawa ke pos pengamanan. Puluhan kepalan tangan mulai bubar, tinggal Poimin, Sukri, dan pemilik tas yang masih di tempat. Wajah manis itu masih menampakkan rasa pucat, kedua tangannya memegang erat tas yang hampir hilang tadi.
“Kamu yang punya tas itu tadi, Mbak ?” Poimin datang bertanya. Dia lebih akrab bergaul dengan cewek dibanding Sukri yang kebanyakan temannya cowok.
“Iya, terimakasih. Untung tadi ada kalian. Apabila tidak ada, pasti sudah melayang,” jawabannya lirih.
“Sebenernya itu tadi tidak sengaja kok, pas lagi nyapu-nyapu,” kata Poimin.
“Jadi kamu bekerja ditempat ini, ya ?”
“Ya, Cleaning Service.”
“Tidak apa, yang penting halal,” Perempuan tadi merogoh tasnya, mengambil dompet, memberikan hadiah Poimin. ”Jangan tersinggung, Mas, sedikit uang ini buat tanda terima kasih saya.”
Cewek itu maju satu langkah, Poimin mundur dua langkah, “Nggak, Mbak. Waupun kamu paksa, aku tetap ngak mau menerima,” kata Poimin agak sereng.
“Ya sudah, kalau nggak mau menerima. Tapi, Mas maukan menerima ucapan terimakasihku ?” si cewek memaksa. Dengan rasa terpaksa Poimin manthuk. “Sekarang gini, Mas, ini kartu namaku, kalau pingin kamu simpan aja. Kalau kamu bosan disini, langsung aja datang kerumahku, mungkin papaku bisa membantu,” katanya sambil memberikan kartu nama.
Poimin menerima, langsung dimasukkan ke dalam sakunya. “Oya, Mas, nama kamu siapa ?”
“Poimin, kamu bisa panggil Boy,” kata Poimin.
Mendung putih di langit berubah menjadi klawu petang. Kebun binatang sudah mulai kelihatan sepi
“Kamu kok nggak ngomong sama sekali, Kri ?” tanya Poimin sambil mendekat melihat Sukri yang lagi nyapu.
“Males, Boy. Itukan garapanmu. Eh, itu tadi orang Jawa atau Cina ?”
“Orang Jawa kali. Di lihat dari kuluitnya sama seperti kita, sawo matang.”
“Tapi matanya…! Coba kamu lihat kartu nama yang ada dalam sakumu ! biar jelas,” Poimin merogoh sakunya.
“Ya ini, namanya Susanti, masak dia orang Cina !”
“Boy, nama tidak bisa menjadi patokan. Contoh teman SMA-mu Pare, namanya Cik Gemi, Koh Waras. Gimana kalau seperti itu ?”
Orang jadi pembicaraan sudah pergi. Poimin semakin bingung, beranggapan kalau susanti orang Jawa tulen.
“Tapi nggak tau juga Boy, orang Jawa apa Tionghoa, yang penting anak itu manis,” kata Sukri.
“Kamu naksir ya ? ini alamatnya, Darmo kawasan elit. Eh, kamu nggak salah lihat, masak seperti itu kamu bilang manis !”
Sukri mengalihkan pandangan, cuma sebentar. “Terus, kalau menurutmu ?”
“Kalau menurutku, nggak cuma manis, tapi manis buanget, ada tambahan bangetnya biar mantap.”
Keduanya tertawa terbahak-bahak, sudah lupa dengan sapu, cikrak, dan sampah yang belum dibawa pergi itu.
“Menurutku, Kri, yang lebih penting lagi, dia bilang, kalau kamu ngak betah kerja disini, kamu datang aja kerumahku. Siapa tau sana bisa mencarikan pekerjaan yang lebih enak.”
“Lha terus aku ! kamu tinggal sendirian disini dengan monyet-monyet itu ?”
“Ya ngak lah, pasti kuajak sekalian. Sebaya mukti, sebaya pati,” kata Poimin.
“Sungguh ya ? kalau ngak, Tumini aku beritau kalau kamu selingkuh dengan orang Tiongkok. Tetap yakin aku, kalau Susanti itu orang Cina, kalau memanggil ayahnya aja papa.”
Air hujan mulai turun deras. Kedua anak tersebut berlarian sambil membawa sapu dan cikrak.
Lewat tengah malam, rumah di kawasan Bumiharjo sudah tertutup semua. Pak Ponidi sudah masuk kamar sejak jam sembilan tadi. Budi belum pulang, masih manggung musik di Café. Poimin dan Sukri belum bisa tidur, masih membicarakan cewek yang ditemui di tempat kerjanya. Tidak masalah cantik dan manisnya, tapi masalah pekerjaan yang ditawarkan.
“Gini lho, Kri, aku sebenarnya ingin cari pekerjaan yang lebih enak. Otomatis kita harus pindah dari sini. Kursus gitar dan keyboard gimana, sayang, mumpung ini gratis.”
“Apa kita harus pindah dari sini, kalau dapat pekerjaan baru ? aku yakin Pakde, Budhe, dan Mas Budi ngak keberatan kalau kita tetap tinggal disini.”
“Itu kalau dekat. Apabila jauh ?” tanya Poimin.
“Jadi kamu nggak pingin merubah nasib ? kalau menurutku, Boy, perkara keyboard itu gampang, yang penting cari pekerjaan dulu,” Sukri memberikan semangat.
“Kalau kamu tetap nekat ya terserah, Kri, aku bersabar dulu bekerja disini. Tapi ingat, yang ditawari tadi aku, bukan kamu.”
Sukri diam. Perkataan Poimin mirip pertandingan catur skak mat. ”Aku tadi cuma mengusulkan, kalau mau. Tapi kalau nggak juga tidak apa,” nada omongannya Sukri semakin rendah. Mau ke rumah Susanti sendirian ya percuma, dia ngak kenal sama aku. Merasa menyesal, ngapain dulu ngak kuajak kenalan.
Poimin cuma diam, sambil ngedip-ngedipkan matanya, ada sesuatu yang dipikirkan. Keduanya njengkirat kaget, ketika terdengar suara pintu depan di buka. Jarak sebentar terdengar mesin mobil, suaranya semakin lama semakin menjauh. Poimin dan Sukri sudah hapal betul, itu pasti Mas Budi baru pulang dari manggung. Setiap manggung ya seperti itu, ngak mau bawa mobil pribadi. Selalu numpang temannya, lebih praktis.
Poimin duluan keluar dari kamarnya, sambil disusul Sukri yang ote-ote.”Ada apa, sudah malam kok belum tidur ? gerah, ya ?” orang yang barusan datang bertanya dengan membawa tas plastik.
“Panas, Mas. Padahal sore tadi hujan deras.”
“Kalau nggak panas itu bukan Surabaya namanya. Itu ada nasi goreng dan mie di tas plastik, silahkan di makan.”
Poimin berpikir-pikir orang sini jarang mau menanam pohon, polusi udara semakin parah, tiap tahun langganan banjir, hawa terasa sangat panas. Kok ngak seperti di kampung ya ?. padahal bisa juga menanam pohon di sekitar rumah, samping jalan, tanah-tanah kosong. Reboisasi adalah jalan terbaik Apa kata anak cucu kita nanti, kalau keadaannya seperti ini terus. Kita harus bangkit. Poimin kelur dari lamunannya, ketika Sukri mengajak makan. Tas plastik di buka Sukri, terdengar kremesek. Tidak salah kalau orang Ngoro mengatakan tas beribut, tas yang bikin suara ribut. Dengan rasa kurang sabar, tas itu langsung di sobek.
“Milih mie atau nasi goreng, Min ?”
“Biasah nasi gereng dan mie,” jawaban Poimin.
Mie dan nasi gorengnya dibagi setengah-setengah. Budi menunggu sambil membaca buku sastra. “Nggak langsung tidur, Mas ? besokkan ada kuliah,” sapaan Sukri.
“Kuliahnya besok agak siang, jam sepuluh. Tolong besok bangunkan aku jam setengah enam. Biar ngak kehabisan waktu sholat subuh, lagian jam enam aku mau ke Sepanjang, ngambil gitar.”
Budi Pranoto kelihatannya keras, tapi baik dan taat beribadah. Dari kamar terdengar suara gitar pelan dan halus. Lagunya zaman Sepur Lempung “Visions” Cliff Ricard. Sudah kuno, namun banyak yang masih suka, lebih-lebih orang yang sudah masuk lansia. Poimin masuk kekamar Mas Budi, melihat suara klentingan gitar,” lagi keseret memory Mas, ya ?” tanya Poimin setelah berhenti lagunya.
“Memory apa, Dik ? tadi aku pas manggung ada yang minta lagu itu, memang lagu itu sudah lama, jarang-jarang terdengar. Apa kamu mau main ?” tanya Budi setelah suara sudah sepi.
“Udah males, Mas, aku mau tidur, ngantuk nich,” jawab Poimin sambil keluar dari pintu kamar. Sukri sudah tidak ada, duluan tidur. Jam menunjukkan pukul dua duapuluh.
Baru masuk kamar, tiba-tiba hujan sangat deras. Suara gitar sudah tidak terdengar lagi, mungkin Mas Budi sudah tidur. Suasana yang tadinya panas, sumuk, berubah terasa agak dingin. Tapi Sukri sudah tidur dalam kondisi ote-ote, nyamuk yang menggigit badannya sudah tidak di rasa lagi. Poimin segera mengejar temannya yang sudah duluan tidur.
Poimin duluan bangun ketika terdengar azan Subuh. Sukri masih ngorok di hoyong-hoyong sampai bangun, diajak sholat berjamaah ke mushola sebelah. Kelihatan masih ngantuk, tidurnya masih belum lama, tetap dipaksa untuk bangun. Rasa ngantuk hilang ketika setelah mudhu. Sukri bertambah semangat, pas melihat Pakdhe dan Budhenya juga sudah siap-siap mau berangkat ke mushola, walaupun kondisi di luar masih gerimis rintik-rintik.
“Masmu nggak kamu bangunkan sekalian, Min ?” Pak Ponidi tanya.
“Kasihan, Pakdhe, tadi malam jam dua masih belum tidur.”
“Wah, terus gimana ini ?” tanya Pak Ponidi dengan berjalan mengambil kunci di atas TV. “Payung cuma dua, yang satunya di bawa Yu Yem ke pasar.”
“Sudah Bude, nggak apa. Saya dan Poimin tidak pakai payung juga tidak apa-apa. Hujan ngak terlalu deras, kok !” orang berempat kemudian berangkat nyasak gerimis. Gang-gang masih kelihatan sepi, pintu-pintu masih tertutup rapat.
Keluar dari Mushola gerimis semakin deras. Pak Ponidi sudah duluan pulang. Poimin dan Sukri berjalan setengah lari dalam kondisi kehujanan. Jalan tetap sepi, seperti pas berangkat tadi. Mungkin kebawa hawa dingin, orang-orang jadi malas meninggalkan tempat tidurnya. Padahal biasanya jalan ngak seperti ini, jam-jam segini orang sudah jalan-jalan, berolahraga. Hujan ini tidak seperti biasanya, Jl Ciliwung dan Jl Kutai yang tanahnya agak rendah kebanjiran, tepat setengah ban mobil.
Dari pagi tadi sampai mau berangkat bekerja, Poimin dan Sukri kelihatan murung, tidak jelas apa yang menjadi permasalahan. Pakdhenya sedang membaca Koran di teras depan, kemudian tanya,“Sejak pagi tadi kok kelihatan murung ? sudah siang, cepat berangkat. Kalau takut hujan, bawa paying itu.”
“Itu Pakdhe…Jl Ciliwung banjir. Setengah ban mobil. Saya bingung harus lewat mana ?”
“Makanya jadi anak jangan di rumah melulu, jalan-jalan biar tau keadaan. Lewat sini, ketimur aja, tapi agak lama. Kalau seperti dulu masih enak, lewat belakang, tapi sekarang sudah ditutup tembok. Orang-orang sini dulu kalau mau masuk lebih gampang, langsung kebelakang, gratis lagi.”
“Apa nggak dijaga ?”
“Tapi itu kadang-kadang. Harus bagaimana lagi, seperti kampung sendiri. Penjaganya kebanyakan orang kampung sini.”
“Ya sudah Pakdhe, saya berangkat dulu,” kata Sukri yang bingung mau berangkat kerja.
Walapun berangkatnya agak kesiangan, namun tidak tergesa-gesa. Hari ini hari Minggu, jelas sepi nanti, ngak seperti biasanya, karena kondisinya masih gerimis. Awan gelap pekat masih menghiasi langit. Di tempat kerja kelihatan sepi, belum banyak yang datang. Loket-loket penjualan tiket masih tutup. Jam sebelas siang baru Matahari mulai memancarkan sinarnya, diikuti dengan rombongan bus masuk dalam parkiran. Setelah itu ada mobil yang masuk cuma satu dua. Sukri terasa sebal, bukan masalah sepi penonton, tapi masalah sampah dedaunan yang berserakan dimana-mana.

Tidak ada komentar: