Dengan membawa bendera demokrasi, kandidat calon bupati, gubernur, dan presiden mengumbar janji. Bahkan calon kepala desa pun ikut-ikutan untuk mendapatkan suara. Padahal, akibat yang ditimbulkan sangat dasyat. Sesama tetangga tidak akur, bahkan saling cemoohan, gara-gara beda dukungan.
HAL inilah yang membuat bingung Mbok Darmi. Ia khawatir jika orang-orang yang selama ini ngopi di warungnya beda pilihan, bisa-bisa mereka tidak lagi nongkrong di warungnya. Kekhawatiran Mbok Darmi cukup beralasan, karena warung itu satu-satunya mata pencahariannya.
”Gimana ya ini kalo Cak Hasan, Kang Brodin, Cak Semprul, dan Markuat beda pilihan? Bisa-bisa mereka sudah nggak ke warung ini lagi, nggak mau kumpul lagi,” guman Mbok Darmi dalam hati. Belum hilang lamunannya, ia dikejutkan oleh suara yang tidak asing lagi di telinganya yang memesan secangkir kopi.
”Assalamu’alaikum.... Kopi Mbok, seperti biasanya,” pinta Cak Hasan yang langsung duduk di kursi panjang di warung itu.
”O... Cak Hasan, Wa ’alaikumsalam. Iya Cak, tunggu sebentar ya,” kata Mbok Darmi agak terkejut.
”Ada apa Mbok, kok ngelamun?,” tanya Cak Hasan penasaran.
”Ach! ndak kok Cak,” jawab Mbok singkat.
”Jangan bohong lho Mbok! Bohong itu dosa, apalagi membohongi diri sendiri,” pancing Cak Hasan agar Mbok Darmi mau cerita.
”Cak Hasan ini bisa aja...,”
”Lho bener lho Mbok, membohongi diri sendiri itu dosa,” sambil cengar-cengir melihat si mbok yang salah tingkah.
”Anu Cak, aku khawatir,”
”Khawatir apa Mbok?,”
”Khawatir jika dalam pemilihan bupati nanti kalian ada perbedaan,”
”Ha...ha...ha...emang kenapa? Khan beda pendapat itu lumrah. Terus apa hubungannya kekhawatiran si Mbok dengan perbedaan itu,”
”Aku khawatir nanti kalian jadi nggak akur lagi, kemudian tidak mau lagi mampir ke warung ini,” jawab Mbok Darmi polos.
”Aduh Mbok cuman itu toh persoalannya. Ya nggak lah Mbok, masak gara-gara pemilihan bupati terus kita nggak akur. Itu salah Mbok,” jelas Cak Hasan.
”Ini Cak kopi pesanannya. Tapi itu sudah banyak kejadiannya lho Cak!,” tambah Mbok Darmi.
”Assalamu’alaikum....,” Markuat dan Kang Brodin datang secara bersamaan.
”Wa ’alaikumsalam....,” saut Mbok Darmi dan Cak Hasan hampir bersamaan seperti dikomando.
”Eh...kalian berdua, mau pesen kopi juga?,” tanya Mbok Darmi.
”Iya Mbok. Kali ini kopi manis aja ya Mbok,” pesan Kang Brodin.
”Saya juga Mbok,” Markuat juga ikut-ikutan Kang Brodin.
”Kadengaren kompak nich!,” seru Mbok Darmi.
”Ya iya lha Mbok, kita kan sehati he....he....he....,” jawab Kang Brodin sekenanya sambil tertawa cekiki’an.
”Kang, ini lho si Mbok khawatir jika kita beda pilihan, katanya kita tidak akan ke seni lagi,” kata Cak Hasan.
”Bener itu Mbok yang dibilang sama Cak Hasan?,” tanya Kang Brodin.
”Iya nanti siapa yang beli kopi di sini. Kalau nanti beda pilihan, kalian tidak akur, gimana ayo?,” jawab Mbok Darmi.
“Aduh Mbok.... kita ini sudah susah, jangan mau diadu sama yang memanfaatkan hanya untuk cari dukungan. Lihat yang ikut kampanye itu, kasihan mereka! Mereka hanya dijadikan alat untuk mendukung dan membela yang bayar. Akibatnya dengan tetangga sebelah tidak saling kenal,” kata Kang Brodin.
”Makanya itu si mbok khawatir seperti itu,” seru si Mbok.
”Nggak Mbok, kita akan tetap tidak lupa sama kopinya si Mbok. Iya khan Kang Brodin dan Markuat,” tutur Cak Hasan menenangkan Mbok Darmi.
”Iya dong,” jawab mereka berdua.
”Seharusnya, kalau dibilang demokrasi kenapa pakai kampanye segala. Siapa yang mencalonkan silakan, kemudian setelah diseleksi, khan bisa langsung dilakukan pemilihan. Jadi tidak mengorbankan orang kecil. Kita sudah susah, eh.... diadu domba dengan sesama tetangga tidak akur gara-gara beda pilihan. Mereka harus sadar untuk datang ke TPS, itu namanya demokrasi. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” keluh Mbok Darmi soal pemilihan bupati secara langsung.
”Bukan dari rakyat, oleh rakyat, tapi untuk pejabat,” sambung Mbok Darmi menyindir.
”Ya itulah Mbok mencari massa, biar banyak dukungannya. Bahkan mereka rela mengeluarkan uang untuk membayar siapa saja yang mau datang. Biar kelihatan pendukungnya banyak,” celetuk Markuat.
”Nah yang ini tidak pair,” saut Mbok Darmi.
”Fair Mbok, bukan pair,” kata Cak Hasan membenarkan.
”Ya itu maksudku. Maklum lidahnya orang tua sering keseleo,” lanjut si Mbok.
”Aku juga setuju usulan Mbok tadi. Tidak perlu ada kampanye, rakyat langsung memilih. Atau kalau ada kampanye khan ada banyak cara, bisa lewat spanduk dan baliho, koran, atau radio,” sambung Kang Brodin.
”Sehingga tidak mengorbankan rakyat kecil. Masak rakyat kecil hanya dipermainkan, jika butuh seperti perhatian. Saat sudah jadi, giliran rakyat kecil ditendang. Apes-apes dadi wong cilik!,” seru Mbok Darmi.
”Ya itulah nasib wong cilik seperti kita-kita ini. Sudah susah, trus harga kebutuhan nggak pernah turun. Kalo ada pemilihan kita hanya dijadikan obyek penderita,” keluh Markuat.
”Kalo gitu khan kita nggak usah ribut-ribut lagi soal pemilihan bupati. Biar kita nggak jadi korban, bagaimana kalau kita usulkan ke KPUD untuk menghilangkan kampanye, yang ada debat terbuka antar kandidat. Itu pasti lebih seru dan tidak mengorbankan rakyat kecil,” usul Cak Hasan pada yang ada di warung Mbok Darmi.
”Setuju......................!!!,” saut semua yang ada di warung itu hampir bersamaan. ***