Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung (Pilkadal), yang "diluncurkan" seiring dengan pelaksanaan Pilpres yang juga langsung beberapa waktu lalu. Katanya, Pilkadal dilaksanakan agar warga dapat langsung memilih pemimpinnya. Ini yang disebut demokratis.
Demikian diungkapkan Brodin, sang lakon saat ngopi di warung mbah thoyib bersama sejawatnya Ka Djin, Ka Chung dan Ka Mief.
"Tapi Din, dibeberapa daerah kok malah rusuh. Bahkan di Depok, hasil Pilkadal dianulir," protes Ka Chung.
"Itulah proses pembelajaran demokrasi. Jika tidak maka Indonesia tidak akan berkembang," bantah Brodin.
"Demokrasi lagi . Demokrasi lagi yang lain dong alasannya," saut Ka Djin.
Sejenak perbincangan mereka terhenti, Brodin menghisap rokoknya dalam-dalam sementara yang lain masih nyeruput secangkir kopi. Perbincangan mereka diilhami oleh kejadian-kejadian yang terjadi di beberapa daerah. Diantaranya, di Banyuwangi. Sebelum pelaksanaan Pilkadal, "aroma" perseteruan sudah mencuat. Termasuk isu agama juga digunakan. Kini, usai Pilkadal Banyuwangi, giliran anggota Dewan tidak menerima hasilnya.
Kemudian lagi, di Jember. Bahkan Kantor KPUD menjadi sasaran amuk massa, sehingga rusak. Itu beberapa catatan yang masih "terekam" di pikiran mereka. Sebenarnya tidak hanya di dua tempat itu, didaerah lain pun sempat memanas. Beberapa pendukung cenderung untuk "adu fisik" dan yang lebih mengherankan lagi Kantor KPUD ada yang diduduki. Akibatnya anggota KPUD ada yang "lari" menyelamatkan diri.
"Kalau demikian, apa bisa dikatakan demokrasi," ujar Ka Chung.
"Saya khan sudah menegaskan, itu sebagai prses pembelajaran," tutur Brodin menirukan logat anggota Dewan.
"Nah! Kalau melihat serentetan peristiwa itu, perlu dipertanyakan arti demokrasi. Sehingga tidak salah persepsi satu dengan yang lain," kata Ka Mief dengan bijaksana.
Untuk itu, lanjut Ka Mief -yang masih berstatus mahasiswa sebuah PTS ternama di kotanya ini- pelaksanaan Pilkadal saat ini perlu dikaji, dievaluasi dan diramesi. Sehingga pada tahun-tahun berikutnya -jika Pilkada masih langsung- tidak terjadi "adu massa", adu pendukung atau hanya memperbesar tim sukses saja. "Tapi persatuan dan kesatuan bangsa serta perdamaian dan kebersamaan warga juga harus dipikirkan. Jangan hanya memburu 'aku harus bisa ' eh salah aku harus menang! saja," tegas Ka Mief yang juga gandrung demo ini.
"Bener itu. Pasalnya, banyak warga yang usai Pilkadal malah 'plirak-plirik' sesama tetangga. Jadi perlu dikaji ulang pelaksanaan Pilkadal itu," tambah Ka Djin.
"Nah itu yang seharusnya kamu tanyakan, kamu ungkapkan," ujar Brodin menyetujui ungkapan sang aktivis.
Sekarang kita kembalikan kepada mereka para penguasa. Pelaksanaan Pilkadal tetap dipertahankan dengan mengorbankan persatuan dan menumbuhkan bibit-bibit permusuhan. Atau dikaji dan dievaluasi. Jika tidak layak diteruskan, ya distop dulu di daerah-daerah yang belum melaksanakan Pilkadal. Daripada membawa korban yang sis-sia. Tentunya para petinggi alias penguasa harus intospeksi dan belajar dari daerah yang sudah melaksanakannya. Sehingga tidak menambah daftar hitam bangsa.
Bagaimana menurut Saudara? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar